Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi Wayan Jengki Sunarta

Ilustrasi: WJS

 

Celoteh 1

Bagai anjing tua, kau melolong di tengah malam buta. Lolonganmu adalah suara kepedihan sukma. Kau melolong kepada pohon-pohon meranggas, kepada bintang-bintang yang pudar cahayanya. O, betapa menyedihkan kesendirian. Namun kau telah memilih jalan hidupmu. Begitu sebatangkara melintasi hari demi hari.

Seperti keong buta, kau melata di bebatuan licin. Terpeleset berkali-kali ke dalam kubangan. O, betapa menyedihkan usia tua. Tak ada yang peduli. Dunia memusuhi usia tua. Dunia selalu ingin remaja seperti ketika awal mula diciptakan. Namun kau telah memilih jalanmu sendiri. Jalan yang kau cipta dalam pikiran keruhmu. Ya, setiap orang merangkai takdirnya masing-masing. Maka begitu pula bumi ini akan mengenangmu.

2022

 

Celoteh 2

(1)

Aku adalah waktu yang berjalan lambat menujumu. Aku sungai keruh penuh sampah yang tersendat mengalir menujumu. Aku seperti malam tanpa bintang. Apakah aku akan menjadi ufuk pagi ketika kau tiba dari masa silam?

Di meja kerjaku, apalah aku? Aku hanya kertas penuh coretan. Atau pensil tumpul yang berupaya menggurat kata demi kata. Namun kata-kata telah jauh terbang, melesat menggapai awang-awang. Dan aku kembali sendiri dengan diriku.

(2)

Kau tentu akan mengeluh perihal waktu. Sebab waktu adalah diriku. Tak ada yang sebebas aku. Seperti rumput liar aku terus tumbuh. Seperti lumut aku tak akan musnah.

Jangan percaya pada mulut api yang menipumu dengan kehangatannya. Sebab hanya laron dungu yang merindukan cahaya.

Namun, aku adalah waktu yang berpusar dalam jiwamu. Aku kelam malam sekaligus ufuk pagi. Hanya aku yang mampu memberimu makna.

2022

 

Celoteh 3

Aku menemukan bening pagi di telaga matamu. Kau yang terlahir dari embun, entah mengapa menjadi pelangi. Aku susuri jalan ini menuju lebat hutan. Entah di mana setapak ini mampu membuka rahasia. Setiap waktu adalah perjalanan. Dan di manakah kesejatian berada. Mungkin di jiwamu atau jiwaku.

Ya, waktu akan berdebu di langkah kakiku. Waktu akan musnah di pelupuk matamu. Begitulah kesedihan bumi kini. Tak ada yang bisa kita lakukan selain menggapai ruang hampa. Kita hanya angin yang lewat dalam cuaca tak terduga. Atau pasir yang berpusar dalam angin, atau dihempas ombak pantai. Semua akan sirna ke dalam ruang jiwamu.

2022

 

Celoteh 4

Mari kita bersulang untuk malam yang begitu sempurna menyembunyikan takdirnya di bawah hamparan gemintang. Tuang lagi arakmu. Kita bersulang untuk hari-hari tak pasti, untuk suka duka perjalanan usia. Tak perlu kau ragu masuk ke dalam hidupku. Sebab hidupku adalah pintu terbuka bagi siapa saja yang ingin menumpahkan deritanya. Mengapa berdiri di situ? Malam sebentar lagi akan pergi. Dan pagi akan datang dengan wajah kuning cerianya. Ah, pipimu tentu makin merona teringat ciuman kekasih di masa silam. Dan, siapa yang bisa menduga kau masuk ke dalam hidupku. Jadi, mari bersulang untuk malam yang akan tuntas dalam gelas arak kita.

