Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

PUISI-PUISI PUTU OKA SUKANTA

Ilustrasi: Gede Gunada

 

KORUPTOR DITAMPAR SANDAL

Menunggu ombak menjilat kaki
Berdiri santai di tepi pantai
Menunggu janji sebuah negeri
Tanpa pejabat yang senang mencuri

Ombak datang bertandang
Disambut dendang
Nelayan yang tak surut berjuang
Upah dan keringat tidak seimbang

Angin berembus memberi senang
Awan beriring menjanjikan terang
Bekerja tak kenal malam maupun siang
Belum bisa pulang membawa uang

Termaktub dalam sejarah
Yang jarang diunggah
Boleh jadi disisihkan
Bahkan mungkin dikuburkan

“Seekor Tikus (putih?)
Berpangkat Patih
Ditampar sandal
Boleh jadi sampai terpental
Oleh Pangeran Diponegoro
Di Istana Jogjakarta
Pada tahun 1817
Karena tertangkap tangan
Sebagai Tikus.”*

Katanya Tikus yang Patih itu,
Bersumpah kapok dan minta ampun
Tapi berulang lagi dan hampir sama
Dan beranak pinak.

Ombak ganas membentur tebing
Runtuh berkeping bungkah berbungkah
Nelayan dan orang orang pantai
kehilangan sari laut pati bumi
Tikus tikus negeri sibuk membuat kalkulasi
Sambil menonton indah senja matahari.

Pangeran Diponegoro,
Menampar Patih tikus
dengan sandalnya,
Tikus beranak pinak,
Di setiap jengkal negeri
Pangeran Diponegoro sudah pergi,
Dagang sandal keliling negeri
Hanya dijual untuk kaki,
Bukan menampar tikus negeri
Yang pintar berenang
Di laut pasang.

Rawamangun, 21.10.23

(*Buku KORUPSI, Peter Carey, Suhardiyoto Haryadi)

 

ORANG-ORANG AMPAS

Orang-orang Ampas
Tidak penghuni bantaran sungai
Tidak juga di tepi rel kereta api
Sahabat kan pasti mengerti
Walau segan berbagi suara hati

Orang-orang Ampas hidup meriah
Penghuni rumah mewah
Berguru pada monyet dan harimau
Sudah kaya pingin berkuasa
Sudah berkuasa ingin kaya
Kanker di tubuh bangsa.

Orang-orang Ampas
Selepas terali bui
Mencalonkan diri kembali

Orang-orang Ampas
Rerontokan Kemuliaan.

Orang-orang Ampas
Sulit ditumpas
Petinggi negeri dan politisi
Berbeda beda kalkulasi.

Rawamangun, 15.10.23

 

KANGENKU KEPADA HUJAN

Kangenku kepada hujan
Kuharapkan ketulusan

Hingga tengah malam
Terik menggigit kulit

Terasa aku mendengar kaki kaki
Hujan menari
Di atas genteng

Kangenku kepada hujan
Tanah rengkah
Akar resah
Kuharapkan ketulusan.

Kusambut engkau datang
Ternyata dedaunan dimainkan angin
Menyapu genteng
Apakah ilusi,
Aku berteka teki

Yang beratap langit
Yang bersimbah keringat
Yang riang ria di ruang sejuk
Yang,
Yang,
Berharap hujan turunkan keikhlasan
Menjawab rindu berbagai rupa.

Kangen kepada hujan
Kehabisan doa doi
Mantra mantri
Langit benderang
Terik menggigit kulit.

Rawamangun, 28.10.23

 

AROMA TERAPI

Aroma sekuntum Kenanga
Melelapkan jiwa
Menyeberangi malam

Ketika sampai di remang pagi
Pergulatan sudah dimulai
Kuntum Kenanga
Berbisik, “Sampai jumpa,
Jangan lupa jalan pulang.”

Rawamangun, 26.10.23

 

SI GENDONG ANAK

Si Gendong anak
Berumah di jalanan
Di tepi tepi
Juga di Selokan

Sedikit sekali orang paham
Hidupnya berbuah manfaat

Si Gendong anak
Kakinya terendam lembab basah
Tubuhnya menari
Di hangat matahari
Pancaran semangat

Orang waras dan cerdas
di zamannya menyayanginya
Mengajaknya pulang ke Dapur
Dihangatkan hidupnya
Menyatu, bahu membahu
Mengusir kelelahan sesudah di sawah
Mengusir “Roh jahat”,
Peringan demam,
Batuk pilek dan gelisah resah.

Di zaman moderen
Si Gendong anak
Mejeng di ruang segar Apotik
Didandani,
Diberi nama “Stimuno Mudolator”,
Keren dan mahal.

Orang waras dan cerdas di zamannya
Memberi nama: Meniran*

Rawamangun, 29.10.23.

*Philanthus Urinaria.

 

BIODATA

 

Putu Oka Sukanta lahir di Singaraja, Bali, 29 Juli 1939. Dia mulai menulis sejak di bangku SMP. Buku-bukunya yang telah terbit antara lain Selat Bali (kumpulan puisi, 1982), Luh Galuh (kumpulan cerpen, 1988), Keringat Mutiara (kumpulan cerpen, 1991), Matahari, Tembok Berlin (kumpulan puisi, 1992), Kelakar Air, Air Berkelakar (novel, 1999), Merajut Harkat (novel, 1999), Kerlap Kerlip Mozaik (novel, 2000), Di Atas Siang Di Bawah Malam (novel, 2004), Rindu Terluka (kumpulan cerpen, 2005), Keringat Mutiara (kumpulan cerpen, 2006), Lobakan (Cerita Seputar Tragedi 1965/1966 di Bali, 2009), Istana Jiwa (novel, 2012).

 

Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama. Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!