Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

humanisme

Noor Huda: Mari Belajar dari Afghanistan, Hargai Perbedaan

HARGAI PERBEDAAN: Zoom Meeting bertajuk Cinta adalah Esensi dalam setiap Agama yang digelar Yayasan Institut Bhaktivedanta Indonesia dan Yayasan Prasasti Perdamaian

 

DENPASAR, BaliPolitika.Com- Yayasan Institut Bhaktivedanta Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Prasasti Perdamaian menggelar seminar nasional refleksi toleransi dalam upaya moderasi beragama bertajuk “Cinta adalah Esensi dalam setiap Agama” melalui zoom meeting, Minggu (22/8/2021). Menghadirkan Founder Institute International Peace Building in Indonesia Noor Huda Ismail. PhD, Associate Professor Religious Studies Manhattan College Rodney Sebastian PhD, dan aktivis Pemuda Hindu Ketut Budiasa MM.

Seminar tersebut dilaksanakan sebagai suatu dialog interfaith mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan dengan berbagai suku bangsa, budaya, dan agama yang beragam. Keberagaman agama dan keyakinan khususnya, di satu sisi menjadi peluang untuk menopang keutuhan bangsa melalui sikap toleransi terhadap perbedaan, dan di sisi lain dapat memiliki kecenderungan melahirkan konflik serta perpecahan yang bersumber dari truth claim (klaim kebenaran) masing-masing kelompok.

Beberapa tahun belakangan isu-isu yang berkaitan dengan pertentangan keyakinan nampak meningkat di beberapa tempat di Indonesia. Apalagi di era globalisasi dengan kecanggihan teknologi informasi, berbagai peristiwa sederhana cenderung mudah meledak menjadi sebuah isu besar. Hal itu disebabkan oleh berubahnya secara signifikan nilai-nilai dan gaya hidup sebagian besar masyarakat modern. 

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat religius namun perubahan gaya hidup modern yang menuntut harus bergerak serba cepat, sibuk dengan kompetisi ekonomi, politik dan berbagai pemenuhan kebutuhan hidup lainnya sering tidak memungkinkan untuk menginsyafi lebih dalam nilai-nilai spiritual dari agama yang dianutnya.

Semua ajaran agama pada tataran terdalam memiliki intisari yang sama, yaitu mencintai Tuhan dan mencintai makhluk hidup yang merupakan bagian dari ciptaan-Nya. Perbedaan merupakan sebuah ketetapan dari Tuhan Yang Maha Esa. Menolak perbedaan hanya akan menimbulkan permasalahan dan konflik secara individu maupun kolektif. Diperlukan sikap moderasi berupa pengakuan atas keberadaan pihak lain, memiliki sikap toleran, penghormatan atas perbedaan pendapat dan tidak memaksakan kehendak dengan cara kekerasan.  

“Semua kelompok masyarakat memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi aktif bagi tercapainya keharmonisan dan kedamaian,” ungkap Koordinator Acara, Bidang seminar YIBI Dr. I Wayan Nariata, Sp.PD, FINASIM di Denpasar, Minggu (22/8/2021). Ditekankan kembali, seminar nasional itu bermaksud untuk merefleksikan nilai-nilai terdalam dan universal yang ada di setiap ajaran agama. 

Dengan melakukan refleksi diharapkan mengingat kembali persamaan hakikat sebagai umat manusia, sesama insan beragama dan warga negara Indonesia yang masih berproses untuk mencapai tujuan hidup tertinggi, sehingga muncul rasa persaudaraan dan persatuan sebagai sesama anak-anak Tuhan sekaligus sebagai anak bangsa Republik Indonesia.

Pembicara pertama, Associate Professor Religious Studies Manhattan College Rodney Sebastian PhD membawakan topik “A Scientific Study of Love in World Religion”. Menurutnya, tema cinta kasih yang diusung dalam seminar tersebut adalah hal yang sangat relevan dengan situasi di berbagai belahan dunia termasuk di Amerika. 

Beliau yang seorang pengajar sekaligus praktisi Bhakti Yoga dalam Hindu mengungkapkan, prinsip dasar kehidupan adalah mencintai dan melayani Tuhan. Setiap tradisi agama memiliki masing-masing nabi atau tokoh dimana memiliki ciri kebahagian dengan mencintai Tuhan. 

