Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi April Artison

Ilustrasi: Wayan Jengki Sunarta

 

Rayuan Sang Iblis

Kemarin aku bermain dengan iblis
Ia menjelma sayap malaikat
Memberiku coklat sebab valentine sudah dekat
Celotehnya menajamkan lidahku
Ternyata dia lebih manis dari coklat

Boleh aku mencicipimu malam ini?
Sebab ranum tubuhmu meniupkan wangi
Di antara duri-duri dan bunga kasturi
Geliatmu menari bersama asap tembakau
Merengkuh keliaran yang tertahan di ceruk matamu

Iblis-iblis berbisik
Dia mengirim nyawa dan menyelusupkan di antara sela nadiku
Darahmu telah jadi bagian diriku
Menelusuri puisi di tubuhku
Menarikan tarian iblis
Menyanyikan lagu iblis
Ah, berikan aku kebengisanmu
Sebelum cahaya mengambil semua jelaga yang menyelimutiku

10/2/22

 

Sembilan Belas Dua Belas
: hatiku berhenti di situ

Sembilan belas dua belas
Duri-duri di ruang pesakitan
Muncul di waktu yang sama
Senja memalingkan wajah
Ingin pulang tapi rumah tanpa tuan

Sembilan belas dua belas
Waktu baru sepertiga jalan
Mataku sepasang hulu sungai membasahi ingatan
Melukai kenangan perjalanan panjang
Mengeja sajak yang mulai lelah

Sembilan belas dua belas
Sajakku menziarahi musim
Dingin itu engkau
Diam-diam mencuri hangat
Yang kuletakkan di ceruk hati
Membekukan separuh kehidupan

Sembilan belas dua belas
Angka-angka menjadi ketakutan
Di setiap kehadirannya kusimpan sebuah lambaian
Apakah pintu sudah terbuka?
Atau ia hanya menginginkan dirinya sendiri?
Sembilan belas dua belas
Beku oleh rindu tak bertuan

20/12/21

 

Rindu Bertemu

Aku bilang ini rindu
Kau bilang itu jemu
Kita pada persimpangan
Mataku sepasang hulu sungai
mendatangkan gerimis
Memeluk rindu yang paling dingin
Diam-diam kata menyulam bait puisi
Menunggu bunga mekar berteduh di hati

Selembar daun gemetar kedinginan
Bersama sunyi yang kau tinggalkan
Aku berteduh pada telaga matamu
Menceritakan setiap inci aroma basah tubuhmu
Pada kuning tabebuya kau mendatangkan rindu lebih dari biasanya

28/12/21

 

Di Kaki Gunung Agung

Pada rindu yang pernah mekar
Aku menyusuri jalan sunyi
Di antara bebatuan dan rimbun ilalang
Bulan masih malu-malu menampakkan wajahnya
Malam mengunyah segala kenangan masa kanak-kanak
Dan menelannya sampai nyaris hilang

Di kaki Gunung Agung
Seorang nenek berkain batik lusuh
Menjinjing kayu bakar di pinggangnya
Menggagahi derita yang memeluk hidupnya
Pikirannya berkelana mencari sisa ingatan
Dari jejak basah yang ia tinggalkan
Pohon-pohon menggugurkan segala kenangan
Sementara hujan tak henti mengalunkan rintih rindu
Membangunkan anak puisi yang hidup di sela jemarinya

Di kaki Gunung Agung
Pondok beratap jemari berdinding tanah liat
Adalah tempat di mana puisi tumbuh satu persatu
Sembari menanti rindu kembali menjejaki relung hati
Hangat perapian merambat ke ceruk tubuhku
Dan aroma semangkuk rindu melambungkan anganku
Tentang dongeng nenek sebelum tidur
Dari bibir renta dan binar penuh kasih di matanya
Menghanguskan rimbunan resah yang berkelebat di dada

Di kaki Gunung Agung
Kini menjadi asing saat waktu membawamu
Pulang ke tanah tua
Kusulam segala doa dan menidurkan segala pilu
Perjalananku masih panjang
Kususuri segala cerita tentangmu
Lewat dongeng dan tembang masa kanak
Yang setia memeluk malam-malamku
Agar ia tak beranjak dari ingatan

10/01/2022

 

Dharmah

Niat ingsun bade sumurupaken
Sukmoning dharmah ing dunyo ghoib

Kembalilah, Nak!
Anak kecil di dalam cermin memanggilku tiap senja surut
Dibekukannya waktu merapalkan japa mantra
Jemputlah pulang ruh yang tercerabut dari tubuh
Dahaga menderas rindu jalan pulang

Tegahaken dhanyang lor
Tegahaken dhanyang wetan
Tegahaken dhanyang kulon
Tegahaken dhanyang kidul
Nang dunyo ghoib

Segala arah mata angin aku memanggilmu
Segala pekat merajam menghujam
Hujanan mantra-mantra memanggilmu pulang
Anak kecil bergaun putih
Matanya mengalirkan kebencian
Dunia yang tak ramah, kezaliman yang diagungkan

Sumurupaken sukmoning Dharmah
Ning dhunyo ghoib dhuyo dhanyang
Tegahaken sumurupaken
Sukmoning Dharmah

Kembalilah, Nak! Dharmah!
Hendak mencari kebenaran
Yang tersesat dalam jubah kelam
Bau basah tanah mengutuki langkahnya
Sang Dhanyang berkeliaran menari di pikirannya
Merengkuh mata hati yang semakin menghitam
Pulanglah! Dharmah!
Di ujung sunyi cinta semesta menantimu

5/01/2022

 

BIODATA

April Artison lahir di Tuban, Badung, Bali, 12 April 1991. Sejak SD dia telah aktif mengikuti lomba baca puisi. Ketika SMP hingga SMA aktif di dunia teater dan mengikuti lomba baca puisi dan pidato. Tahun 2007-2008 pernah mengikuti beberapa pementasan teater dan lomba monolog. Sempat vakum beberapa tahun, kemudian sejak 2015 mulai aktif kembali bersastra dan berteater. Pada awal 2016 dia membaca puisi di Singapura dalam acara “Temu Penyair 5 Negara Asean”. Puisi-puisinya dimuat dalam buku “Klungkung; Tanah Tua Tanah Tanah Cinta” (2016), “Saron” (2018), “Di Altar Catus Pata” (2022). Dia juga aktif dalam beberapa pementasan teater, antara lain pentas dalam Parade Monolog serangkaian Festival Seni Bali Jani IV (2022).

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!