Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

ADAT DAN BUDAYA

Pujawali Padudusan Agung Pura Goa Lawah Digelar 22-29 Agustus 2023

UPACARA SUCI: Pengempon Pura Goa Lawah Desa Pakraman Pesinggahan menggelar upacara Melasti lan Mapepada, Minggu, Redite Pon Medangsia, 20 Agustus 2023, 

 

SEMARAPURA, Balipolitika.com- Pura Sad Kahyangan Goa Lawah yang terletak di Desa Pasinggahan, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali menggelar rangkaian upacara suci Padudusan Agung Warsa 2023. 

Minggu, Redite Pon Medangsia, 20 Agustus 2023, pura yang menjadi titik fokus Perang Kusamba antara tentara Kerajaan Hindia Belanda yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Andreas Victor Michiels melawan rakyat Klungkung yang dipimpim oleh Dewa Agung Istri Kanya ini menggelar upacara Melasti lan Mapepada.  

Bendesa Pura Goa Lawah, dr. Gede Bagus Darmayasa, MM.,M.Repro mengatakan upacara suci ini merupakan awal dari rangkaian Pujawali Piodalan di Pura Goa Lawah yang akan digelar Selasa, Anggara Kasih Kliwon Medangsia, 22 Agustus 2023.

Sebelumnya, pada Senin, Soma Pahing Langkir, 14 Agustus 2023 digelar upacara Nyujukung Tetaring, Ngunggahang Sunari, dan Ngawitin Nyuci Ngoreng. 

Selanjutnya pada Jumat, Sukra Umanis Langkir, 18 Agustus 2023 digelar upacara Negtegang, Nuur Tirta ring Pura Sad Kahyangan lan Dang Kahyangan ring Bali.

Dokter Bagus alias Dokter Batman- sapaan akrab dr. Gede Bagus Darmayasa, MM.,M.Repro- merinci upacara suci Padudusan Agung Pura Sad Kahyangan Goa Lawah warsa 2023 akan dipimpin oleh dua pedanda, yakni Ida Pedanda Keniten dari Griya Dawan Kelod Klungkung dan Ida Pedanda Istri saking Griya Dawan.

Secara keseluruhan rangkaian karya mulai 14-29 Agustus 2023 ini dilaksanakan oleh pengempon Pura Goa Lawah Desa Pakraman Pesinggahan.

Rangkaian piodalan ini dimulai pada Selasa, 22 Agustus 2023 dan Ida Bhatara akan masineb pada 29 Agustus 2023 pukul 14.00 Wita.

“Kami dan panitia karya mengimbau kepada umat Hindu berkenan ngaturang bhakti sesuai dengan waktu dudonan karya yang sudah diumumkan melalui media massa dan elektronik,” ujar sosok yang mengemban amanat sebagai Direktur Rumah Sakit Puri Raharja Denpasar itu, Minggu, 20 Agustus 2023.

“Kami juga berharap umat sedharma yang akan ngaturang Upakara Nyegara Gunung agar menghindari jadwal dengan upacara yang sedang berlangsung di Pura Goa Lawah,” ungkap dr. Bagus seraya berharap para agen atau biro perjalanan juga menjelaskan kepada para turis domestik maupun mancanegara yang akan berkunjung ke pura yang berada di jalur Klungkung-Karangasem.

Di sisi lain ditegaskan, para pemedek yang tangkil akan diatur masuk ke Jeroan Utama Pura Goa Lawah dengan sistem kartu.

“Agar dalam persembahyangan nantinya bisa nyaman dan tertib,” tandas Dokter Bagus sembari menyebut setelah puncak acara pada 22 Agustus 2023 akan digelar nganyarin pada 23-28 Agustus 2023 mulai pukul 10.00 Wita sebelum digelar panyineban pada 29 Agustus 2023 pukul 14.00 Wita.

Sebagaimana diketahui Lontar Padma Bhuwana menyebutkan Pura Goa Lawah merupakan salah satu Kahyangan Jagat atau Sad Kahyangan sebagai sthana Dewa Maheswara dan Sang Hyang Basukih dengan fungsi sebagai pusat nyegara-gunung.

Dalam beberapa lontar, sekilas ada yang menyimpulkan secara garis besarnya bahwa pura-pura besar yang berstatus Kahyangan Jagat dan Sad Kahyangan di Bali dibangun oleh pendeta terkenal, Mpu Kuturan pada tahun 929 Saka atau 1007 Masehi. Fakta ini dibuktikan dengan disebutnya Pura Goa Lawah dalam lontar Mpu Kuturan.

Dalam buku tentang Pura Goa Lawah yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Klungkung diceritakan bahwa Mpu Kuturan datang ke Bali abad X saat pemerintahan dipimpin Anak Wungsu, adik Raja Airlangga yang memerintah di Jawa Timur (1019-1042).

