Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

OPINI

Memurnikan Taksu Swadharmaning Agama Pecalang

Oleh Dr. Anak Agung Putu Sugiantiningsih, S.IP.,M.AP.

Bali menjadi ikon pariwisata dunia. Di mata internasional, seni, budaya, dan adat istiadat Bali menawarkan daya tarik khas. “Adonan” seni, budaya, dan adat yang menyatu dalam nafas agama Hindu melahirkan aura magis bernama taksu. Dalam struktur organisasi, daya tarik dihadirkan sang polisi adat yang akrab disapa pecalang.

Pecalang merupakan organisasi kemasyarakatan dengan tugas pokok menjaga keamanan dan ketertiban sebuah upacara adat. Sesuai perannya menjaga kondusivitas, pecalang lekat dengan ciri khas busananya. Terdiri atas kamen, saput poleng, dan udeng. Sesekali terselip bunga pucuk alias kembang sepatu dan senjata tradisional keris. Busana pecalang identik dengan warna tridatu: merah, hitam, dan putih. Pecalang menjalani peran sesuai sesana pecalang.

Sejarah munculnya pecalang ini berkaitan erat dengan terbentuknya desa pakraman atau desa adat. Benang merahnya berawal dari tirtayatra atau perjalanan suci Rsi Agung dari India bernama Rsi Markandya ke Bali. Cikal bakal terbentuknya desa pakraman dimulai saat Rsi Markandya menyampaikan visi dan misi membangun desa pakraman yang disambut baik penduduk Bali. Sebagai pelengkap desa pakraman, dibentuklah jagabaya sebagai pengamanannya.

Pecalang pada saat itu disebut jagabaya desa alias penjaga desa. Pecalang berasal dari kata “calang” yang menurut teologinya dari kata “celang” alias waspada. Dengan kata lain, pecalang adalah seorang yang ditugaskan untuk mengawasi keamanan desa adat.

Dalam perjalanannya sebagai petugas keamanan desa adat, pecalang terbukti efektif mengamankan jalannya upacara-upacara di desa adat. Bahkan lebih luas pecalang mampu mengamankan kegiatan yang berhubungan dengan khalayak ramai. Peran penting pecalang dalam fungsi menjaga keamanan desa ini diatur dalam Perda Nomor 3 tahun 2001 yang diubah menjadi Perda 3 Tahun 2003 tentang desa pakraman.

Nama pecalang mencuat dalam Kongres V Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pimpinan Megawati Soekarno Putri di Sanur, 8-10 Oktober 1998 silam. Sejak saat itulah pecalang naik daun dan termasyur tidak hanya di Indonesia, melainkan ke seluruh dunia. Taksu pecalang memikat hati banyak pihak. Pasca kongres, pecalang mulai aktif menjaga keamanan pada setiap kegiatan adat maupun perayaan hari besar nasional dan internasional.

Pecalang tak lagi melaksanakan penjagaan keamanan dan ketertiban berdasarkan swadharmaning agama saja, melainkan melebar pada kegiatan yang bersifat swadharmaning negara. Pecalang yang hidup dalam kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Khayangan Tiga atau Khayangan Desa melompat keluar jalur. Dalam posisi ini konteks desa adat yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta hak mengurus rumah tangga sendiri mengacu Pasal 1 nomor 4 Perda provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 tentang desa pakraman wajib dipahami. Termasuk pengelolaan aspek pecalang yang diikat awig-awig atau pararem banjar atau desa.

Hal ini diatur pula dalam Pasal 5 dan 6 tentang tugas dan wewenang desa pakraman. Salah satunya membuat awig-awig.atau aturan yang dipakai sebagai pedoman pelaksanaan Tri Hita Karana mengacu konsep desa mawicara dan dharma agama di desa pakraman atau banjar pakraman masing-masing.

Terbaru, lahir Perda Provinsi Bali No.4 tahun 2019 tentang desa adat. Sejumlah perubahan terjadi. Pasal 4 Perda Provinsi Bali menyatakan bahwa desa adat berkedudukan di Provinsi Bali dan pasal 43 serta 44 disebut desa adat memberdayakan seluruh aparatur dari desa adat itu sendiri. Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) diganti sebutannya menjadi Majelis Desa Adat tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota serta Kecamatan. Dikuatkannya keberadaan desa adat dalam Perda Provinsi Bali nomor 4 tahun 2019 ini memengaruhi kedudukan pecalang secara fungsional.

Perluasan tugas pecalang pun terjadi. Pecalang tak lagi melaksanakan swadharmaning agama semata. Meski tak dibayar, pecalang ikut disibukkan dengan aktivitas negara dalam hal perang melawan virus korona. Pecalang juga menjaga kegiatan Pesta Kesenian Bali (PKB), resepsi pernikahan para artis, acaran ibadah umat agama lain, menjaga pantai, tempat pariwisata, bahkan menjadi pengatur parkir.

Perluasan tugas ini memicu kontroversi. Seolah taksu pecalang hilang. Tak lagi ngayah, tetapi cenderung mengarah pada hal materialistis. Pengabdian pecalang bergeser menjadi sebuah profesi jasa yang harus dihitung upahnya. Dulu mencari seorang warga untuk ngayah sebagai pecalang amatlah sulit. Kini, menjadi pecalang bahkan harus melalui tahap seleksi karena diserbu peminat.

Penerapan Perda No.4 tahun 2019 menunjukkan eksistensi pecalang yang secara fungsional diperjelas tupoksinya. Terbukti dengan dikembalikannya tugas pokok dan fungsi pecalang menunaikan swadharmaning agama saja. Sedangkan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali mentransformasi pecalang dengan nama berbeda, namun menjalankan sisi pecalang dalam swadharmaning adat dan negara. Wadah ini disebut Bankenda (Bantuan Keamanan Desa Adat). Dengan hadirnya Bankenda diharapkan taksu pecalang akan kembali bersinar dengan pengabdian ngayah sesuai dengan sesananing pecalang yang diwariskan turun-temurun.

Kini, menjadi PR bersama bagi para pecalang merespons maraknya pencurian arca-arca sakral di wewidangan desa adat. Tanpa perlu sibuk memikirkan sedang menjalankan swadharmaning adat atau swadharmaning negara mereka tentunya akan terpanggil untuk mengamankan teritorial adat masing-masing.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!