2022

 

Celoteh 5

Pada parasmu bias senja seperti asing. Cahayanya yang keemasan telah lama sirna ke dalam kenangan. Tak ada warna yang mampu bertahan. Semua mengelupas. Maka kucari lagi jejakmu yang mungkin masih membekas ketika dingin halimun mendadak muncul dari arah hutan keramat. Siapa yang akan menjaga hari senja? Selalu saja aku tak mengerti bahasa angin yang mampir ke telingaku. Hanya ada sisa malam di ujung matamu. Mungkin sekelumit mimpi masih bergelantungan di situ. Tapi kau coba bertahan dari sisa sepi. Sebelum waktu menyapu semua yang pernah ada. Kau dan aku pun tiada.

2022

 

Celoteh 6

Waktu mulai mengakhiri dirinya. Kau masih setia menatap masa lalu. Bahkan daun-daun waru yang luruh perlahan tak mampu memberimu makna soal kehilangan. Ya, semua akan berakhir. Dan kita di sini tetap saja merangkai detik demi detik, berharap semua abadi. Tak ada yang abadi, tentu saja.

Aku masih menggurat aksara, menerjemahkan gelagat cuaca yang merangkum kita dengan berbagai kisah. Ada yang menunda perjalanan pulang. Ada yang ingin segera pulang. Betapa Mayapada begitu mengikat jiwa. Kita belum mampu memahami keberadaan diri sejati. Maka, biarlah semuanya menjadi debu di tapak kakimu. Semua jadi abu. Apakah senyummu bisa memusnahkan waktu?

2022

 

====================

Biodata

Wayan Jengki Sunarta, lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Pernah kuliah Seni Lukis di ISI Denpasar. Mulai menulis puisi sejak awal 1990-an. Kemudian merambah ke penulisan prosa liris, cerpen, feature, esai/artikel seni budaya, kritik/ulasan seni rupa, dan novel. Tulisan-tulisannya dimuat di berbagai media massa lokal dan nasional, di antaranya Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Suara Pembaruan, The Jakarta Post, Jawa Post, Pikiran Rakyat, Bali Post, Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal Cerpen Indonesia, Majalah Sastra Horison, Majalah Gong, Majalah Visual Arts, Majalah Arti.

Buku-buku sastranya yang telah terbit adalah Jumantara (puisi; Pustaka Ekspresi, 2021), Solilokui (puisi; Pustaka Ekspresi, 2020), Amor Fati (puisi; Pustaka Ekspresi, 2019), Petualang Sabang (puisi; Pustaka Ekspresi, 2018), Senandung Sabang (catatan perjalanan; Badan Bahasa, 2017), Montase (puisi; Pustaka Ekspresi, 2016), Magening (novel; Kakilangit Kencana, 2015), Perempuan yang Mengawini Keris (cerpen; Jalasutra, 2011), Pekarangan Tubuhku (puisi; Bejana, 2010), Impian Usai (puisi; Kubu Sastra, 2007), Malam Cinta (puisi; Bukupop, 2007), Cakra Punarbhawa (cerpen; Gramedia, 2005), Purnama di Atas Pura (cerpen; Grasindo, 2005), Pada Lingkar Putingmu (puisi; Bukupop, 2005).

Beberapa karya sastranya meraih penghargaan, antara lain: Krakatau Award 2002 dari Dewan Kesenian Lampung, Cerpen Pilihan Kompas 2004, Cerpen Terbaik Kompas 2004 versi Sastrawan Yogyakarta, Nominator Lomba Naskah Monolog Anti Budaya Korupsi se-Indonesia 2004, Nominator Anugerah Sastra Majalah Horison 2004, Anugerah Widya Pataka dari Gubernur Bali (2007), Longlist Khatulistiwa Literary Award (2010), Lima Belas Nominator Sayembara Buku Puisi Yayasan Hari Puisi Indonesia (2016 dan 2018), Sebelas Terbaik Lomba Cipta Cerpen dan Puisi Nasional yang digelar Disparbud DKI Jakarta dan Yayasan Hari Puisi Indonesia (2019), Penghargaan Bali Jani Nugraha 2020 dari Gubernur Bali, Buku Puisi Terbaik versi Yayasan Hari Puisi Indonesia 2021 untuk buku puisi Jumantara.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!