Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

ADAT DAN BUDAYA

Mapunia Rp20 Juta, Giri Prasta Siat Tipat Bantal di Kapal

SEJAK 1339 MASEHI: Bupati Badung, I Nyoman Giri Prasta bersama krama Desa Adat Kapal dalam prosesi tradisi Tabuh Rah Pengangon atau Siat Tipat Bantal di Pura Desa dan Puseh Kapal, Senin, 10 Oktober 2022.

 

BADUNG, Balipolitika.com I Nyoman Giri Prasta bersama krama Desa Adat Kapal mengikuti prosesi tradisi Tabuh Rah Pengangon atau Siat Tipat Bantal di Pura Desa dan Puseh Kapal bertepatan dengan Purnama Sasih Kapat, Senin, 10 Oktober 2022. Dalam momen tersebut Sang Bupati Badung menghaturkan dana punia pribadi senilai Rp20 juta.

Giri Prasta menyebut tradisi warisan leluhur Siat Tipat Bantal wajib dilaksanakan tiap tahun.

Jelasnya aci adalah persembahan, tabuh itu turun, rah itu energi dan pengangon itu manifestasi Dewa Siwa.

Imbuhnya Tari Rejang Tipat dan Baris Bantal dimaknai purusa dan pradana.

Bantal merupakan simbol laki-laki (purusa) dan tipat simbol perempuan (pradana).

Purusa dan pradana inilah dipertemukan di alam semesta untuk mendapat kemakmuran baik secara pribadi, kelompok, golongan, dan seluruh lapisan masyarakat. Saat pelaksanaan warisan budaya seperti saat ini yang amat disakralkan oleh masyarakat Desa Adat Kapal dan bagi kami ini sangat luar biasa sekali, pertahankan, dan lestarikan,” pesan Giri Prasta.

Bendesa Adat Kapal, I Ketut Sudarsana menyebut tradisi tersebut dilaksanakan pertama kali tahun 1339 Masehi.

Tujuan tradisi ini guna memohon ke hadapan Ida Bhatara yang berstana di pura se-Desa Adat Kapal agar menganugerahkan keselamatan dan kesejahteraan bagi krama desa.

Aci Tabuh Rah Pengangon ini dilaksanakan setahun sekali bertepatan dengan Purnama Sasih Kapat dan sampai saat ini terlaksana 683 kali.

Pada Siat Tipat ini, warga dibagi menjadi dua kelompok, kemudian mereka masing-masing membawa ketupat untuk selanjutnya saling lempar.

Tradisi ini dimulai saat Bali dipimpin oleh Raja Ida Sri Astasura Ratna Bumi Banten.

Sang Raja kala itu mengutus patihnya bernama Ki Kebo Taruna atau Kebo Iwa untuk memperbaiki Pura Purusada di Kapal.

Kebo Iwa melihat sebagian besar rakyat Kapal yang bertani diserang musibah paceklik.

Saat itulah, Kebo Iwa memohon kepada Ida Bhatara yang berstana di Pura Purusada dan mendapat petunjuk agar dilaksanakan upacara sebagai persembahan kepada Sang Hyang Siwa.

“Persembahan tersebut diwujudkan dengan mempertemukan purusa dan pradana disimbolkan tipat dan bantal sehingga lahirlah tradisi Aci Tabuh Rah Pengangon. Jadi pertemuan antara purusa dan pradana akan melahirkan kehidupan baru. Untuk pelaksanaan acara ini hanya melibatkan 5 banjar dari 18 Banjar Adat yang ada di Desa Adat Kapal. Setiap tahun akan digilir dari 18 banjar adat yang ada di Desa Adat Kapal,” jelasnya. (bp)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!