Ketika tiba, Mpu Kuturan menemui banyak sekte di Bali. Melihat kenyataan itu, Mpu Kuturan kemudian mengembangkan konsep Tri Murti dengan tujuan mempersatukan semua sekte tersebut.

Kedatangan Mpu Kuturan membawa perubahan yang sangat besar di wilayah ini, terutama mengajarkan masyarakat Bali tentang cara membuat pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi yang dikenal dengan sebutan kahyangan atau parahyangan.

Di samping nama Mpu Kuturan, patut juga dicatat perjalanan Danghyang Dwijendra atau Dang Hyang Nirartha yang dikenal juga dengan gelar Pedanda Sakti Wawu Rawuh.

Maha pandita ini berada di Bali saat dipimpin Raja Dalem Waturenggong (1460-1550 Masehi), seorang raja yang membawa kejayaan Nusa Bali.

Danghyang Nirartha merupakan pendeta yang melakukan tirthayatra ke seluruh pelosok Pulau Bali, termasuk juga ke Pulau Lombok dan Sumbawa.

Kaitannya dengan Pura Goa Lawah, Lontar Dwijendra Tatwa menyebutkan perjalanan Danghyang Nirartha diawali dari Gelgel menuju Kusamba.

Namun di Kusamba, Dang Hyang Nirartha justru tidak berhenti. Perjalanannya berlanjut hingga ke Goa Lawah. Saat itulah, Dang Hyang Nirartha bisa melihat gunung yang indah dan perjalanannya dihentikan.

Sang pendeta masuk ke tengah gua, melihat-lihat gua kelelawar yang jumlahnya ribuan. Di puncak gunung gua itu bunga-bunga bersinar, jatuh berserakan tertiup angin, bagaikan ikut menambah keindahan perasaan sang pendeta yang baru tiba.

Dari sana, ia memandang Pulau Nusa Penida yang terlihat indah. Lalu membangun padmasana yang merupakan tempat bersthana para dewa.

Pura Goa Lawah awalnya dipelihara dan dijaga Gusti Batan Waringin atas petunjuk Ida Panataran, putra dari Ida Tulus Dewa yang menjadi pemangku di Pura Besakih.

Penunjukkan itu mengingat Goa Lawah memiliki hubungan dengan Pura Besakih. Pura Goa Lawah merupakan jalan keluar Ida Bhatara Hyang Basukih dari Gunung Agung, tepatnya di Goa Raja, terutama ketika berkehendak masucian di pantai.

Jika menengok ke belakang yakni pada zaman megalitikum, di mana selain menghormati kekuatan gunung sebagai kekuatan alam yang telah menyatu dengan arwah nenek moyang yang mempunyai kekuatan gaib, juga menghormati kekuatan laut di samping kekuatan-kekuatan alam lainya, seperti batu besar, gua, campuhan, kelebutan dan lainnya.

Dalam kehidupan masyarakat Bali yang kental dengan pengaruh dan sentuhan agama Hindu, pemujaan terhadap kekuatan segara-gunung memang merupakan dresta tua.

Tetapi sampai saat ini masih bertahan dan terus berlanjut. Karena pada intinya, pemujaan terhadap Dewa Gunung atau Dewa Laut, sesungguhnya telah mencakup pemujaan kepada kekuatan alam yang notabene penghormatan yang amat lengkap.

Atas dasar itulah, pura yang awalnya sangat sederhana itu, kini lebih dikenal sebagai kekuatan alam yang bersatu dengan kekuatan magis arwah nenek moyang.

Laut yang berada di depan pura, sekarang telah menyatu dengan segala kekuatan yang dihormati dan dipuja masyarakat guna mendapat ketenteraman dan kesejahteraan hidup.

Pura Goa Lawah memiliki sejarah yang cukup panjang. Berawal dari pemujaan alam gua kelelawar, gunung, dan laut di zaman megalitikum, lalu dikembangkan atau ditata dan kemudian dibangun pelinggih-pelinggih sthana para Dewa dan Bhatara oleh Mpu Kuturan abad X kemudian disempurnakan lagi dengan membangun padmasana oleh Dang Hyang Dwijendra pada abad XIV-XV.

Perlu dicatat, Nyegara-Gunung yang digelar di Pura Goa Lawah, mengandung makna terima kasih ke hadapan Sang Hyang Widhi dalam manifestasi Girinatha (pelindung gunung) dan Baruna sebagai penguasa laut atas pemberian amerta, baik kepada Sang Dewa Pitara—jiwa leluhur yang telah suci—maupun kepada Sang Yajamana, Sang Tapini, dan Sang Adrue Karya.

Atas dasar konsep inilah Umat Hindu memuliakan gunung dan laut sebagai sumber penghidupan.

Memuliakan gunung dan laut bukan berarti umat Hindu menyembah gunung dan laut, tetapi yang dipuja adalah Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pelindung gunung dan penguasa laut. (bp)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!