Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Hukum & Kriminal

Dipolisikan, GPS Senang Pelapor Tak Pakai Nama Palsu

NAMA ASLI: Dumas/508/VI/2022/SPKT/POLDA BALI dengan pelapor I Dewa Gede Ngurah Swastha, bukan Ida Pengelingsir Agung Putra Sukahet sebagaimana yang tercantum dalam sejumlah dokumen resmi selama ini.

 

DENPASAR, Balipolitika.com- Dumas/508/VI/2022/SPKT/POLDA BALI dengan pelapor I Dewa Gede Ngurah Swastha diterima oleh Bripka I Made Sena dan diketahui oleh atas nama Kepala SPKT Polda Bali, Kompol Agus Widarma Putra, Jumat, 24 Juni 2022 jadi bukti pelaporan I Gede Pasek Suardika ke Polda Bali, Jumat, 24 Juni 2022 sore.

Pemicunya adalah respons GPS terhadap narasi I Dewa Gede Ngurah Swastha alias Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet pada Minggu, 5 Juni 2022 di Pura Ulun Danu Batur, Kintamani.

GPS menilai narasi colek pamorin dan keluar dari Bali bagi penganut Sampradaya yang tidak bisa dibina sebagaimana disampaikan I Dewa Gede Ngurah Swastha berbahaya. Narasi dimaksud sebagai berikut.

 

“Saya setuju, dengan dana demarkasi ini, kita identifikasi, mana orang-orang yang penganut sampradaya asing, mana yang ajeg Hindu dresta Bali, harus colek pamorin, begitu dia atau mereka ke pura, tanya, apakah akan kembali ke dresta Bali, ataukah tetap sampradaya asing, karena kalau mereka kembali; inggih titiyang matur sisip, ngaturang Guru Piduka, Upasaksi. Karena tujuan kita, bukan membenci, tapi menyadarkan dan membina, tapi kalau tidak bisa disadarkan dan dibina, keluar dari Bali, dst…”

 

Benar saja, beberapa hari setelah narasi tersebut viral muncul ancaman lain bagi umat yang sembahyang di pura oleh admin akun facebook Bramastra, yakni ancaman jerat leher bagi penganut Sampradaya yang nekat menghaturkan persembahyangan di pura suci.

Dilaporkan ke Polda Bali, GPS sama sekali tak menunjukkan kepanikan. Pria dermawan yang membiayai sekolah puluhan anak asuh itu menyebut penilaian I Dewa Gede Ngurah Swastha dengan istilah provokator, penghasutan dan lainnya adalah penilaian banyak ahli hukum dan sosial.

GPS juga menekankan bahwa I Dewa Gede Ngurah Swastha sejatinya mengakui bahwa status yang ditulisnya di media sosial sebagai sebuah kebenaran.

“Katanya pelapornya I Dewa Gede Ngurah Swastha, bukan Ida Penglingsir Agung Putera Sukahet. Dari sini saja, maka status saya sebenarnya diakui sebagai kebenaran oleh yang bersangkutan. Kemudian soal provokasi bukan saya saja yang menilai begitu. Penilaian itu baik dengan istilah provokator, penghasutan, dan lainnya adalah penilaian banyak ahli hukum dan sosial. Bahkan sudah ada yang melaporkan yang bersangkutan soal status penghasutan tersebut. Ya kita lihat perjalanan kasusnya tersebut,” ujar GPS dihubungi melalui sambungan telepon seluler.

GPS menggarisbawahi sudah ada reaksi yang senada dengan beberapa status di medsos akibat pernyataannya tersebut. Dengan kata lain, sudah ada pihak lain yang mengamini pernyataan I Dewa Gede Ngurah Swastha untuk berbuat tidak baik di Bali, misalnya menjerat leher umat yang sedang sembahyang di pura suci sebagaimana yang ditulis terang benderang oleh admin akun facebook Bramastra Bali.

“Jadi laporannya sangat sumir. Malah yang sudah terang dan jelas adalah soal penggunaan nama palsu alias tidak sesuai dengan data resmi kependudukan dalam surat-surat yang berdampak pada publik. Buktinya ya bukti pengaduannya di mana namanya bukan nama yang sesuai dengan yang diagung-agungkan selama ini,” tandas GPS.

“Jadi malah saya dapat bukti kuat untuk melaporkan balik yang bersangkutan. Tapi, saya cukup senang akhirnya yang bersangkutan mau memakai nama sesuai dengan aturan hukum di Indonesia. Semoga ini menjadi hikmah agar ke depan jangan lagi pakai nama halu untuk kepentingan publik. Pakailah untuk lingkungannya sendiri. Meluruskan orang yang selalu mengaku benar memang tidak mudah tetapi harus ada yang melakukannya,” tegas GPS.

Respons GPS terhadap narasi I Dewa Gede Ngurah Swastha yang membuatnya dipolisikan sebagai berikut.

 

Ternyata telah lahir orator merangkap provokator berjubah adat di Bali. Memanaskan antar golongan masyarakat dengan jualan politik identitas. Bebas memprovokasi karena merasa diri menjadi orang kuat dan dibekingi orang kuat di Bali.
Gaya mengusir-usir keluar Bali seakan akan dirinya paling berkuasa atas tanah Bali. Main sweeping sweeping juga gaya ormas radikal di Jakarta yang mau dimodifikasi ke Bali. Dia lupa jabatan MDA yang disandangnya banyak bermasalah. Seakan-akan dirinya sudah menjadi Raja di Bali dan harus di panggil-panggil ratu-ratu. Lalu memposisikan dirinya seakan Sabda Pandita Ratu.
Gayanya sangat berbahaya karena bisa ciptakan konflik horizontal di Bali. Hari ini PHDI sudah dibelah nya, banyak masalah adat berujung konflik massif terjadi. Jika di masyarakat konflik terbuka saya yakin yang bersangkutan paling pertama cuci tangan dan selamatkan diri.
Wajah Bali yang sejuk kini berubah beringas. Jujur saya dari Jakarta muak melihat wajah Bali dipublikasikan jauh dari kesan sebagai Pulau Dewata yang penuh kesejukan kewibawaan dan kedamaian. Perbedaan bukan dicarikan solusi tetapi dirawat dari benih konflik menuju konflik horisontal.
Memangnya bisa seenaknya mau main usir orang dari tanah Bali? Apa kewenangannya? Hanya bisa provokasi dan memanfaatkan warga Bali yang tidak paham untuk berbuat anarkis saja. Sebaiknya  aparat keamanan jangan biarkan prilaku-prilaku gaya seperti tokoh Jakarta yang kini di bui karena hidupnya dari provokasi bisa tumbuh kembang juga di Bali.
Sangat sedih… Jabatan yang seharusnya diamanahkan untuk menyelesaikan masalah malah dipakai memproduksi masalah dan konflik di masyarakat.
Maaf, saya terpaksa harus keras menanggapi karena tidak ingin Bali akan menjadi daerah caci maki dan sumpah serapah akibat tumbuh suburnya para provokator.
#DahGituAja (bp)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!