Ilustrasi: Ignatius Darmawan
Pesan Setyawati kepada Salya
Padamkanlah api yang bersembunyi dalam bibirmu
Bukankah kau bilang cintamu Sungai Gangga
Yang mengalir sejuk bagai mantram puja
Padamkanlah bara dalam matamu
Bara yang menyalakan gurun-gurun
Membakar rumput kering
Menciptakan cinta yang gelap
Waktu yang rapuh
Kau dan aku akan menua
Berangkat dari waktu yang gelap
Menciptakan kekosongan demi kekosongan
Dari kepenuhan demi kepenuhan
Perlahan-lahan usia merayap ke senja yang tua
Kita akan kehilangan kelamin
Bahkan kehilangan baju di musim-musim yang entah
Maka padamkan api itu
Jangan lupa sisakan api dalam dirimu
Untuk menerangi kegelapan
Mencari kanak-kanak yang sembunyi dalam lipatan waktu
Dan menyusuri lekuk tubuh dinginku
Yang pernah beku di medan Kurukshetra
(Tegaljaya, Februari 2021 )
Tarian Kalajengking
Mari berdansa
Maju mundur ke segala arah
Menghitung penjuru mata angin
Sambil mengingat nama-nama dewata nawa sanga
Mari berdansa
Sebelum kutulis nasibmu di tanah
Menjadikanku ibu paling lapar
Peganglah tanganku
Lalu pergilah ke tempat tersembunyi
Tak terlihat olehku
Dari ruas kakiku tercipta sabit cuaca
Racun-racun muslihat
Bahkan intuisi dan siasat
Mari berdansa dengan jujur
Paling telanjang, mengingat lorong-lorong gelap
Atau tanah yang lembab tempat kelahiran memberi kita
kenikmatan paling fana
Lapar paling purba
Dan pertempuran paling kekal
Mari berdansa
Diantara putaran bulan, denting kesenyapan
Dan riuh kegelapan
Aku tak hendak tahu mana samaran atau ramalan
Kita hanya lupa, lupa rupa
Lupa aroma dan nama
Mari berdansa sebelum kutunjukkan tanda
Akhir dunia
(Tegaljaya, April 2021)
Mata Gandhari
Cahaya yang lahir dari mataku
Akan membuatmu hidup
Seribu tahun lagi
Kumuntahkan firman ke dalam tubuhmu
Tubuh yang diberkati doa-doa
Namun tak bisa kugenapkan seluruh tubuhmu
Sebab deras luka di dadaku serupa lenguhan-lenguhan
bukan lenguhan panjang di musim kawin
Tak ada suara gerimis di luar sana
Tak ada derap kuda atau denting senjata
Hanya kita berdua
Masihkah kau putraku?
Di mataku mengalir tujuh mata air
Tertiup angin kelamin yang malu menampakkan rupanya
Tak apa
Biarlah darmaku menjadi genap di antara puing-puing peperangan
Mungkin aku hanya ingin dicatat di harum tanah Hastinapura
Ke sinilah putraku
Biarlah mataku dengan seribu air mata
Memandang matamu
Sebentar lagi seribu doa menyentuh tubuhmu
Agar seribu senjata tak mampu menembusnya
Maka seribu cahaya akan bersinar menjelma baju zirah
Kecuali desis ular yang sembunyi dalam bentangan kain
O Madawa
Mahkota yang dihiasi bulu merak
Muslihatmu telah menjelma cadar kelamin
Membenamkan lentera mata tua ini
Hanya tinggal kerut-kerut
Legam, sembab
Membawa putraku pergi jauh
terasing dari tanah ibu
terasing dari dirinya sendiri
(Tuka, April 2021)
Memuja Sajak
Apalagi yang mesti kukatakan
Selain sajak-sajak penghimpun air mata
Tak sekedar kata-kata asing yang bising
Ia memikul bebanku sepanjang usia
Nadaku sendiri sumbang
Didengar telingaku yang bimbang
Bermacam pertempuran menciptakan luka
Luka-luka yang baka
Sungguh aku terasing dari rima sajak
Hanya terpenjara dalam sunyi
Berjarak dengan bunyi
Aku memuja sajak-sajak dengan darah
Dengan bulan sabit merah
Meski menghidangkan kematian
Dalam panjang penantian
Ingin kusembahkan nyawa berlipat-lipat
Namun tiada urat lagi melompat
Ke segenap alamat
Disematkannya padaku kata pecundang
Yang malang
Sebab tak ada terpandang
Dari basi kata-kata alang kepalang
Akan kuingat setelah berganti baju
Berapa ratus kelahiran kurayakan
Untuk menemukan rahasia kupu-kupu
Di lekuk tubuhnya
(Tuka, Nov 2020)
Percakapan Sunyi
Telah kuhirup asin keringatmu
Kunikmati wangi feromonmu
Percakapan sunyi kita tak putus-putus
Senantiasa terjaga
Berhembus ke laut, ke lembah
Ke jalan-jalan
Kau
Membenamkan dirimu ke dalam deras lenguhku
Kau pikul jantungku dengan seribu tangan
Dari puing-puing luka kita meraba-raba
Gairah
Memungut kata-kata yang masih hidup
Mungkin kita pikir bisa dijadikan sup
Penghangat badan
Di musim gigil seperti sekarang
Kemarilah, kemarilah
Kita ramu kata-kata dengan amis darah
Letakkan tanganmu di sini
Ini jantungmu
(Tuka, September 2020)
Jalan Melasti Kuta
Tak ada lagi melasti di sini
Hanya senandung angin pantai
Jalan lengang hampa deru kendaraan
Bayang-bayangmu menyelinap
Menjajakan souvenir
Kaki kecil wajah basah penuh peluh
Berjalan mendatangi mobil-mobil
Tak ada melasti di Jalan Melasti
Pandemi mengusirnya
Menghentikan jejakmu
Kini tinggal
Sajak kosong berdiam seperti lolongan serigala
Mencakar dada yang degup
Rintih perut yang cemas
dan doa-doa penuh kepasrahan
Dan kaki yang harus melangkah memperjuangkan hidup
Tak ada melasti di Jalan Melasti
Hanya tubuh jalan tanpa ruh
Menyusuri waktu tanpa tepi
(Tegaljaya, September 2021)
Membuat Tempe Kacang Hijau
Biarlah kau pakai bajumu hingga masuk kamar
Katamu baju hijaumu sangat baik dalam menyimpan
Rahasia
Baiklah aku tak bersusah melepasnya
Maka kuelus-elus saja kau
Seusai mandi lalu kuhangatkan tubuh mungilmu
Seperti di sauna kau akan merasa begitu didih
Menahan sabar meneguk harum doa-doaku
Kini ketika siang mulai beranjak
Kau telah selesai dengan segala ritual
Kutuangkan seluruh diriku ke dalammu
Dalam pesta awal tahun
Kubedaki seluruh tubuh mungilmu
Sambil mengenang tangan ibu yang rahim
Mengusapi peluh dan air mata
Di peraduanmu, ruang gelap hening
Ciptakanlah rasa paling rasa
Dua hari lagi kan kujemput
Dengan jantung bertalu-talu
Rindu mengelu-elu
Sanggupkah kau menjelma puisi?
(Tegaljaya, Maret 2021)
BIODATA
Rai Sri Artini beralamat di Tuka, Dalung, Badung, Bali. Suka menulis puisi, memasak dan menonton film. Bisa dihubungi di Facebook Rai Sri Artini dan di alamat email [email protected].