Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

CerpenSastra

Si Gila yang Berpura-pura Menjadi Gila  

Ilustrasi: Ignatius Darmawan

 

MEREKA bilang aku gila. Seperti halnya saat mereka percaya bahwa bumi itu bulat dan suatu hari matahari akan terbit dari barat. Begitulah keyakinan mereka saat menasbihkan kalau aku memang benar-benar sudah tidak waras.

Bukan tanpa alasan, beberapa peristiwa (yang sesungguhnya benar-benar terjadi) semakin menguatkan asumsi mereka dan mengubahnya menjadi kepastian sehingga pada akhirnya aku adalah si Gila.

Begini ceritanya …

Di suatu malam buta, ketika aku sedang berjalan pulang sehabis nonton orkes dangdut di kampung sebelah, tanpa sengaja aku melihat sesosok bayangan mengendap-endap di luar pagar tembok besi rumah seorang petinggi, sebut saja dia Tuan A. Pagar itu tingginya sekitar tujuh kaki. Dengan begitu, siapa pun yang hendak berbuat jahat, harus berusaha keras melompati pagar yang di ujung atasnya ditanami beling dan kawat berduri.

Aku yakin, sosok itu datang ke rumah Tuan A bukan untuk tujuan baik. Dia pasti merencanakan suatu kejahatan. Jika bertujuan baik, mana perlu dia mengendap-endap begitu, bukan? Seperti maling. Yah, dia pasti maling!

Belum lagi hilang rasa penasaranku, tiba-tiba saja aku dikejutkan dengan polahnya. Dia melompati pagar setinggi tujuh kaki dengan begitu ringan. Dalam satu kedipan mata, sosok berpakaian serba hitam itu telah berada di halaman rumah Tuan A yang luasnya luar biasa. Tak ingin ketinggalan momen, aku segera mengintai di celah gerigi pagar. Sekali lagi aku dibuat terperangah saat bagaimana dia masuk ke dalam rumah melalui … ventilasi udara!

Aku mengucek-ngucek kedua mata. Pasti ada yang tidak beres dengan pengelihatanku. Namun, belum sempat meyakinkan diri bahwa yang kulihat itu salah, dia keburu menghilang. Aku tegang, rasanya seperti ikut andil dalam peristiwa yang sedang kusaksikan ini. Bagaimana tidak? Hatiku dag-dig-dug, perut pun rasanya mules, dan jantungku seperti sedang berjoged dangdutan seirama musik orkes yang tadi kusaksikan di kampung sebelah.

Menunggu dua menit rasanya seperti dua dekade. akhirnya, dia keluar melalui ventilasi (lagi). Jangan tanya bagaimana caranya! Jujur saja, seumur aku memiliki kepala, baru kali ini aku melihat peristiwa di luar jangkau akal sehat.

Agar tidak dia ketahui, aku segera bersembunyi di balik pohon sinyoh di seberang jalan sebelum dia mengulang kembali scene yang ia lakukan tadi, melompati pagar tembok besi tanpa mengeluarkan suara sama sekali!

Dia berjalan tergesa melewati jalanan sepi. Kuikuti langkahnya, aku sepertinya hafal ke arah mana dia pergi.

Dia berhenti di depan sebuah gubuk di ujung kampung. Aku tahu betul gubuk siapa itu. Konon, penghuninya adalah seorang janda paruh baya yang ditinggal mati suaminya karena terjatuh dari atas pohon kelapa. Janda itu memiliki dua anak lelaki, lima dan sepuluh tahun usianya.

Dari cerita yang kudengar, keluarga itu sering kelaparan. Seperti kaktus yang mampu hidup di gurun pasir tanpa air, ketiganya pun sanggup bertahan meski hanya makan satu kali sehari. Pernah juga selama dua hari perut mereka tak terisi. Jika kedua bocah itu merengek karena cacing di perut mereka meronta-ronta meminta makan, sang ibu akan segera merebus sesuatu dalam kuali. Anehnya, meski sudah berkali-kali diisi air dan titik didihnya sudah lebih dari 1000C, apa yang direbus ibu mereka tak kunjung matang. Dan saat salah satu di antara bocah itu bertanya, maka sang ibu akan menjawab, “tunggu, sebentar lagi!”

Selalu begitu setiap kali si bocah bergantian bertanya, sampai rasa letih dan kantuk menyergap lalu meninabobokan mereka dalam mimpi.

