Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Sosial

Prof. Windia Jawab Tudingan Bendesa Adat Medahan

Siapa Sebetulnya Melakukan Pembohongan Publik?

TENANG: Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana sekaligus Ketua Pelaksana Gugus Kebangsaan Provinsi Bali dan Ketua DHD Angkatan 45 Provinsi Bali, Prof. Dr. Ir. I Wayan Windia, SU. (istimewa)

 

 

GIANYAR, Balipolitika.com- Guru Besar Fakultas Pertanian Unud, Prof. Dr. Ir. I Wayan Windia, SU. menanggapi tudingan Bendesa Adat Medahan, I Wayan Putra Jaya yang menuding dirinya melakukan “pembohongan publik”. Hal ini merupakan buntut dari opini yang ditulisnya pada Februari 2022 tentang Konflik Sosial Berbasis kawasan Pura Masceti. “Lho, ada apa ini? Ternyata bendesa membantah uraian opini saya. Bahwa dalam dunia pers, bantah-membantah adalah hal yang biasa. Itu adalah bagian dari hak jawab seseorang, sesuai kode etik jurnalistik,” ungkap Prof. Windia melalui tulisan opininya, Sabtu (7/5/2022) yang diterima redaksi.

​Tetapi membuat kesimpulaan dan pernyataan yang menyatakan seseorang melakukan perbuatan tertentu, misalnya “pembohongan publik”, sebaiknya dilakukan dengan hati-hati, dan melakukan chek-rechek yang seksama. “Sebaiknya, jangan secara sembarangan. Sejatinya, kalau betul opini yang saya buat, telah dibaca dengan cermat dan hati-hati, maka pernyataan bendesa seperti itu, tidak akan muncul. Bahwa apa yang saya tulis itu, adalah berdasarkan pernyataan dari tiga desa adat lainnya. Itu adalah kesimpulan rapat dari ketiga bendesa adat tersebut pada tanggal 31 Januari. Saya hanya mengutip saja. Bahkan itulah yang menjadi lead tulisan saya. Jadi, siapa sebetulnya yang melakukan pembohongan?  Saya atau bendesa adat Medahan. Silahkan pembaca yang menilai,” lemparnya.

​Tentang pertanyaan sekitar pemahaman tentang Pura Masceti, Prof. Windia langsung menjawab sangat paham karena membaca buku tentang Pura Masceti. Dikatakan bahwa berdasarkan Dewa Purana Bangsul, Pura Masceti dibangun bersamaan dengan salah satu pura lainnya, yakni  Pura Er Jeruk di Sukawati. Pura Er Jeruk adalah juga pura yang dikelola subak di kawasan Subak Gde Sukawati. Bahwa Pura Masceti mulai dibangun sejak kedatangan Rsi Markandya, dengan bangunan yang sederhana. Kemudian diperluas lagi pada saat kedatangan Mpu Kuturan di Bali. Bahkan ada indikasi bahwa pura ini sudah eksis sejak zaman pra-Hindu.

​Disebutkan bahwa Pura Masceti dikategorikan dalam kelompok pura fungsional (swagina). Meski sebagai pura swagina, tetapi memang pura itu dalam status pura kahyangan jagat. Dalam hal ini tidak hanya jagat Desa Adat Medahan, tetapi juga jagat Gianyar, dan juga jagat Bali. Bahwa pangemong Pura Masceti adalah seluruh warga Subak (Gde) Pakerisan Teben dan Subak (Gde) Gunung Sari. Terdiri dari 20 subak. Yakni Subak Gaga, Subak Dayang, Subak Diga, Subak Dewa, Subak Amping, Subak Poh Gading, Subak Betuas, Subak Slukat, Subak Sengauk, Subak Abang, Subak Dukuh, Subak Tedung, Subak Nengan, Subak Abu, Subak Celuk, Subak Ceti, Subak Padang Legi, Subak Panjan, Subak Jurit, dan Subak Peling.

