Ilustrasi: Handy Saputra
SUATU HARI AKU PULANG
suatu hari aku pulang disambut sese berdendang
tanda akan tiba malam. langit meremang, senja terhalang
puncak sibualbuali yang menjulang. ada kumandang
orang mengaji dari mikrofon masjid, dibawa angin
ke telinga orang-orang sebagai ajakan beribadah
magrib. tak ada siapa pun saat tiba aku di rumah
pintu tak dikunci, jendela tak lagi terbuka
tak perlu kucari siapa pun untuk disapa
setiap orang pasti telah berkumpul untuk berjamaah
di masjid. oh, tak ada kiranya yang sungguh berubah
setelah puluhan tahun berlalu, masih seperti dulu
hidup di huta untuk kerja dan tetap lakukan ibadah
aku bayangkan semua orang tak akan jauh berubah
kecuali usia. orang-orang yang kukenal lebih tua,
kerut seluruh kulitnya, beberapa mungkin telah lupa
atau tak pernah mengira aku kembali setelah pergi
seperti mereka yang telah merantau, jarang kembali
seakan seluruh kenang dan masa lalu harus dijauhi
sebab hidup sudah berubah, milik orang-orang di kota
asing kepada tetangga dan tak punya sedikit waktu
untuk silaturahmi. tak punya tegur sapa, tak kenal kita
yang sujud bersama dalam ibadah berjamaah. oh, huta
aku pulang dan ingin kukembalikan segala yang kulupa
di perantauan. segala yang mengingatkan kepada asal
maka aku tinggalkan rumah dan bergerak ke masjid
satu-satunya tempat berkumpul, membayangkan bertemu
seluruh kenangan dan ingatan yang bertahun kulupakan.
DIAM-DIAM IA PERGI
diam-diam ia pergi dan tak meninggal alamat
aku tahu ia tidak ingin dikunjungi
memang tak mudah menerima jika telah dikhianat
hidup akan lebih baik jika bersemedi
mungkin ia di sebuah kota atau desa yang tenang
mengganti nama, menyusun rencana baru untuknya
selalu ada kesempatan kedua, jangan bimbang
hidup adalah apa yang ada di depan kita
aku tak pernah melupakannya, berharap bertemu
suatu ketika. aku akan bilang padanya agar ikhtiar
hidup harus sabar untuk merengkuh sesuatu
di tengah-tengah ragam manusia kita berkisar
tapi ia pergi dan tak meninggalkan alamat
aku tulis puisi ini, berharap ia membacanya
segala yang sudah lalu selalu anggap tamat
dan yang menyakitkan diterima sebagai coba.
TAK SELAMANYA KITA BISA TEGAK
tak selamanya kita bisa tegak
ia kata begitu kepada kau yang jatuh
dan diulurkannya tangan agar gerak
tersenyum ia membuat hati teduh
kau pilih berterima kasih dan bangkit
sendi-sendimu luka dan terasa nyeri
tapi segala yang mestinya jadi sakit
sembuh hanya karena ia tak membenci
di hatimu, kau dapat satu pengajaran
kepada yang jatuh jangan pernah disalahkan
beri semangat bantu agar bisa berjalan
hidup selalu berulang sebagaimana roda
ketika kita di atas selalu lihat ke bawah
jika kelak jatuh jadi sudah terbiasa
PURNAMA DI ATAS SIBOLGA
purnama di atas sibolga, laut tiada beriak
silhuet kapal-kapal di pelabuhan, angin diam
pada dinding-dinding batu kepiting tak bergerak
tali temali serta jangkar hilang dalam malam
di pantai, pohon-pohon kelapa tak melambai
sepasang muda-mudi melangkah di pasir
bias sinar bulan ke tempat itu tak sampai
awan menghalangi, hari terasa begitu getir
ada sebuah pondok wisata yang lampunya nyala
batang-batang pinus tumbuh di halamannya
tiga laki-laki di pondok itu masih terjaga
di udara mengalir sengak bau daun ganja
purnama di atas sibolga, laut tiada memberi
pelelangan seperti sebuah tempat bersemedi
tak ada bau ikan, tak ada nelayan yang berseri
seakan kota ini telah berabad-abad mati
DI PELABUHAN, AKU SELALU MENUNGGU
kembali september, kembali ke masa lalu
ketika aku antar kau ke ujung pelabuhan itu
gerimis turun saat kapal membawamu ke lain kota
makin membentang jarak yang ada di antara kita
hari-hari pun jadi tak berarti, hanya mengingat
peristiwa-peristiwa yang kita sebut kenangan
juga percakapan-percakapan yang sudah lewat
hal-hal yang membuat kita melupakan pertemuan
aku mengerti, kita keras melebihi batu-batu
memaksakan perasaan-perasaan yang tak bisa menyatu
cepat kecewa dan gampang memvonis telah bersalah
kita sebetulnya tak bisa bersama meski sudah dicoba
dan di bulan september itu kita putuskan berpisah
aku menduga, tidak sukar bagiku melupakan semua
dan aku akan baik-baik saja. membuang yang kudapatkan
seakan-akan tidak ada hal layak dikenangkan
tapi kembali september, kembali ke masa lalu
segala yang ingin kuhancurkan dipelihara waktu
kepadamu selalu aku miliki perasaan rindu
maka ke pelabuhan itu aku selalu menunggumu
BIODATA
Budi P. Hatees lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, 3 Juni 1972. Menulis cerpen, puisi, esai, dan novel dan sebagian karyanya diterbitkan di berbagai media dan sejumlah buku. Sehari-hari bekerja sebagai peneliti budaya, sosial, politik untuk Institute Sahata dan Tapanuli Database Center for Researd Culture and Social (Tapanuli Database). IG:@budihatees. FB: budiphatees.
Handy Saputra lahir di Denpasar, 21 Februari 1963. Pameran tunggal pertamanya bertajuk The Audacity of Silent Brushes di Rumah Sanur, Denpasar (2020). Pameran bersama yang pernah diikutinya, antara lain Di Bawah Langit Kita Bersaudara, Wuhan Jiayou! di Sudakara Artspace, Sanur (2020), Move On di Bidadari Artspace, Ubud (2020), pameran di Devto Studio (2021), pameran Argya Citra di Gourmet Garage (2021). Instagram: @handybali.