Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

PUISI-PUISI HARTANTO

Ilustrasi: Ignatius Darmawan

 

MAESTOSO BENING

Kau, yang berhening di ruang bening
Memetik dawai, berdenting
di dalam rongga jiwa
nyanyikan lagu purbani
tentang kelahiran dan kematian
ketika gerimis hadirkan tanda lewat pelangi
yang melengkung penuh cahaya dan warna
membakar tepi hati
tanpa api
Di sana, tersimpan cahaya kebenaran,
Cerita matahari dan rembulan
Yang tak bisa kau sembunyikan

Di rimba suaka,
Seorang perempuan tua
Menyadap getah pada sebuah pohon
Hingga kambium terdalam
mengalir darah putih
penuh misteri
tentang denyut semesta
dan senyum Sakyamuni
yang bersila di bawah pohon Bodhi.
Mengukur gerbang nirwana
Dengan batin yang tak kau pahami
dalamnya.

Denpasar 2021 – 2023

 

ADAGIO HARMONI

Kabut pagi ini,
membawa kabar tentang pranatamangsa
yang tak mampu kueja
ketika air mata petani tua
mengalir deras di muara cintanya
Sebab, sungai yang mengalir
di sawah dalam diri
telah berubah jadi gedung
yang gagah dan pongah.
Seorang nenek menjelaskan padaku
Bagaimana membaca musim
dengan bahasa jiwa, tanpa aksara
meski berpasrah tentang sungai
yang tak lagi mengairi sawah kasihnya
ia tetap melawan dengan diam
namun, teriak lantang
lewat pori-pori kulit dan
garis-garis keriput di wajahnya

Dari dalam dangau,
Kanak-kanak belajar memahami
Bahasa angin tentang arah hama
Yang hadir bersama gulma jiwa
dan selaksa mikroba atau
bakteri pengurai, pembawa kabar
kesuburan di musim kemarau
tapi siapa, petani tua yang berhuma
di belantara, arah tenggara
ia belajar dari flora fauna
Menggali misteri hidup,
senyawa antara udara dan sari bumi.
yang tersimpan di garis lintang
dan garis bujur peta kehidupan kita

Denpasar, 2023

 

SAJAK BUAT NI RENENG

Nenek, kuingat kata dukamu:
“Liuk pohon kelapa di belakang rumah
Lebih indah dari penari kemarin”
usai kau lihat gerak tari tanpa aksara
tapi, mudra kubaca dari segala
gerak tubuhmu saat kau
menari di pelataran pura.
Meski hanya sebagian bisa kubaca
Jemari siapa menyentuh bumi?
Ini kebangkitan dari kesadaran sunyi
Memahami inti tanah kau berpijak

Suatu saat liuk jiwamu getarkan Batavia
Aku tak mampu membaca aksara tiga jari
Yang mendongak ke langit
Saat kau menari di istana tua
Lanjutkan aksara persentuhan
ibu jari dan telunjuk
Ini ajaran kebenaran seorang petapa
Tapi, siapa mengalirkan daya kebijaksanaan
Yang muncul dari tengah batu diam.

Nenek, letihku menjelma jadi rintih
Saat telusuri aksara
perpaduan gerak tubuhmu
Dan bunyi tabuhan.
Para penabuh membaca
Aksara yang kau tulis lewat gerak tubuhmu
Lalu genta pendeta dibunyikan
Tatkala mahkota penari tersuci
jadi pratima dipuja oleh jiwa-jiwa
di tanah pemukiman para dewata
kerling mata, jadi bahasa tersendiri
tak mudah kupahami
ini persembahan bagi dewi tari
ia bersemayam di tengah hati.