Organisasi subak-subak inilah yang mempunyai tugas, kewajiban, dan tanggung jawab dalam hal pengelolaan dan pemeliharaan Pura Masceti, atau sebagai pengemong Pura Masceti. Sedangkan warga Desa Medahan-Keramas yang tidak memiliki tanah sawah dan tidak berstatus sebagai anggota subak, hanya berstatus sebagai penyungsung, sehingga bebas dari kewajiban membiayai dalam bentuk biaya pemeliharaan dan upacara piodalan. Disebutkan pula bahwa Pura Masceti adalah merupakan Parhyangan subak, persawahan adalah merupakan Palemahan subak, dan  anggota subak adalah merupakan Pawongan subak. Bahwa Pura Masceti diberikan status sebagai Pura Subak, hal ini sesuai dengan Perda No. 9 tahun 2012 tentang Subak. Jadi, Perda tentang subak terbit jauh lebih awal dibandingkan dengan Perda tentang Desa Adat. “Bahkan pernah ada wacana untuk menjadikan Pura Masceti sebagai pura untuk semua subak di Kab. Gianyar. Hal ini wajar, karena pada saat-saat itu subak di Bali diakui oleh UNESCO sebagai warisan dunia,” katanya.

​Bagaimana dengan pernyataan Bendesa Medahan bahwa hanya ingin melakukaan penataan sesuai Perda No. 4 tahun 2019? “Lalu pertanyaannya, pasal yang mana yang diterapkan? Kalau melakukan penataan seharusnya dilakukan di palemahan desa adat yang bersangkutan. Dalam Pasal 10 Perda tsb, yakni pada Ayat (2) disebutkan bahwa palemahan desa adat adalah meliputi tanah milik desa adat, dan tanah guna kaya. Pertanyaan lanjutan, apakah tanah di kawasan Pura Masceti adalah tanah milik desa adat, sesuai Pasal 10 tersebut?,” bebernya. Berkait dengan hal-hal tersebut, maka sudah sejak awal pihanya menyarankan, agar semua pihak bisa duduk bersama. Apalagi kasusnya berkait dengan pura. “Katanya ada wacana, bahwa kita di Bali memiliki filsafat paras-paros, tatwan asi, tri hita karana, dan lainnya. Filsafat kuno itu, jangan hanya menjadi hiasan bibir. Harus di-implemantasi-kan. Bila secara empirik pihak subak mampu mengelola kawasan pura dengan baik, kenapa tidak dilanjutkan saja, sesuai tradisi (kune dreste)? Jangan diintervensi,” tandasnya.

Karena subak adalah lembaga yang otonum yang batas-batasnya berbasis hidrologis, maka memiliki juga parhyangan, pawongan dan palemahan. Sedangkan desa adat, batasnya berbasis administratif. Ia juga memiliki parhyangan, pawongan, dan palemahan. Semuanya harus bisa berkoordinasi. Inilah yang disebut dalam ilmu sosiologi sebagai konsep polisentri. “Leluhur kita di Bali telah mengembangkan konsep polisentri dalam realitas sosialnya. Leluhur kita dahulu tidak ada yang tamatan SLTA (red : karena dulu tidak ada sekolah formal), kok beliau bisa bekerja dengan paras-paros. Barangkali kita harus lebih banyak merenung dan belajar dari kebajikan serta kebijakan Raja Udayana, Raja Marakata, dan Mpu Kuturan,” tutupnya.

Seperti diketahui, pernyataan Guru Besar Pertanian Universitas Udayana (Unud), Prof. I Wayan Windia di salah satu media massa yang berjudul “Dilema Konflik Sosial Berbasis Pura Masceti” berbuntut panjang. Tuduhan pakar subak itu, ternyata tidak seperti kenyataaan yang disampaikan, khususnya pada pernyataan bahwa Desa Medahan akan melakukan pengambilalihan secara paksa untuk pengelolaan Pura Kahyangan Jagat Masceti, Gianyar. “Kami hanya ingin menata wewidangan Pura Kahyangan Jagat Masceti di Desa Adat Medahan. Momen penataan diawali dalam pembangunan Posko Covid-19 dari tanggal 16 Februbari 2021 lalu,” demikian penjelasan Bendesa Adat Medahan, I Wayan Putra Jaya yang langsung membantah pernyaaan Prof. Windia yang dituding sebagai “pembohongan publik”, karena belum dipastikan kebenarannya, sebagai salah satu poin klarifikasi kepada kepada awak media di Gianyar, Selasa (3/5/2022).

Pihaknya mempertanyakan apakah Prof. Windia mengetahui secara benar bagaimana sejarah panjang pura yang berada di pesisir Pantai Masceti itu? Apalagi sampai berani menuduh Desa Adat Medahan akan menguasai atau merebut Pura Kahyangan Jagat Masceti, karena memang sudah berada di wilayah Desa Adat Medahan. Pihaknya kembali menegaskan, tujuan pendekatan yang dilakukan oleh pihak Desa Adat Medahan hanya bermaksud untuk penataan pura itu, sesuai dengan Peraturan  Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat, agar wewidangan itu tertata dengan baik. (tim/bp)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!