Ilustrasi: Bonk AVA
Keluhan Rakyat (1)
Pada tiap sepi menggantung dan mimpi yang mengapung, kami selalu memandangi mereka: suara-suara meninggi angkasa, pemilik kunci hari yang berpendar
Hanya memandang, tak lebih dari memandang
Lalu mimpi tengah hari ada yang singgah, membaca daun-daun kering yang hinggapi halaman puisi. Dikabarkannya sebuah jalan lorong flamboyan, dan kami sepakat menyusurinya
Kami bahagia di sana, menatap bunga merah jingga. Rimbun-indahnya karena langit yang sedia mencerahkan hari-hari di bumi
Kami bahagia, lalu terjaga
Sumbawa Timur, Maret 2022
Keluhan Rakyat (2)
Kau banggakan dingin matahari yang pisahkan daun dari cabang. Dengannya kau renggut kata-kata milikku di lidah kepodang, yang hendak menggubah lagu di pohon-pohon rimbun. Maka jarum-jarum hujan tajamnya berserakan, mengunggun di bukit rimba meranggas puisi
Sumbawa Timur, Maret 2022
Lubang Buaya Tak Pernah Tertimbun
Tujuh pria datang padaku, kembali datang padaku, menjunjung gulita sebuah lubang, lubang buaya, mengeluhkan serakan jutaan lubang, lubang buaya, tempat kenangan darah dan pelajaran merah terus tergelincir, terperosok, diangkut sebagai bangkai di belakang kereta hari depan yang harus tetap melaju tanpa perlu terganjal terlalu jauh
Kucemaskan tujuh pria itu sesali aku yang sedang bergegas memanggul diri dan sebuah negeri, pergi jauh dari tempatnya berdiri
Di jalan-jalan yang kukenal pasti, aku tersesat di bawah langit anyir. Berlari menuruni sunyi lubang pula, lubang buaya. Yang ternyata benar tak pernah tertimbun
Sumbawa Timur, Maret 2022
Garis Katulistiwa
Garis katulistiwa yang lurus terentang, tempat cuaca bergayut dan buatku damai dengan matahari serta hujan
Pada bentangan hayal itu berayun-ayun juga wajah Tuhan, yang sumringah memandang negeri yang Ia manjakan: hamparan hutan lebat, mutiara hijau berkilau, sawah kebun, harum bunga, ranum buah, segar umbi manis berisi. Luas meja lautan meja daratan, bagi hasrat dan hidup yang dipuaskan
Kadang pula kudapati garis yang lurus terentang itu jadi lintasan api: nyala angkasa tengah hari, yang lekas memicu bumi berapi. Perseteruannya terus memuncak dan tak kumengerti, padahal negeri ini telah sangat diberkahi
Aku terjebak pikiran sendiri. Bayangan pun enggan tunjukkan diri. Mungkin ia juga lebih memilih tertindih daripada menjelaskan sepi
Sumbawa Timur, Maret 2022
Penjaja Ikan Bertemu Tuhan
Dari gang ke gang, di penjuru kampung, penjaja ikan itu kantongi tolakan
Ia dan isterinya tersenyum memandang terik tengah hari dan singgah membasuh debu di pancuran mushollah
Pulang, di tengah jalan bertemu Tuhan yang menghitung seluruh kiloan, ditambah lelah perjalanan. Untuk dibayar kontan beberapa hari ke depan
Sumbawa Timur, Maret 2022
==============================
Biodata
Yin Ude, penulis asal Sumbawa Timur, NTB. Karyanya termuat dalam Buku Sepilihan Puisi dan Cerita “Sajak Merah Putih”, Novel “Benteng”, Antologi Puisi “Seribu Tahun Lagi”, “Genta Fajar”, “Plengkung: Yogyakarta dalam Sajak”, “Hujan Baru Saja Reda”, “Jejak Puisi Digital”, “Para Penyintas Makna” dan “Pertemuan di Simpang Zaman”. Beberapa buku lain dalam proses terbit.
Bonk AVA adalah nama pena dari Putu Sumadana, lahir di Denpasar, 27 Juli 1987. Puisi dan esainya dimuat di sejumlah media masa. Selain menulis, ia suka melukis. Pameran yang pernah diikutinya adalah “Silang Sengkarut” di Dalam Rumah Art Station, Denpasar. Kini ia bergiat di komunitas Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP), Bali.