Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi Joni Hendri

Ilustrasi: Wayan Jengki Sunarta

 

Rempah Kehidupan

Buah yang gugur ke dalam perigi mati
membawa asam gambut bersama air
agar dikau bisa mandi dengan tenang
setelah itu memakannya.

Seperti musim kemarau di kaki-kaki
bibir kering seolah-olah kehilangan air
lapar memisahkan cangkang dengan tubuh
seiring menunggu dengan perih
sejarah hidup yang penuh kemasaman
dibumbui luka-luka berbentuk kisah
agar dapat terus dikenang dalam masakan
untuk menjadi rempah.

Diam-diam ada yang mencuri
membawa semua budaya leluhur yang sedang ditanak
di manakah tetang itu?
Terus diseret-seret sunyi tanpa tujuan
gemertak hidup samar-samar terlihat
sebelum ia terjatuh dan patah.

Rempah kehidupan:
“Asam pedas sebagai makanan masa lalu
menghanguskan tentang kita
kisah-kisah yang tertutup, dalam kegelapan di tengah lautan!”

Pekanbaru, 2022

 

Wajah Maut

Telah kubawa wajah maut
di antara karang-karang yang melukai hidup
panggilan yang kerap disapa oleh kematian
melekat pada papan yang dipajang
gelombang kecil bermain pada kehidupan
bersembunyi di balik pintu bagai malaikat
orang-orang berbaris menyaksikan kesakitan.

“Apakah Malaikat terbang lewat belakang?
Saat orang-orang tidak sembahyang?”

Ada yang lupa tetang cipta
mata hanya sebatas melihat alam
melompat di atas pantai sambil mengeluarkan pekik
haribaan bergading di tungku waktu
pucat hati kelihatan penuh pasrah
aku masih berkubur muram di bawahnya
sambil mengulum air ludah yang pekat penuh laknat.

Angin yang sesat mengayunkan mimpi
nelayan terbengkalai oleh rindu
maka ingatlah, hikayat perih mengapung tangis
dari perpisahan antara dunia dan akhirat.

Pekanbaru, 2022

 

Menjejaki Tabek Patah

Rebah dan terdampar pada Tabek Patah
membersihkan miang mata lewat panorama
lembah-lembah ditikam pohon yang tinggi
pucat pasi pada diri.

Tak ada ranting patah untuk api
rumah pohon meninggi bagai candi
akar menyanggah kaki-kaki
sedikit pun tak ada misteri
menggali segala yang belum mati.

Suatu tempat mengintai hijau hutan,
antara deru angin dari sebelah kiri
tiba-tiba pohon pinus menggitari hati:
“Merenung sepeda yang berlari dari tinggi
tak ada tujuan, selain menyusuri bukit.”

Di Batu Sangkar,
menaiki papan kekasih yang melingkari
tubuh-tubuh bekas asap kenderaan kota
menepi sebelum perih merajalela.

Bukit Tinggi, 2022

 

Hikayat Ramadhan

Mari mabuk antara amal dan kenangan,
ada beribu rasa dari sujud malam
keluar dengan terkejut, saat airmata
jatuh lalu melingkar menjadi dosa-dosa yang terampuni
terseret-seret masa lalu dalam kegelapan.

Gerakkan Ramadhan tak berhenti
di atas bukit yang berbaris memanjang adalah niat
menghunus bulan yang lain
meliuk ke tubuh manusia yang sedang duduk:
“Apakah arti sebuah hikayat Ramadhan?”
Berdebar pada runtuhan tebing yang begitu lalai
melonsorkan jiwa yang sedang sakit
tapi, angin gagal menembus telinga sebagai bisikan

Akhirnya tersadai di Masjid
tempat orang-orang mengeja Al-Quran
adan anak-anak yang sedang pucat pasi
sebab dihempas zaman.

Kamar Wahyu, 2022

 

Meninggalkan Pelabuhan Puisi

Jauh hanyut,
meninggalkan pelabuhan puisi, kita saling melihat pada layar
tak mengawasi dari pucat pasi zaman.
Tapi jangan masukan kata penjara di sana
sebelum jemari mengetik dan mencium.

Huruf-haruf mengalir pada kalimat yang sama, tak ada gelombang
tanpa sampan dan pengayuh untuk menulis.
Tersenyum di gebang media sosial dengan kalimat penghabisan.
Diam-diam mencuri kata-kata pada burung camar yang terbang
ia melewati gelap cahaya Laptop. Sebab tersendat pada sinyal.

Kenangan leluhur di pohon dan jalan raya
saat menulis. Kita sembunyikan pada peradaban.
Menggambar peristiwa di mata, saat luapan elektronik
membentuk air pasang.

Buku basah oleh air, yang datang dari sinyal digital
terkikis hati untuk membacanya.
Sebab, Laptop sudah menggenggam kuasa pada mata
menghanyutkan kita di tanjung sunyi untuk bersemedi
namun, tidak mencari yang baru di gigi pantai.

Jauh hanyut,
dari pelabuhan puisi.
Gagal berlabuh, sebab kata-kata mati
waktu berhenti dalam sekian ribu.
Bandul jam bergerak separuh ayunan pada diksi.

Pekanbaru, 2021

 

Mantra

Mulut yang bersumpah serupa ombak
menelan kelat dari waktu yang sedang terbuka
sejak dibanjiri kepala-kepala
tak berdamai bersama angin hilang di dekat berbatasan.

