Ilustrasi: Handy Saputra
GANDRUNG: SEBUAH CATATAN
kau dendangkan dalu dalu
kau tembangkan podo nonton
kau gendingkan kembang menur
ditingkah kendang dan kluncing
berputar dan berkibas selendangmu
berbaur harum wangi parfum dan kemenyan
gandrung menggugah rasa setiap lelaki
dengan tari dan gending
dengan tari dan gending
gandrung menebar sihir sepanjang malam
sampai fajar
tapi kini pesonamu telah berubah
sihirmu tak lagi merajai malam
terlalu banyak wajah yang bertebaran
terlalu banyak nama bermunculan
tak ada lagi temuk yang selalu ditunggu
supinah yang mempesona
mudayanah yang membuat terpana
atau dartik yang senantiasa dinanti
terlalu banyak rupa
tak ada yang membuatku tergila-gila
terlalu banyak nama
malah satupun tak kuingat siapa
gandrung, jika dulu aku harus menunggumu
di bawah terop
kini aku cukup menatapmu
di layar kaca: tv atau hp
mari menari bersamaku
lemparkan sampurmu padaku
buatlah aku terbius
seperti masa lalu
Kumendung, November 2022
TENTANG PEREMPUAN YANG MERINDUKAN KEMATIAN
bukan, bukan matahari itu yang ditunggu
tapi langkah-langkah sang maut mengetuk sunyi
tiap bangun dipandangnya cakrawala, ditatapnya langit
tanpa suara hatinya berbicara pada sang gaib:
“jika aku hidup, aku masih berguna
biarlah nyawa ini di badan
tapi kalau sia-sia
ambillah semua pemberian-mu padaku”
tapi perempuan tua, sebatang kara
tak memiliki apa-apa selain raga renta yang bernyawa
surga di kakinya juga tak pernah berguna
masihkah ada yang berharga pada dirinya?
perempuan itu merindukan kematian siang-malam
tapi meski begitu tak sedikitpun terbesit niat bunuh diri
telah tertanam dalam dirinya sejak dini
jiwa dan raga adalah milik-nya
hanya sang pencipta yang berhak mengambilnya
dan di suatu sudut kini berdiam diri
menunggu entah apa
apapun yang ada ia terima
selalu berpindah dari sudut ke sudut tempat tak terpakai
ia sudah jalani hidup selama bertahun-tahun
tak ada yang peduli
seperti kucing tak bertuan berkeliaran di jalan
andai perutnya tak punya rasa
tak perlu ia pergi dari tempatnya berkurung
dinginnya angin atau sekedar tetes hujan dan panas matahari
tak ada apa-apanya
tapi rasa lapar dan haus
tak bisa ia tahan lebih dari sehari
(perempuan itu siang-malam merindukan kematian)
dulu, sekali waktu teringat masa lalu
seseorang pernah hadir dalam hidupnya, menjadikannya istri
sampai bertahun-tahun
tak kunjung hadir keluarga baru
sang suami meninggalkannya mencari pengganti
berganti dua-tiga suami, semua berakhir sama
sampai ketika keriput mulai melukis di wajahnya
tanpa siapa-siapa, tanpa apa-apa
tak ada lagi yang menyapa
di suatu sudut kini berdiam diri
menunggu entah apa
apapun yang ada ia terima
berpindah dari satu tempat ke tempat lain
dengan keadaan serba tak pasti
bukan hanya merubah penampilan tubuh
akal pikiran dan perilakunya pun turut berubah
tak teringat lagi rasanya masa lalu itu
dan tanpa suara seolah bisu
ia jalani hari-harinya
bicara hanya dalam hati
pada tuhan atau pada diri sendiri
hidup seperti mata air yang terus mengalir
mengalir ke tempat-tempat yang lebih rendah
menggenang ketika terhalang, lalu mengalir lagi ketika luber
(perempuan itu siang-malam merindukan kematian)
di sudut itu kini berdiam diri
menunggu entah apa
apapun yang ada ia terima
juga sang maut andai datang
Kumendung, September 2022-Januari 2023
CATATAN DI TENGAH KEMARAU
di atas debu ini
kehidupan berjuang untuk hidup
berjuang menahan jiwa
agar tak henti bermimpi
atau mencangkul harapan
di balik bongkahan tanah gersang
menabur mimpi-mimpi
hanya bayang-bayang
yang setia menemani matahari
menghitung detik-detik
berloncatan di bibir waktu
untuk meneruskan hari esok
jauh di sudut hari
jiwa-jiwa yang kalah
membujur di liang kubur
sia-sia melawan kematian
Kumendung, Januari 2023
GERIMIS
hanya gerimis
tapi mencipta tangis
jiwa terkikis
Kumendung, Januari 2023
BIODATA
Gimien Artekjursi, lahir 3 Agustus l963. Tinggal di Banyuwangi. Puisinya dipublikasikan di media cetak dan online di Indonesia. Antologi yang memuat puisinya, antara lain Para Penyintas Makna (Teras Budaya, 2021), Pujangga Facebook Indonesia (PT Metaforma Internusa, 2022). Ia pernah memenangkan lomba menulis puisi tingkat nasional yang diselenggarakan Sanggar Minum Kopi Bali l989 dan Nagerikertas.com 2022. Fb: Gimien Art.
Handy Saputra lahir di Denpasar, 21 Februari 1963. Pameran tunggal pertamanya bertajuk The Audacity of Silent Brushes di Rumah Sanur, Denpasar (2020). Pameran bersama yang pernah diikutinya, antara lain Di Bawah Langit Kita Bersaudara, Wuhan Jiayou! di Sudakara Artspace, Sanur (2020), Move On di Bidadari Artspace, Ubud (2020), pameran di Devto Studio (2021), pameran Argya Citra di Gourmet Garage (2021). Instagram: @handybali.