Orang berpakaian serba hitam itu meletakkan sesuatu di depan pintu dan mengetuk tiga kali. Setelah mendengar suara langkah kaki dari dalam, dia pun pergi. Sekali lagi aku dibuat tercengang, dia melompat ke atas atap jerami tanpa menimbulkan suara, lalu menghilang ditelan langit. Aku bergidik, mungkinkah dia hantu?

Pengalaman luar biasa itu lantas kuceritakan pada setiap orang yang kutemui. Di warung kopi, pasar, pos kamling, dan bahkan rumah bordir. Namun, aku sama sekali tak habis pikir, mengapa tak ada satu orang pun dari mereka yang memercayai kata-kataku? Padahal jelas-jelas aku menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri. Mereka hanya geleng-geleng kepala dan memiringkan jari telunjuk di depan dahi.

“Kebanyakan makan bunga kecubung!” komentar Darsim sambil lalu, saat aku dengan penuh semangat menceritakan pengalamanku itu di warung kopi Yu Sri. Yang lain hanya menahan senyum seraya mengalihkan topik pembicaraan.

Tentu saja mereka tak percaya, sebab di hari berikutnya setelah peristiwa itu terjadi, suasana rumah Tuan A baik-baik saja. Tak ada kegaduhan mengenai harta benda yang digondol maling. Bahkan, salah satu warga (yang meski tak percaya tapi masih penasaran dengan apa yang kukatakan itu benar atau tidak) sengaja mendatangi rumah si janda paruh baya sambil membawa sedikit makanan sekalian menanyakan kebenaran ceritaku. Tetapi lacur, dia menyangkal! Ucapan perempuan itu semakin menguatkan keyakinan mereka kalau aku memang sudah tidak waras.

Di lain waktu, karena merasa suntuk aku pergi ke hutan. Udara segar, rindang pepohonan, dan suara hewan yang saling bersahutan membuatku merasa nyaman. Tanpa sadar aku tertidur di bawah pohon kesemek hingga malam menjelang.

Aku terbangun saat dingin mulai menusuk kulit. Untuk sejenak aku kebingungan, di mana aku berada sekarang? Itu barangkali yang kubisikkan dalam hati. Setelah ruhku mengumpul sepenuhnya, aku baru sadar kalau aku sedang berada di dalam hutan.

Sesosok bayangan berdiri tepat di depanku. Lidahnya menjulur dengan napas terengah saat mata yang bersinar kehijauan itu menatap dalam gelap. Ya Tuhan, serigala! Aku kaget bukan buatan. Ruhku sepertinya hampir keluar lagi dari dalam. Namun, aku seperti terhipnotis. Tak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali! Aku hanya bisa terpaku, layaknya idiot yang sedang mengagumi pahatan patung perempuan telanjang.

Demi Tuhan! Mataku hampir melompat keluar. Serigala itu melangkah tanpa menjejak tanah. Dengan tatapan matanya, dia mampu menggerakkan tubuh dan kakiku untuk mengikuti ke arah mana dia pergi. Jangan tanya seberapa takutnya aku pada saat itu, lututku gemetar dan selangkanganku terasa hangat. Namun, hal itu tak mengurangi kekuatan hipnotis yang dilakukan serigala itu padaku, setidaknya itu yang aku rasakan. Sungguh, aku mengutuk diriku sendiri, bagaimana bisa sampai ketiduran di hutan hingga larut malam?

Di dekat sungai kakiku berhenti melangkah. Serigala itu berdiri di samping kananku. Tatap matanya tertuju pada kegaduhan yang ditimbulkan oleh suara hewan yang sedang berebut makanan.

Mataku penasaran dengan apa yang dia lihat. Seketika kesadaranku masuk kembali ke dalam cangkang. Hampir saja aku berteriak karena rasa kaget yang luar biasa. Di depan sana, beberapa meter di seberang sungai, aku melihat sekawanan serigala sedang memakan bangkai kawanannya sendiri.

Rasa ngeri menjalari seluruh tubuh. Bukankah serigala adalah hewan yang terkenal setia kawan? Bagaimana bisa hewan-hewan itu dengan beringas memakan bangkai kawanannya sendiri? Mencabik-cabik dan melumatnya dengan gigi dan lidah mereka tanpa sedikit pun rasa iba? Ah, benar! Sepertinya matahari akan segera terbit dari barat.

Aku memicingkan mata. Sisa kepala yang kulihat sangat mirip dengan hewan yang berada di sampingku. Mungkinkah?

Serigala itu tersenyum kecut.

“Menyedihkan, bukan?” katanya.

