Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Politik

Maknai Natal, Dewi Suyasa: Silaturahmi “Sementara” Cukup Lewat Hp

KARANGASEM, BaliPolitika.Com– Selalu ada kegembiraan setiap perayaan Hari Raya Natal. Termasuk yang diselenggarakan umat Kristen di seluruh penjuru dunia pada Jumat, 25 Desember 2020. Natal tak batal hanya karena pandemi Covid-19 yang dipicu virus SARS-CoV-2. Sama seperti Natal yang tak batal, Kadek Weisya Kusmia Dewi berharap hubungan harmonis antar umat beragama di Bali juga tetap terjalin meski semua serba terbatas akibat virus korona.

“Perayaan Natal tahun ini, sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya karena kita berada dalam kondisi pandemi Covid-19. Tanpa mengurangi makna Natal, kebiasaan untuk saling mengunjungi keluarga di luar kota seyogianya dibatasi untuk mengurangi resiko penularan covid. Dengan adanya teknologi canggih, kita bisa menggunakan media tersebut untuk bersilahturahmi. Misalnya cukup menyapa keluarga di luar kota melalui video call atau pun hanya menelpon,” ucap Kadek Weisya Kusmia Dewi yang akrab disapa Dewi Suyasa, Jumat (25/12/2020).

Ketua Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Provinsi Bali itu mengajak semua pihak menjadikan Hari Suci Natal sebagai momentum di mana setiap umat manusia menghargai waktu yang diberikan Yang Maha Kuasa untuk berbuat lebih baik ke depan. “Selamat Natal dan Tahun Baru 2021,” tandas anggota DPRD Karangasem Fraksi Gerindra itu.

Meski Natal 2020 serba terbatas akibat pandemi sama seperti perayaan suci umat agama lain, Dewi Suyasa menyebut ciri khas Natal Bali masih tampak. Antara lain budaya menjor. Dalam situasi normal, ungkapnya tradisi ngenjot, yakni berbagi bingkisan makanan kepada para tetangga yang berbeda agama, baik Hindu, Islam, Budha, maupun Kong Hu Cu juga dilakukan umat Kristen di Bali.

Ungkapnya, budaya mamenjor menegaskan bahwa Natal di Bali sangat kental dengan budaya kedaerahannya alias berkearifan lokal. Termasuk pakaian adat madya yang dikenakan saat menjalankan ibadah Natal ke gereja.

“Yang pria mengenakan kamen, saput, dan udeng; yang perempuan memakai kebaya. Ini akulturasi budaya yang luar biasa dan merupakan pondasi kuat dalam bingkai Negara Kesatuan Repubik Indonesia ke depan,” pungkasnya.

Tak hanya dalam hal busana, arsitektur gereja-geraja di Bali juga sangat kental dengan ornamen Bali. Baik berupa ukiran, relief, maupun patung, serta hiasannya. Dewi Suyasa menyebut Pulau Bali yang identik dengan adat dan istiadat yang bernafaskan Hindu juga memengaruhi pola budaya umat Budha, Islam, dan Kong Hu Cu.

Istimewanya, umat Hindu Bali juga memiliki budaya ngejot untuk Nyama Slam (umat Islam) yang tentunya tidak mengandung daging babi. Ngejot juga dilakukan umat Hindu kepada umat Kristen, Budha, dan Kong Hu Cu. “Ini merupakan elemen kecil, tapi memiliki rasa agama serta kekuatan toleransi yang luar biasa. Wajar Bali disebut miniatur semangat Bhineka Tunggal Ika di Indonesia,” beber politisi perempuan murah senyum itu. (bp)

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!