Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Politik

Mainkan Isu Populis, AWK Disebut Versi Mini Donald Trump

DENPASAR (BaliPolitika.Com)- Gaya berpolitik anggota DPD RI Arya Wedakarna tak hanya menuai kritik keras I Nengah Sumerta. Politisi yang oleh sebuah media nasional disebut “Raja” dan politisi populis Pulau Bali itu juga menjadi perhatian seorang peneliti Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Singapura. Sang peneliti ISEAS yang fokus pada studi tren sosial politik dan ekonomi di Asia Tenggara itu bernama Made Supriatma. Berikut tulisan utuh sang peneliti dikutip dari akun media sosial facebooknya.

Politisi Populis Lokal: Arya Wedakarna sudah lama ada dalam radar saya. Dia muda. Dia tampan. Dan dia politisi. Hal yang terakhir ini yang membikin ketertarikan saya. Wajar saja. Saya belajar semua hal tentang politik.

Terus terang, saya mengamatinya dengan perasaan antara senang, kuatir, dan kadang jengkel. Saya senang karena menurut saya dia adalah politisi muda Indonesia yang sangat pandai memerankan diri di depan publik. Dia juga sangat mahir menggunakan media sosial. Saya kira tidak ada politisi Indonesia yang lebih efektif memakai media sosial ketimbang Wedakarna.

Setiap politisi adalah juga seorang narsistis. Mereka sangat sadar dengan citra. Ada yang mencitrakan dirinya sebagai seorang sederhana, merakyat, berpakaian lusuh, dan blusukan kemana-mana. Namun ada juga yang memainkan citra sebagai orang yang agung, dikelilingi oleh kemegahan. Wedakarna berada di sini. Dia mengklaim dirinya sebagai Raja Majapahit Bali dan rumahnya adalah Istana Mancawarna, yang berdiri tidak jauh dari istana kepresidenan Tampaksiring.

Hal yang membuat saya kuatir adalah bahwa Wedakarna sangat pintar memainkan isu-isu populis. Dia lihai sekali memainkan perasaan ketakutan, tidak aman, dan ketersisihan orang Bali. Sebagaimana politisi populis dimana-mana, Wedakarna adalah seorang nasionalis. Seorang ethno-nationalist, tepatnya. Lengkapnya, Anda bisa ditulisan yang saya bagikan dibawah ini (membagikan link Tirto.id, red).

Wedakarna selalu mengklaim dia berjuang untuk masyarakat Bali. Dalam anggapan dia, Bali sedang terpuruk dan dia memiliki imajinasi Bali yang hebat. Dia adalah versi mini dari Trump” “Make Bali Great Again.”

Apa yang menyebabkan Bali terpuruk? Seperti Trump dan para politisi populis Kanan pada umumnya, Wedakarna menunjuk pada pendatang (immigrants). Dia memang tidak mengatakannya secara langsung. Istilah yang dia pakai adalah orang-orang “dauh tukad.” Semua orang tahu bahwa yang dia maksud adalah Jawa dan Muslim.

Akhir-akhir ini, dia memakai juga istilah Kadrun. Misalnya, hanya lima hari lalu, di Bali beredar gambar seorang perempuan kulit putih berjongkok menangis ketakutan karena dijambret. Wedakarna langsung menawarkan bantuan di akun FB dan IG miliknya. Yang menarik adalah bagaimana dia membangun persepsi siapa yang menjambret:”Semoga citra Bali tdk buruk karena ulah oknum kriminal kadrun yg mencopet tamu tamu Bali.” Oknum kriminal kadrun. Siapapun tahu, orang Bali bukan kadrun (singkatan dari Kadal Gurun). Semua orang tahu siapa yang dimaksud. Itulah yang dalam istilah bahasa Inggris disebut sebagai ‘dog whistling.’

Ada juga hal yang membuat saya jengkel dan marah. Kira-kira seminggu yang lampau, Wedakarna mengumumkan bahwa dia akan menciptakan milisi ‘Tameng Marhaen.’ Untuk saya, ini langkah yang sudah kelewatan. Tameng memiliki sejarah yang sangat kelam di Bali. Tameng adalah pelaku utama pembantaian 1965 di Bali dan pendiri Tameng adalah I Made Wedastra Suyasa, ayah Wedakarna. Seorang populis Kanan menjadi seorang fasis ketika dia mulai mengorganisasi milisi.

Bali sedang berada pada masa krisis. Pariwisata berada pada titik nadir karena pandemi ini. Situasi akan semakin memburuk setiap hari. Bali tidak akan pulih dalam waktu dekat karena pariwisata adalah hal terakhir dalam prioritas orang dalam masa pandemi.

Oleh karena itu, sangat, sangat berbahaya bila seorang politisi mengeksploitasi situasi ini dan menimbulkan perpecahan mendalam di dalam masyarakat. Sejauh ini, memang belum tampak ada serangan terhadap pendatang. Namun potensi itu ada. Kalau provokasi dibiarkan berlanjut dan kalau situasi sosial-ekonomi semakin terpuruk, saya tidak heran itu akan terjadi.

Pada titik inilah, sebagai orang yang belajar serius tentang konflik politik dan sosial, saya melihat politisi ini sebagai bom waktu. Dia tidak lagi politisi burung merak yang menari-nari untuk mendapat tepuk tangan. Dia menjadi burung pemangsa.

Sebagaimana diketahui oleh Tirto.id, AWK ditulis menggelari diri dengan sebutan Ratu Ngurah Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa Kaping III, Abhiseka Raja Majapahit Bali Sri Wilatikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan XIX. AWK memanggungkan citra populis via Instagram dan facebook.

AWK juga dinilai mengeksploitasi kebencian terhadap pendatang dengan sentimen etnis berbungkus agama. Tirto menyorot bahasa tulis AWK yang ingin menghidupkan kembali milisi Tameng Marhaen yang dalam sejarah politik lokal di Bali adalah proyek pembantian massal pada 1965-1967. (bp)

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!