Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Hukum

Surat Tak Dibalas, Desa Adat Munduk dan Tim 9 MADT Geruduk MDA Bali

Tuntut SK No.031/Kpts/MUDP Bali/XII/2012 Dicabut

TUNTUT KETEGASAN: Bendesa Desa Adat Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng bersama dengan Tim 9 Masyarakat Adat Dalem Tamblingan di Catur Desa dan puluhan warga adat Munduk gerudug Kantor Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Senin, 18 Maret 2024 pagi.

 

DENPASAR, Balipolitika.com- Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali di bawah kepemimpinan I Dewa Gede Ngurah Swastha alias Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet kembali mendapatkan sorotan publik. 

Pemicunya adalah tidak adanya respons sama sekali dari MDA Provinsi Bali terkait surat yang dilayangkan oleh Bendesa Desa Adat Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng bersama dengan Tim 9 Masyarakat Adat Dalem Tamblingan di Catur Desa. 

“Kami sudah beberapa kali berkirim surat kepada MDA Bali untuk beraudiensi membahas masalah ini (lampiran Perda No. 4 tahun 2019 tentang desa adat yang merupakan usulan MUDP alias MDA, red), tetapi tidak pernah mendapat jawaban,” ucap Bendesa Adat Munduk Mangku Ketut Ariman dan Ketua Tim 9 Masyarakat Adat Dalem Tamblingan di Catur Desa, Putu Ardana, Senin, 18 Maret 2024.

Bendesa Desa Adat Munduk bersama dengan Tim 9 Masyarakat Adat Dalem Tamblingan di Catur Desa hadir langsung ke Kantor MDA Bali untuk meminta kepada MDA Bali agar sesegera mungkin mencabut SK MUDP (Majelis Utama Desa Pakraman) No. 031/Kpts/MUDP Bali/XII/2012 tentang Perubahan atas Keputusan MUDP Bali no. 005/Kpts/MDP Bali/V/2008 tentang pemekaran Desa Pakraman Tamblingan, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. 

Adapun dasar pertimbangannya sebagai berikut. Pertama, penerbitan SK tersebut sangat tidak berkesesuaian dengan kaidah-kaidah yang lazim dalam proses pemekaran sebuah desa adat, baik secara formil maupun secara substantif. 

Kedua, sampai kapan pun tidak akan pernah mendapat persetujuan dari Desa Adat Munduk sebagai desa induk maupun dari Masyarakat Adat Dalem Tamblingan di Catur Desa sebagai induk komunitas adat. 

Ketiga, semua pejabat di Kabupaten Buleleng, dari Bupati, Ketua DPRD, Kapolres, Dandim, Kajari, Majelis Madya dan Majelis Alit MDA Bali, tidak menyetujui pemekaran dan tidak mengakui eksistensi Desa Adat Tamblingan. 

Keempat, untuk menjaga kondusifitas wilayah terutama dari sisi keamanan dan kenyamanan sosial. 

Dalam rangka mengedukasi publik luas, Bendesa Desa Adat Munduk bersama dengan Tim 9 Masyarakat Adat Dalem Tamblingan di Catur Desa hadir langsung ke Kantor MDA Bali untuk menjelaskan kronologi kejadian. 

Pertama, sekelompok orang di Banjar Tamblingan berkeinginan menjadikan Banjar Tamblingan sebagai desa pakraman baru yang terpisah dari desa induknya yaitu Desa Adat Munduk. 

Kedua, Desa Adat Munduk lalu merespons dengan mengadakan paruman desa yang dihadiri oleh krama desa, 4 klian banjar yang ada di Munduk (termasuk klian Banjar Tamblingan), kelompok yang menginginkan pemekaran, Camat Banjar, dan utusan Bupati Buleleng. Paruman memutuskan untuk menolak usulan pemekaran tersebut yang kemudian dikuatkan dengan terbitnya SK No.2 tahun 2003 tentang penolakan tersebut oleh Desa Pakraman Munduk pada tanggal 1 September 2003. 

Ketiga, Bupati Buleleng memerintahkan kepada Camat Banjar melalui surat No. 450/83/Disbudpar/2005 tanggal 5 Maret 2005, agar semua pihak yang terkait melaksanakan hasil perarem. 

Keempat, Camat Banjar bersurat kepada inisiator pemekaran  (surat no.450/89/Kesos tanggal 17 Maret 2005) agar memperhatikan dan melaksanakan hasil perarem desa Adat Munduk yang sudah memutuskan menolak pemekaran. 

