Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Hukum & Kriminal

MKKBN: Eksekusi Ashram Harus Berpegang pada Putusan Pengadilan

DENPASAR, BaliPolitika.Com- Surat Keputusan Bersama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali nomor 106/PHDI-Bali/XII/2020 dan nomor 07/SK/MDA-Prov Bali/XII/2020 tentang pembatasan kegiatan pengembangan ajaran Sampradaya Non Dresta Bali di Bali menjadi perhatian serius Majelis Ketahanan Krama Bali Nusantara (MKKBN). Pengingkaran terhadap SKB itu diakui Ketua MKKBN I Ketut Nurasa menjadi pegangan pihaknya mensomasi MDA dan PHDI. Penutupan Ashram Krishna Balaram di kawasan Jalan Padang Galak, Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur yang diikuti penutupan ashram-ashram lainnya semakin membuat MKKBN bertindak tegas.

“SKB pelaksanaannya beda di lapangan. Di SKB isinya pembatasan, tetapi yang terjadi di lapangan pelarangan dan penutupan serta berani melakukan eksekusi. Ini abuse of power. Tidak sesuai dengan isi SKB, yakni pembatasan kegiatan terhadap Sampradaya non dresta Bali. Okelah mereka punya penilaian, tapi dalam pelaksanaannya terjadi pelarangan dan penutupan dengan cara arogan,” ujarnya, Sabtu (8/5/2021) siang.

Jika berbicara dari segi hukum, imbuh Nurasa eksekusi seperti itu harus berdasarkan keputusan pengadilan. Sambungnya, NKRI didirikan atas dasar hukum. Lebih-lebih tuduhan yang dialamatkan adalah Sampradaya non dresta Bali. “Sampradaya atau dulu disebut sekte bersifat aguron-guron. Para anggota Sampradaya masih tetap melaksanakan dresta Bali. Mereka ber-KTP Hindu dan masih masuk adat di wilayah masing-masing. Tunduk kepada hukum adat dan tradisi,” urainya.

Ditambahkannya, aktivitas Sampradaya adalah mempelajari kitab suci agama Hindu, yakni Weda dan Bhagawad Gita yang mengandung inti sari agama Hindu atau Weda ke-6. “Ini yang kami nilai Sampradaya mempunyai payung hukum. Legal standing-nya dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) serta Kementerian Agama. Sampradaya juga diayomi oleh Parisadha Hindu Darma Indonesia (PHDI) dalam bhisama nomor 3. Sehingga kalau PHDI ikut mengeluarkan SKB berarti melawan bhisamanya sendiri. Posisi SKB MDA dan PHDI jauh lebih rendah. Kedudukan hukumnya jauh lebih rendah,” nilainya.

Lebih lanjut, Nurasa menegaskan yang paling tidak sesuai hukum adalah tindakan oknum-oknum atau kelompok yang mengaku sebagai pembela Hindu dresta Bali. “Mereka ingin mengeluarkan orang Hindu dari agama Hindu. Sedangkan pengikut Sampradaya KTP-nya Hindu. Seharusnya mereka melakukan gugatan bahwa ke Kemenkumham dan Kementerian Agama bahwa Sampradaya tidak sesuai Hindu. Kalau memang dapat keputusan itu, baru lakukan tindakan eksekusi,” tandasnya. (bp)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!