Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

OPINI

Desa Adat Ibarat “Taluh Apit Batu”

Oleh I Putu Eka Mahardhika, S.IP.,M.AP (Universitas Warmadewa)

Mohon maaf ke hadapan Ida Bathara ring kahyangan adat sami, ring linggih Ida Hyang Raja Dewata. Semoga tidak kena raja pinulah dan para penglingsir sami mohon izin menulis sebuah pemikiran dari generasi muda. Hanya untuk memberi ruang saling mengingatkan; bukan saling menghujat. Saya sadar kita berada di wilayah dan atap yang sama serta menjaga warisan yang sama. Salah satunya yang hari ini kita sebut desa adat.

Siapapun yang ditanya tentang peran desa adat di Bali pasti akan sepakat menjawab sangat strategis dan vital dalam ketahanan Pulau Bali. Namun, selama musim Covid-19 ini, posisi adat di Bali juga ikut seperti terjangkit virus. Buktinya banyak muncul kasus adat belakangan ini. Yang paling populer adalah kasus pemilihan bandesa adat.

Posisi bandesa adat atau kerap ditulis bendesa adat dalam wilayah desa adat merupakan posisi paling strategis, khususnya terkait tata kelola desa adat dan krama adat. Dengan posisi yang begitu strategis tentu banyak elit politik berkepentingan untuk mendapatkan pengaruh di desa adat. Hal itu sah-sah saja. Namun, perlu diingatkan bahwa para elit, baik dari partai atau unsur manapun seyogianya tidak melupakan marwah desa adat. Tidak memosisikan adat ajang perebutan suara dan kuasa.

Pemilihan Bandesa Desa Mas, Ubud, Gianyar salah satu yang sedang ramai dibahas. Tanah kelahiran saya tersebut heboh dengan dalih adanya “wicara adat”. Proses pemilihan Bandesa Adat Mas yang dijalankan oleh panitia pemilihan bandesa adat melalui lembaga pengambil keputusannya digugat oleh 2 calon pada awalnya. Namun berubah akhirnya hanya 1 calon yang keberatan atas hasil musyawarah mufakat yang dilakukan oleh lembaga pengambil keputusan akibat adanya ketidakpuasan kala itu.

Wicara adat inipun sudah melalui beberapa proses hingga MDA Kecamatan Ubud dan MDA Kabupaten Gianyar memberikan rekomendasinnya atas keabsahan hasil Paruman Desa Adat Mas. Namun, oleh MDA Provinsi Bali masih d anggap ada “wicara desa” akibat masih ada 1 calon yang berkeberatan. Hingga tulisan ini dimuat, Desa Adat Mas belum mendapat kejelasan. Ibarat “taluh apit batu”. Berada pada posisi yang serba salah.

Jka ditanyakan, kejelasannya belum didapat dari MDA Provinsi Bali. Jika tidak ditanyakan, tambah tidak jelas proses SK pengukuhannya. Sebernarnya apa yang menyebabkan MDA Provinsi Bali belum berani mengeluarkan SK pengukuhan padahal wicara adat yang dimaksud sudah diputuskan lewat paruman Desa Adat Mas dan telah ditanda-tangani dan disahkan oleh peserta paruman Desa Adat sehingga menjadi pertanyaan kenapa SK Pengukuhan ini masih ditunda?

Ini hanyalah satu contoh dari sekian kasus adat di Bali. Tentunya sumber daya manusia (SDM) majelis adat yang ada di MDA Provinsi pasti kewalahan jika harus mengurusi lebih dari 1.400 desa adat di Bali. Di sinilah peran krama adat membantu MDA Provinsi Bali untuk menyelesaikan segala bentuk wicara adatnya di ranah paruman adat sebagai wilayah pengambil keputusan tertinggi. Jika kita sepakat menyatakan ingin memperkuat desa adat, maka sudah seharusnya wicara adat ini diposisikan pada paruman adat dan para pihak yang berkeberatan dihadirkan dalam paruman adat tersebut untuk gelar uji materi keberatannya. Dengan cara ini maka persoalan akan menjadi jelas. Apakah mekanisme yang dijalankan selama ini terdapat kekeliruan atau bahkan salah tentu dengan dasar pembuktian yang wajib dilakukan dengan upasaksi niskala.

Mengapa harus meupasaksi niskala? ini dikarenakan seorang bandesa adat terpilih bertanggung jawab sekala-niskala terhadap posisi yang diemban ke depaan. Jabatan bandesa adat ini tidak dijadikan ajang hanya perebutan kekuasaan semata dan tidak berakhir menjadi “sikut pedidi” alias asumsi sendiri tanpa pembuktian yang jelas di paruman desa adat sebagai paruman tertingggi di wilayah hukum adat.

Menjaga desa adat di Bali memang bukan perkara mudah. Namun, bukan berarti mustahil untuk dikelola dengan baik. Asal dikelola dengan bijaksana. Bisa dicermati begitu banyak nilai luhur yang ada di wilayah desa adat yang tumbuh dan menjadi “bekal hidup” bagi krama adat. Tengok saja istilah “Desa, Kala, Patra”, “Desa Mawacara”, “Ülu-Apad”, Pakiran-kiran I Jro Mekabehan”, dan banyak istilah bekal hidup lainnya yang diwariskan oleh leluhur Bali untuk anak-cucunya. Seluruhnya diposisikan untuk menghormati fungsi dan tatanan masyarakat yang hidup dengan keragaman yang muncul antar desa adat di Bali.

Namun disayangkaan tatanan yang selama ini menjadi tatanan dan bekal hidup krama desa adat di Bali seolah dikesampingkan akibat dampak relasi kuasa di tataran politik praktis. Ia yang hadir sebagai penggerak sebagian dominasi keputusan adat saat ini. Sejatinya tidak ada yang salah para elit politik hadir di wilayah adat. Bahkan wajib hadir sebagai pelindung dan penguat keberadaan desa adat di Bali. Tentunya dengan catatan nafsu berkuasa tanpa rasa. Jangan sampai hadir dengan menghalalkan segala cara yang malah akan berbalik merusak citra dan tatanan adat di dalamnya.

Para elit politik juga harus memahami kondisi adat dan belajar secara dalam tentang tata kelola adat yang saat ini di Bali. Mereka harus sadar posisi adat ini sangat beragam dan tidak bisa disatukan dengan satu tata kelola. Memang bukan untuk disatukan tata kelolanya, namun dibina sesuai dengan tatanan adat setempat.  Dengan car aitu maka konsep “Desa Mawacara”akan berjalan sebagai tatanan yang hidup dan memberikan warnah roh adat yang indah dan relevan bagi krama adatnya.

Pandemi Covid-19 sudah seharusya menyadarkan kita tentang banyak hal. Termasuk tata kelola desa adat. Alam saja sudah jelas memberi pesan melalui pandemi ini bahwa musuh sejati adalah musuh yang tidak terlihat! Sudah seharusnya krama adat dan para elit politik tidak lagi menaruh intrik untuk kepentingan pribadi atau golongan. Namun sudah sepantasnya dan sepatutnya mulai bersama dan bekerja sama membangun “Sikut Gumi” tata kelola desa adat bukan lagi “Sikut pedidi” kepentingan pribadi sehingga marwah desa adat sebagai denyut nadi krama Bali tetap eksis dan memberikan penghidupan bagi krama adat. (***)

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!