Aku terkesiap, ajaib! Hewan itu bisa bicara. Untuk kesekian kalinya aku dibuat ternganga. Antara kagum, takut, dan tak percaya.

“Itu … kau?” hanya itu yang lancar keluar dari mulutku.

Hewan itu mendesah. Oh, lebih tepatnya roh serigala yang dikoyak dagingnya.

Tak ada jawaban.

Aku hanya melihat linangan air yang turun dari matanya.

“Aku penasaran, bagaimana perasaan kawananmu itu saat mengunyah setiap bagian dari dirimu. Puaskah mereka?” tanyaku lagi.

“Mungkin.”

“Tak adakah yang ingin kau lakukan? Sesuatu? apapun?!”

“Apa yang bisa kulakukan? Tak ada yang tersisa dari bulu, kulit, daging, bahkan tulangku. Sekarang aku hanyalah sesosok roh gentayangan.”

Aku diam.

Roh itu beranjak dari tempatnya. Aku tak tahu ke mana makhluk malang itu akan pergi. Mungkin mencari keadilan. Kudengar, kematian bukanlah akhir dari kehidupan, dan kudengar pula kalau Penguasa di sana sangat adil dan tak pandang bulu. Aku mendesah, semoga saja roh itu bisa segera bertemu dengan Sang Penguasa Agung di sana.

Sebelum pergi, aku sempat mendengar salah seekor dari kawanan serigala itu bicara lantang, ada aura kecemasan meski nada suaranya ia buat penuh kewibawaan.

“Ingatlah! Apa yang terjadi malam ini, bisa saja terjadi pada kalian di kemudian hari!”

Dan bulu kudukku kian berdiri.

***

 

Cerita dari mulut ke mulut ternyata lebih menyeramkan ketimbang berjalan melewati kuburan di tengah malam. Entah berawal dari siapa, kisah tentang kawanan serigala yang memakan bangkai kaumnya sendiri itu menyebar dengan cepat ke seluruh isi kampung.

“Aku yakin dia sudah tidak waras. Apapun yang dia katakan selalu tidak masuk akal. Mana mungkin ada serigala memakan serigala? Lalu, dia bilang kalau roh serigala itu bicara padanya? Ah, benar-benar sudah gila!” Lelaki berambut sebahu bicara sambil menyeruput kopi.

“Iya, kasihan! Bujang lapuk itu sepertinya benar-benar kesepian hingga pikirannya konslet begitu,” timpal yang lain.

Seorang pemuda tua berjalan ringkih di depan warung kopi, wajahnya berseri. Senyum kecilnya mengembang. Meski tak ada yang peduli, dia berhenti sejenak tepat di hadapan lelaki berambut sebahu yang masih asik meneguk kopi.

“Kau tahu? Dua hari lalu, seekor cicak mati karena tanpa sengaja menguping obrolan para buaya! Ha-ha-ha!”

Semua yang hadir geleng-geleng kepala.***

 

Ciater, 24 September 2022

 

BIODATA 

 

Neng Lilis Nuraeni (Lies Noor) lahir dan tinggal di Subang. Bekerja di sebuah pabrik sepatu di kota Subang. Lulus dari SMPN 1 Ciater pada tahun 2002. Namun, tidak berkesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tahun 2012, mengikuti program paket C. Dan di tahun yang sama berhasil meraih juara 3 lomba puisi berjudul ‘Si Perempuan’ yang diadakan oleh salah satu penerbit di kota Subang. Cerpen-cerpennya antara lain: Pada Gerimis dan Bayangan Punggungmu, Bintang di Utara Itu adalah Bapak!, Selimut Bulu Angsa (masuk antologi cerpen SIP Publishing), Pada Kau Murni, Perawan Tak Bermahkota (Juara Harapan lomba cerpen Romansa Universe), Akasia dan Sebungkus Rindu (30 besar lomba Cerpen SIP Publishing), Guyonan Maut (peringkat 27 lomba Tulis.me). Novel cetak: Kekasih Sang Pendosa (Romansa Universe, 2021), Telisik Macula (Hyang Pustaka, 2023). Novel online: Gairah Bahu Laweyan (Novelme). ‘Terlambat memulai lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa!’ adalah motto hidup yang ia yakini. Bisa follow Ig @liesnoor87.

Ignatius Darmawan adalah lulusan Antropologi, Fakultas Sastra (kini FIB), Universitas Udayana, Bali. Sejak mahasiswa ia rajin menulis artikel dan mengadakan riset kecil-kecilan. Selain itu, ia gemar melukis dengan medium cat air. FB: Darmo Aja.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!