Batu-batu karang menyulam jadi tempat tidur
dihapus badan yang asin saat tidur
tak ada lumpur untuk menutup gigitan nyamuk
berbentuk pasir putih melingkar pulau-pulau di dada
sebelum demam tiba, ia menerobos lesung
sebagai penumbuk penyakit:
“Bersembunyi, dari tembakan batin lewat mantra
serangan tersebut mematikan!”

Pekanbaru, 2022

 

Hujan Waktu

Saat malam yang padam
segala telah bermuara dan menggenang
ketika langit mulai reda
dingin membeku dalam diri
membasahkan hajat yang berkarat.

Tapi basah mengundang cemburu
melahirkan butir-butir telur sebagai persoalan
bekas dingin yang terjepit itu
menggigilkan waktu hingga tuntas.

Memandang kepedihan yang mengalir
melewati parit-parit kelukaan
waktu serasa keterasingan.

2022

 

Dua Belas Jam

Orang menunggu ia kaku
untuk terus mengutuk
memudarkan perubahan pada langkah
mengunci segala yang terbuka
menutup pencuri pada saat dua belas jam
sebelum magrib mengumandangkan azan
para suami masih lupa ingatan
menggigit istri yang buting.

2022

 

Menunggu Hujan Mati

Pada hujan kita menunggu ia mati
aku masih menulismu dalam kenangan
lembar-lembar daun yang basah
habis dimakan tanah
liang-liang sempit jadi bukit
yang jahat terpenjara dalam timbunan
tak ada yang senonoh hendak dipelihara
aniaya menikam lidah untuk mengaku kuasa.

Ada yang kedinginan di bawah kolong jembatan
menunggu hujan mati pada panas
untuk berhenti menulismu dari yang terkikis
jamuan terhidang pada lamunan panjang
penggawa bersedih kelaparan
setelah menjadi hamba-hamba Raja
sebab, hujan belum mati pada dini hari.

Rimbo Panjang 2022

 

Mustahil?

Aku kaku dalam imaji
saat melihat rumah yatim di punggung
sebelum senja memperlihatkan tubuhnya.

Bisik hati: “Engkaukah gadis itu?”
Sebelum mendekati untuk berpantun
tiba-tiba aku bisu, tak bebas menyampaikan ucapan pertama
akhirnya hingga hilang terbawa angin.

Itulah rumah yatim di punggung
mustahil aku akan bersama.

Pekanbaru, 2022

 

Kepada Kepala Suku

Surat ini untukmu tuan
aku muak pada kata-kata
terlalu mudah tinta menulis sajak.

Kami hanya menelan
menutup rasa malu dari muka-muka
bersembunyi di belakang panggung
sambil menghitung-hitung.

Sebab, aku telah lahir sebelum suku bernama
menemukan bentuk pada risau
dan daging untuk darah.

Pekanbaru, 2022

 

Kita Bercinta di Tubuh Sungai

Sebelum perasaan menyentuh tubuh
sungai hanya diam lurus memanjang
serupa ular berendam melintang
kedalaman air surut dipanggang
yang ke muara adalah para pedagang.

Sedang air dari bukit turun terjun
kita di bawahnya bercinta
dengan rasa cemas di kepala
di ketiak ranting penuh asmara.

Percintaan yang tak banyak cabang
sangkut pada jaring yang letih
ikan-ikan gembira, riang sampai petang
sampan jadi patung, minyak jadi untung
oleh mahalnya pembayaran hutang:
“Negeri dari arah sungai?” Pertanyaanku!

Pekan sudah berlalu dalam lintasan
bangkai bekas Istana tenggelam
tak sempat anak cucu untuk menikmati
bekas keramaian masa silam
di sungai hanya meninggalkan cinta
semakin romantis kita melupakan.

Penyalai, 2022

 

Gadis Bermata Biru

Gadis bermata biru, berdiri di pinggir jalan,
dadanya telanjang, memberi makan lelaki
kelaparan panjang di bawah matahari:
“Tapi lirik matamu, menyentuh hati.”

Parit Melor, 2022

 

=================================

Biodata

Joni Hendri, Amd. Sn., S.S kelahiran Teluk Dalam, 12 Agustus 1993. Pelalawan. Alumnus AKMR Jurusan Teater. Dan juga alumni UNILAK Jurusan Sastra Indonesia. Karya-karya berupa naskah Drama, Essai, Cerpen, dan Puisi. Sudah dimaut di beberapa antologi dan media seperti: Kompas id, Riau pos, Solo Pos, Medan Pos, Radar Bayuwangi, NusaBali, Tanjung Pinang Pos, Pontianak Pos, Sulawesi Tengah, Bali Pos, Singgalang, Bhirawa dan media online lainya. Bergiat di Rumah kreatif Suku Seni Riau dan bergiat di Komite Teater Dewan Kesenian Kota Pekanbaru (DKKP). Sekarang mengajar di SD Negeri 153 Pekanbaru.

Wayan Jengki Sunarta, lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Ia menamatkan kuliah Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Bali. Kemudian ia kuliah Seni Lukis di ISI Denpasar (tidak tamat). Selain dikenal sebagai sastrawan, belakangan ia gemar melukis yang merupakan hobinya sejak kanak-kanak. Pameran seni rupa yang pernah diikutinya, antara lain Pameran Bersama SahabART di Rumah Seni Paros, Sukawati, Gianyar, Bali (2020), pameran Silang Sengkarut di Dalam Rumah Art Station, Denpasar (2022). Tahun 2020, tiga karyanya masuk Semi Final Lomba Lukis “Titian Art Prize”, Yayasan Titian, Bali. IG: @jengki_sunarta.

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!