Dalam Judaism, Di Torah disebutkan “dimanakah kamu”? (Genesis 3:9) Tuhan selalu ingin menjalin cinta kasih ini kepada makhluk hidup, begitu pula makhluk hidup kepada Tuhan. Kata ahavah: cinta ini berulang kali disebutkan di Hinduism. Kitab Torah Eseotoris juga menyebutkan bagaimana hubungan Tuhan kepada hambanya sangat intim. Terkadang disebutkan bahwa Tuhan sebagai suami dan rakyat Israel adalah istri.

Kutipan dari Torah yang juga diajarkan oleh Yesus menyebutkan Engkau hendaknya mencintai Tuhanmu dengan segenap jiwa, hati dan segenap kekuatanmu. Kita hendaknya menggunakan segala yang kita miliki untuk mencintai Tuhan dan sesama makhluk hidup lain.

Sedangkan dalam Islam, Tuhan dan makhluk hidup memiliki cinta yang kekal. Di dalam Sufi juga disebutkan bahwa kedudukan cinta adalah sesuatu yang tidak akan sirna. Al Ghazali (1111 CE) segala hal bhakti adalah turunan dari cinta kepada Tuhan.

Cinta murni kepada Tuhan juga disebutkan oleh Rabi’a al adawiyya (9 Century) seorang sufi yang agung “Cintailah Tuhan karena Tuhan sendiri bukan karena takut akan neraka. Jika aku memujamu karena rasa takut terhadap neraka maka bakarlah aku di neraka. Jika aku memujamu karena untuk mengharapkan surga, mohon tutuplah gerbang itu, jika aku memujamu hanya karena dirimu saja, berikanlah karunia kepadaku keindahan wajahmu”

Sufi lain, Jalal al-Din Rumi memberikan contoh bagaimana menari untuk Tuhan. Cinta adalah suatu kedudukan terpisah dari agama, dan keyakinan pada Tuhan adalah agamanya dari orang yang mencintai. Dengan kata lain, agama adalah ekspresi rasa cinta kita kepada Tuhan.

Begitu juga dalam Kristen, istilah Agape juga disebutkan sebagai cinta tanpa pamrih, tanpa kepentingan pribadi. Ujiannya adalah apakah kita bisa mencintai sesama kita? St. Francis of Asisi menyebutkan bahwa mengekspresikan cinta kepada Tuhan diwujudkan dengan mencintai sesama dan memelihara segala ciptaan Tuhan.

Mother Teresa: “Permasalahan terbesar dari dunia ini adalah rasa lapar, bukan rasa lapar dari perut tapi rasa lapar dari hati, dimana-mana orang miskin maupun kaya sama-sama menderita. Mereka merasa sendiri dan merasakan kelaparan akan cinta kasih”. Sri Caitanya Mahaprabhu: “O Tuhan yang maha perkasa, aku tidak menginginkan menikmati kekayaan, menginginkan wanita atau pengikut. Yang aku inginkan hanya cinta kasih bhakti dari kelahiran demi kelahiran”. Lebih lanjut Rodney menjelaskan tentang teologi Bhakti, di mana secara hakikat bhakti kualitas setiap jiwa sama dengan Tuhan namun berbeda secara kuantitas. 

Persamaan kualitas sifat tersebut juga memiliki arti bahwa Tuhan adalah person atau pribadi dan cinta kekal terhadap Tuhan (Bhakti) selalu ada (inheren) di setiap makhluk hidup. Dengan demikian tujuan dari setiap agama adalah mengajarkan pengetahuan dan cara untuk membangkitkan kembali kesadaran mencintai Tuhan. 

Rodney Sebastian menilai, perselisihan di dunia ini disebabkan ego yang palsu dimana kita menganggap diri adalah badan, hal inilah yang membangun perbedaan-perbedaan dan sekat-sekat di antara umat manusia. “Ego yang palsu menciptakan ilusi yang mendorong dan menganggap bahwa diri kita lebih baik dari orang lain,” ungkapnya. 

Sebagai kesimpulan Rodney mengutip pernyataan Radhanath Swami : Orang-orang yang bertindak di bawah ego palsu sangat mempengaruhi orang-orang di sekitarnya. Label-label yang bersifat eksternal membedakan kita satu sama lain. Mereka membagi kita menjadi kelompok-kelompok dan spesies. Lebih buruk lagi, mereka membuat kita berasumsi bahwa kita lebih penting dari orang lain. Ego palsu ini sangat kuat. Ini membawa kita pada sikap egois, kesombongan dan keinginan mendominasi dan mengeksploitasi orang lain, dengan keadaan seperti itu kita selalu menemukan alasan untuk membenarkan sikap kita. Semakin kita mengikuti dorongan kecenderungan tersebut maka semakin jauh membawa kita pada perbedaan -perbedaan di antara sesama.  