Denpasar Januari 2023

 

OPERA PENYALIBAN

Mendung kali ini,
Aku berdiri di atas sengsara yang pedih
Bukan darah yang mengalir
dari tanda paku di kedua kaki dan tangan-Nya
Tapi airmataku dan para pendosa
Yang damba sabda ampunan.
Segala cinta tersimpan, khianat, dan sangkal
tak mampu kueja. Lidah kelu, ketika
selaksa rahasia, tersembunyi di lubang lambung-Nya.
Dan kokok ayam bukan penanda waktu
Tapi tanda duka-Nya yang sedang bersimpuh
Dalam lapar dahaga dan lingkaran ingkar

Sunyi dan kerisauan hadir manakala
Secawan darah dan sepotong daging
Mengabarkan tentang perih penebusan
Tapi siapa menyalakan lentera
Mengiringi doa diam-Mu
Di tengah kelam malam
Manakala pesta belum berawal
Dan tak seorang pun menuang
Anggur perpisahan untukmu.
Siksa dan luka kau terima
Lewat hati yang menyanyikan lagu duka
Nuju jalan ke sorga.

Denpasar, Paskah 2023

 

ALEGRO RAHIB TUA

Duduk di atas batu,
Aku mencoba menghitung gerak langit
yang menyimpan rahasia dasar samudra
saat burung-burung walet membawa berita
Seorang rahib yang samadi
Di semenanjung sunyi.
Ia memilin akar-akar jadi butiran tasbih
Penuh misteri tentang Arya dan Dravida
perjalanan jiwa-jiwa manusia purba
Membangun titian ke nirvana
Kediaman sempurna para suci
Tanpa airmata, duka, sengsara
Di kuil anganku.

Kuhisap wangi asap ratus,
Ketika rahib tua nyalakan api
dengan jemarinya, tanpa mantra.
Sebab, burung-burung camar melafalkan
Lewat cericitnya.
Ini kisah peradaban setanggi
Yang mengajarkanku tentang pembuahan
Sampai pemusnahaan di pendiangan
Tersimpan di kitab berdebu,
tak mampu kubaca karena
Aksaranya terkubur dalam bumi
Biarlah torehan tapak dara
Kulabuhkan di alir darahku
Agar dapat kupahami Panchajanya
Dan tanda-tanda di putaran bumi

Denpasar, 2022

 

PENARI DESA ABANG, KARANGASEM

Kakek,
aku sedang belajar membaca aksara nirkata
Yang kau kirimkan padaku lewat gerak tangan
Dan jemari, jadi tanda yang sulit kueja
Aku tak perlu kata yang memerlukan cerna makna
Biarlah gamelan menuntunku lewat irama
Agar kosa makna mengalir tanpa batas di darahku
Nanti, pada semesta aku akan bertanya
Tentang fana dan keabadian.

Di tengah kalangan,
Kau tembangkan perjalanan hayat
Dari cerita para raja yang menuang
Perih, dan rintih, di jiwa-jiwa ksatria.
Ini misteri prosesi berdarah
Hanya tabuhan dan tembang lara tersisa
Tak ada lagi mantra terucap dari mulut keriput
Sebab telah ditelan oleh mahluk
Pemakan rembulan
Hingga gerhana hadir di setiap hati.

Karangasem, 2001

 

BIODATA

Hartanto lahir di Surakarta 1958 dan tinggal di Denpasar. Hartanto pernah bekerja sebagai wartawan majalah Matra. Kini, tetap jadi Redaktur Khusus Matranews.id. Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya Jogyakarta ini menulis puisi sejak SMP. Karyanya dimuat di Bali Post, NusaTenggara, Suara Karya, Suara Pembaharuan, majalah Tempo, majalah Hai, majalah Ceria, majalah kebudayaan BASIS, majalah Femina, tabloid Wanita Indonesia, dan Jurnal Kebudayaan CAK. Beberapa puisinya diterjemahkan oleh penyair Amerika, Thomas Hunter, dan dimuat dibeberapa majalah terbitan Perancis. Puisinya terbit dalam antologi tunggal “Ladrang” (1995). Antologi puisi bersamanya, antara lain “Dendang Denpasar, Nyiur Sanur” (2012), “Ibunda Tercinta” (2021), “Blengbong” (2021).

Ignatius Darmawan adalah lulusan Antropologi, Fakultas Sastra (kini FIB), Universitas Udayana, Bali. Sejak mahasiswa ia rajin menulis artikel dan mengadakan riset kecil-kecilan. Selain itu, ia gemar melukis dengan medium cat air. FB: Darmo Aja.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!