Kelima, pada tahun 2007, MDP provinsi datang ke Jeroan Pengrajeg Masyarakat Adat Dalem Tamblingan di Desa Gobleg untuk memohon izin pemekaran Tamblingan. Pengrajeg Adat Dalem Tamblingan dengan tegas menolak. 

Keenam, pada tanggal 13 Agustus 2007, 2 petajuh Desa Pakraman Munduk yaitu Putu Sumarjaya (petajuh pawongan) dan Nyoman Selamet (petajuh palemahan) membuat surat pernyataan palsu yang menyatakan Desa Pakraman Munduk menyetujui pemekaran Banjar Tamblingan menjadi desa pakraman melalui paruman tanggal 11 Mei 2007 ( tentu saja paruman ini tidak pernah ada). 

Ketujuh, tanggal 16 Mei 2008 MDP Bali menerbitkan SK No.005/Kpts/MDP Bali/V/2008 tentang Pemekaran Desa Pakraman Tamblingan. 

Kedelapan, tanggal 8 Agustus 2008, Desa Pakraman Munduk bersurat ke MDP Bali agar SK tersebut ditinjau kembali karena proses penerbitannya berdasar surat pernyataan palsu. 

Kesembilan, atas kesadaran sendiri, kedua petajuh yang membuat pernyataan palsu tersebut menyatakan mencabut pernyataannya yang dibuat pada tanggal 12 Agustus 2008. 

Kesepuluh, atas keberatan yang diajukan oleh Desa Adat Munduk dan Masyarakat Adat Dalem Tamblingan, MDP Bali mempersilahkan untuk menyelesaikan dan membuktikan secara hukum. Secara hukum kemudian diputuskan secara incraht bahwa surat pernyataan kedua petajuh itu palsu dan pelakunya menjadi terhukum. 

Kesebelas, setelah keputusan pengadilan, maka tanggal 28 April 2012 MDP Bali diminta mencabut SK pemekaran tersebut, tetapi MDP malah mengeluarkan SK baru No. 031/Kpts/MUDP Bali/XII/2012, sebagai pengganti SK yang cacat hukum tersebut pada tanggal 24 Desember 2012. 

Keduabelas, atas permintaan Desa Adat Munduk dan Masyarakat Adat Dalem Tamblingan, Bupati Buleleng kemudian mengadakan rapat dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Buleleng pada tanggal 1 Februari 2013 untuk membahas soal tersebut. Rapat menyimpulkan antara lain bahwa SK pemekaran tersebut cacat hukum dan batal demi hukum. Rapat juga menyepakati agar Bupati bersurat kepada MUDP Bali agar mengembalikan posisi Tamblingan sebagai banjar adat. MUDP membalas surat bupati tersebut sebagai tindakan intervensi. 

Berita acara rapat di rumah jabatan bupati tersebut ditandatangani oleh Majelis Alit Kecamatan Banjar, Majelis Madya Kabupaten Buleleng, Camat Banjar, Sekda Buleleng, Kapolres Buleleng, Dandim Buleleng, Ketua DPRD Buleleng dan Bupati Buleleng. 

“Nama Desa Adat Tamblingan kemudian dimasukkan dalam lampiran Perda No. 4 tahun 2019 tentang Desa Adat. Tentu saja ini atas usulan MUDP.  Kami kemudian menghadap Gubernur Bali pada tanggal 8 Juni 2020 untuk memprotes masalah ini. Gubernur kemudian memerintahkan Kepala Dinas PMA agar bekerja sama dengan DPRD Bali menghilangkan nama Desa Adat Tamblingan dari lampiran perda, tetapi sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya sama sekali. Kami sudah beberapa kali berkirim surat kepada MDA Bali untuk beraudiensi membahas masalah ini, tetapi tidak pernah mendapat jawaban,” tegas Bendesa Adat Munduk Mangku Ketut Ariman dan Ketua Tim 9 Masyarakat Adat Dalem Tamblingan di Catur Desa, Putu Ardana, Senin, 18 Maret 2024.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa inisiator pemekaran yang merupakan krama Banjar Tamblingan yaitu Mangku Nengah Punia sudah menyadari dan menyesali perbuatannya. 

“Maka hari ini kami, Bendesa Adat Munduk dan Tim 9 MADT di Catur Desa, mendatangi MDA Bali untuk mengantar surat dari Mangku Nengah Punia. Rencananya yang bersangkutan ikut hadir tetapi berhalangan karena istrinya berpulang, dan juga surat dari kami yang isinya meminta dengan hormat agar SK Pemekaran Banjar Tamblingan tersebut sesegera mungkin dicabut,” tutup Mangku Ketut Ariman dan Putu Ardana. (bp/ken)

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!