Sedangkan aktivis Pemuda Hindu Ketut Budiasa MM memberikan penjelasan lebih khusus tentang bagaimana Hindu mengajarkan cinta sebagai esensi ajarannya. Budiasa, mengatakan Bhagavad Gita menyebutkan setidaknya 22 kata “cinta” dalam sloka -slokanya yang dijelaskan dengan berbagai konteks. 

Untuk memilih jalan rohani setiap orang punya kecenderungan yang sesuai dengan tabungan karma masing-masing, oleh sebab itu siapapun hendaknya tidak pernah memaksakan kehendak kepada orang lain. Jangan sampai kita merasa mencintai dan membela Tuhan namun pada saat yang sama melakukan diskriminasi dan membenci sesama. 

Ajaran Veda memberikan empat jalan untuk mengembangkan cinta kepada Tuhan yaitu bhakti marga (jalan cinta), karma yoga (jalan kerja), jnana marga (jalan pengetahuan), raja yoga marga (jalan disiplin spiritual). Setiap orang bebas memilih jalan mana yang ditempuhnya sesuai pilihan hatinya.  

Pada akhir materinya Budiasa menyimpulkan, bila semua adalah Tuhan,  (“Sarwam khalv idam Brahman“ – CU III. 14. 3); dan Tuhan adalah kasih sayang; maka seisi semesta hanyalah cinta. “There’s nothing but God. There’s nothing but love”.

Kegagalan membumikan cinta sebagai prinsip utama ajaran Tuhan ke dalam praktik hidup sehari-hari merupakan faktor utama terjadinya konflik dan tragedi dalam kehidupan manusia. Hal ini dipaparkan secara gamblang dan lugas oleh Noor Huda Ismail PhD, narasumber terakhir dari seminar, seorang mantan jurnalis Washington Post, pendiri yayasan Prasasti Perdamaian, dan ahli dalam studi gerakan radikalisme dunia. 

Berdasarkan pengalaman membina para mantan teroris dan melakukan penelitian tentang aksi radikalisme selama puluhan tahun, Noor Huda menemukan bahwa militansi agama ada di setiap negara dan kelompok keyakinan, ia mencatat bahwa di setiap kelompok ada kecenderungan kegairahan/semangat untuk menjaga kesucian keyakinannya yang bertemu  (intersection) dengan nasionalisme dimana rasa cinta terhadap identitas diri ini berlebihan sehingga pada akhirnya melahirkan pemaksaan dan kekerasan terhadap pihak-pihak lain yang dianggap berbeda paham. Secara hakikat, cinta selalu membebaskan dan mendamaikan, ketika muncul dorongan berlebihan yang disertai amarah, menekan dan membuat orang lain menderita maka itu bukanlah cinta. 

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara setiap umat di Indonesia hendaknya selalu mengingat bahwa Indonesia dibangun dan didiami oleh berbagai suku bangsa dan agama. Dengan pluralisme seperti itu setiap kelompok hendaknya berbagi ruang satu sama lain.

Jika misalnya suatu kelompok memaksakan menjaga kemurnian dari pengaruh pihak lain maka akan muncul sistem yang terstruktur yang merongrong negara karena faktanya negara Indonesia adalah negara dengan bangsa yang multikultural dengan keyakinan dan cara pandang berbeda-beda, untuk menjadi bangsa yang kuat semuanya harus berbagi ruang. 

Noor Huda mengingatkan, kita harus belajar dari bagaimana Taliban berhasil menguasai Afganistan. Jangan sampai bangsa Indonesia kehilangan spirit luhur merayakan perbedaan, untuk itu menjaga tradisi berdialog adalah hal yang sangat penting.

Sebagai pengamat dan peneliti masalah-masalah konflik sosial di berbagai tempat di dunia, pengajar sekaligus narasumber berbagai media lokal dan asing ini menekankan bahwa di zaman global seperti sekarang kita tidak lagi bisa menyelesaikan masalah dengan bersifat lokal centris, karena permasalahan berbagai aspek hidup banyak berhubungan dengan masalah regional dan global, kita membutuhkan pendekatan penyelesaian masalah yg bersifat multi sistem. Ada begitu banyak permasalahan dunia, sebagai umat beragama dan warga bangsa/negara yang baik secara sadar kita harus mengambil posisi dalam penyelesaian masalah bukan pembuat masalah. (rls/bp)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!