Ilustrasi: Bonk Ava
Membaca Selembar Malam di Sebuah Negeri
bulan padam oleh cekikik hantu
yang bengis mencekik leher waktu
hingga bulir bulir gelap membanjir
ke sekujur pandang
menggenang ke seluruh ruang
dan lapis lapis sepi pun menjelma duri
tersebar di sepanjang jalan
bagi perambah sejarah yang sansai
malam begitu sundal
dengan bau amis khianat
makin menguar dalam hujan angin
mematahkan dahan dahan
dan batang batang pohon
yang menjadi tanda di kelok penempuhan
tak mau raib dari kejaran ingatan
pengecut sembunyi di selangkangan berita
yang tak mengatakan apa apa
selain tampak bisul merah terkelupas
karena gatal yang rajin bekerja
merongrong ke liang luka
digaruk tangan tangan tahun yang kecewa
hanya gonggong anjing
berkali kali melubangi pagar senyap
dan suara burung malam yang berayun
di puncak desir kegaiban
seperti jadi perangkap bagi pertanyaan
yang menyimpan nganga
tempat berbiak bagi kutuk dan sumpah
masih ada utang darah, juga barah
cuaca mampat ke punggung geram pekat
amuk kecamuk pun menjelaga
menguasai jarak terka yang tak sampai
sampai pada baris kata kata
telah tercengkam dan tersekap
di dalam mulut batu yang bisu
sampai menjelang dini hari
masih ada gema suara tembakan
juga bayang nanar tikaman
pada tubuh tubuh terkulai
diseret keterburuan jarum jam
menuju ikhtisar riwayat negeri muram
meski telah tertimbun kumpulan musim
meski riuh alibi kota melimpah terkirim
Bekasi, 2021
Planet Anjing
ada lidah yang terus terjulur, menjelma sulur bagi
ramalan di sela sela gigi peradaban. terus
memanjang di jalanan sembari memajang niat
dengan hiasan rimbun ucapan untuk menyamarkan
kekenyalan tabiat. berlapis lapis golakan mencecap
ilusi keliaran. bukankah setiap persembahan diam
diam memuat siasat yang keparat.
air liurnya menjadi hujan, menjadi tarian dengan
tempias yang menyuburkan rayu bagi wilayah
wilayah gelojoh. lalu terbentuk sungai dengan
aliran yang deras dan beberapa jeram menukik
pada tikaman lapar yang sialan. bukankah akan
terus membasah musim bagi kengototan terlalah
hasrat menuju perjumpaan yang lezat.
taring dan cakar adalah perajin bagi sehimpunan
dendam yang selalu dimekarkan oleh kemeriahan
mulut suasana. rekaman pertarungan selalu segar
diputar dan menggelontorkan wajah wajah
berdarah, dengan jejak luka tercabik dan tersayat.
bukankah perburuan tak mengenal batas sampai
terputus seluruh napas.
dari gonggongan makhluk berkaki dua berjalan
tegak, mewujudlah ribuan butiran renik runcing
berlepasan di udara. lalu kian membesar, saling
melekap pagut, mengumpul, menggumpal dan
bergegas memadat, melingkar lingkar. menjelma
sebuah bola merah dengan garis edar seperti
gerak ujung ekor yang lucah.
Bekasi, 2021
Memasak Puisi di Kamar
1/
kita tak butuh negara, ucapmu lunak malam itu.
karena batas batas adalah semacam kebohongan
yang digariskan buat membagi ketenangan wilayah.
bukankah keleluasaan adalah kejuitaan yang tak
perlu dimajaskan. bila penyebutan adalah sebagai
penyekatan, juga penyekapan, tentu itu hanya
kenaifan yang diulur ke lorong umur.
2/
kita tak butuh pemerintah juga, bukan. adalah
kepurapuraan yang berjamur, kehadirannya yang
hanya hablur. musim ternyata dibikin rezim seperti
pesanan sablon di tepi jalan, lalu yang tercetak
hanya kecemasan. jauh simpang penempuhan
seperti perubahan wajah di salon, lembar media
telah menjadi sekumpulan konon.
3/
kita hanya butuh sebuah kamar, yang segar dan
hangat. di situ kita memasak sebanyak mungkin
puisi yang lezat. sampai langit langit berkeringat,
kemudian kita bacakan larik larik sajak sepanjang
angan. kita saling berpegangan, menghibur waktu
agar lupa, tak jadi berangkat, sambil menandai
semua denyut di tubuh kita sebagai keabadian.
Bekasi, 2021
Sajak Buset
pada panggilan yang bukan berasal dari nama,
aku pun tak bertanya itu berawal dari mana. aku
tak akan menyibukkanmu dengan mencari cari
alasan dari sesuatu yang tak begitu penting tapi
bikin kamu pening. biar mengalir saja seperti air
kali yang bening bersahaja, yang di negeri ini
hanya kita temui dalam lukisan saja.
ada banyak alias atau pseudonim kadang
disematkan karena dianggap memang lagi
musim. barangkali terdengar aneh, ada saja
kelakuan orang orang yang bisa jadi kau pun
turut memakmurkan. seperti hendak menuju
sebutan hit dengan berlomba lomba
memperdagangkan kumpulan rasa sakit,
bahkan malah sampai berjilid jilid.
ujaran atau celoteh mungkin hanya bergerak
pada hal kebanyakan dan remeh. semacam
hendak meloloskan diri dari kebiasaan yang
dikira basi, atau serupa hiburan bagi waktu
yang kebingungan mencari sinyal dari sepi.
aku tahu makian yang kaukirimkan lewat pesan
pendek itu adalah bagian dari akumulasi ciuman
yang lama kautahan.
Bekasi, 2021
Museum Kafka
muram sendiri
di sekelumit praha
yang belajar gembira
seperti kastil tua
menunggu sejarah
dikembalikan
surat surat tergeletak
tak terbaca alamat
nyaris bunuh diri
kata katanya mengalir
ke buku buku di luar waktu
menjelma kalimat baru
yang terus berlari
dari kejaran pembaca
lalu sembunyi ke sudut gelap
teramat jauh dari jangkauan duga
tetapi tak ada kecoa
tak ada serangga
hanya serangan haru menyergap
tiba tiba
dan segala benda di dalam ruang
bermetamorfosis menjadi lengang
Bekasi, 2020
===================
Biodata
Budhi Setyawan, atau Buset, lahir di Purworejo, 9 Agustus1969. Mengelola komunitas Forum Sastra Bekasi (FSB) dan Kelas Puisi Bekasi (KPB), serta tergabung dalam Komunitas Sastra Kemenkeu (KSK) dan Komunitas Sastra Setanggi. Saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, Indonesia. Akun Instagram: busetpurworejo.
Bonk AVA adalah nama pena dari Putu Sumadana, lahir di Denpasar, 27 Juli 1987. Puisi dan esainya dimuat di sejumlah media masa. Selain menulis, ia suka melukis. Kini ia bergiat di komunitas Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP), Bali.