Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

CerpenSastra

SENYUM MANIS DI KAFE

Oleh DN Sarjana

Ilustrasi: April Artison

 

SUASANA sejuk sangat terasa ketika memasuki lokasi Kafe Bengong. Tempat parkir yang luas dihiasi interior lampu yang ditata apik, menjadi pesona pertama terkesan nyaman bagi pengunjung. Memasuki ruang lobi, resepsionis menyambut dengan senyuman yang ramah.

Kesan menggemaskan dari interior gaya kultur nusantara, perpaduan rumah tradisional Bali dengan gaya rumah Joglo, membawa pikiran hanyut ke masa lalu.

Pramusaji dengan tampilan menarik berbalut pakaian bawah agak minim menyambut pengunjung dengan sangat ramah.

Para pramusaji ini memiliki wawasan yang luas dan enak diajak bicara. Rasanya tempat ini layak direkomendasi untuk dikunjungi.

Ada hal menarik di kafe ini, pengunjung tidak boleh berswafoto apalagi sampai memegang para pramusaji. Kalau itu dilakukan, maka bersiaplah untuk diusir dari tempat ini.

Barista salah satu unggulan dari kafe ini. Tempat meramunya memang menakjubkan. Mesinnya kelihatan mengkilat dari stainles. Pastilah ini mesin terbaru yang dimiliki.

Jefri mengambil tempat agak pojok dekat jendela. Dia melihat daftar menu di atas meja. Dia paling suka menikmati kopi ditimpali rokok. Tiba-tiba seorang perempuan mendekati.

“Selamat sore, Tuan. Sudah tulis pesanan?”

Sesaat Jefri memperhatikan datangnya suara tersebut. O, perempuan cantik dengan senyum yang manis. Dia terpesona dan membalas senyuman itu.

“Aku bingung mau mesan kopi apa. Namanya unik. Aroma Moka, Aroma Cinta, Aroma Rindu, Obat Sakit Hati, bahkan nama Aroma Sakit Jiwa.”

“Ah, itu hanya sebutan biar keren. Isinya sama, kopi, gula, susu, coklat.”

“O, begitukah? Tapi aku tidak suka pahit.”
“Bisa aku merekomendasi?” Nona bertanya sambil mengumbar senyumnya. Dia lalu menyodorkan pesanan.

“Kopi Aroma Rindu.” Bunyi tulisan itu.

Jefri bingung, seperti apa kopi aroma rindu. Tapi daripada dikira bego, dia tersenyum sambil menjawab.

“Bolehlah kopi Aroma Rindu. Tapi aku rindu siapa?”

“Terserah. Nanti akan rasakan enaknya.”
Wah, harapan Jefri keliru. Sebenarnya Jefri ingin jawaban Nona. Ternyata dia susah juga dipancing.

“Tunggu sebentar ya. Aku pesankan.”

Merasa ada kesempatan Jefri memandangi perempuan itu. Sempurna.
Sambil menunggu pesanan, Jefri melihat sekeliling, “Ah, tidak ada larangan merokok.”

Jefri menyalakan sebatang rokok. Jefri begitu menikmatinya karena suasana mendukung. Tak seberapa lama waitres membawakan kopi. Cepat-cepat Jefri mau mematikan rokoknya.

“Silakan merokok. Tidak apa, Tuan. Ada kok di sebelah selatan buat tamu yang tidak terganggu asap rokok,” ucap Nona sambil tersenyum.

“Oh, ya.”

Dengan sigap perempuan cantik itu menyuguhkan kopi yang telah dipesan. Jefri memperhatikan. “O, gini kopi Aroma Rindu ya? Cuman ada hiasan jantung, tambah pernak pernik lainnya,” pikirnya.

“Silahkan nikmati, Tuan. Kalau ada apa-apa tolong tekan tombol ini. Akan ada sinyal di meja waiters.”

Jefri ingin mengenal lebih dekat nona di depannya. Ia menjulurkan tangan. Tapi Nona tak mau menanggapi, sambil berucap, “Lihat tulisan peringatan di dinding, Tuan.” Nona meninggalkan Jefri sambil tersenyum.

Jefri sangat malu. Ia malu atas kedunguannya. Mengapa ia tidak rela meluangkan waktu membaca tulisan besar-besar di dinding. Apakah pikirannya terlalu hanyut pada Nona?

Cukup lama ia menikmati kesendirian. Hiruk pikuk pengunjung keluar masuk, ia tak pedulikan. Hanya ketika ada pasangan muda mesra bergandengan, keinginannya untuk mengambil kamera sangat menggoda. Maklum, Jefri seorang enterpreneur yang bergerak di bidang entertainment seperti pembuatan vidio untuk konten media, foto, dan aksesoris media lain.

“Wah, aku kelamaan. Sebaiknya aku bayar ke kasir. Aku harus berpindah cari tempat makan siang,” pikir Jefri.

Setelah membayar, Jefri bergegas naik ke motornya.

Dia berpapasan dengan seorang perempuan. Wajahnya mirip dengan nona di kafe tadi.

“Bukankah dia perempuan yang bertugas di kafe tadi?” tanyanya dalam hati.

Tidak lama waktu yang dihabiskan dalam perjalanan, Jefri sudah sampai di rumah makan yang menjadi langganannya. Ia bergegas ke dalam. Ia kembali terkejut. Perempuan di kafe tadi duluan duduk di rumah makan itu.

“Aku laki-laki. Baiknya aku yang duluan memastikan,” pikirnya.

Jefri mendekati perempuan itu. “Boleh aku duduk di sini?” Jefri menunjuk bangku kosong di sebelah perempuan tadi.

Dia lanjut bertanya. “Apakah dirimu yang bertugas di Kafe Bengong tadi?”

“Kalau aku. Terus Bapak mau ngapain?”

“Mau mencintaimu,” ujar Jefri to the point sambil menyalakan rokoknya.

“Atau sekalian memilikiku?” perempuan di sampingnya berusaha mengimbangi.

“Boleh juga. Asal kau mau.”
Perempuan itu tidak menyahut. Mereka kemudian memesan makanan masing-masing.

Sambil menunggu, Jefri terheran-heran dengan perempuan di sampingnya. Ketika di kafe tadi, penampilannya sangat glamour. Tapi di tempat ini, perempuan ini sangat feminim, sopan dan anggun.

“Kau mau minum apa, Nona?”
“Bapak tahu kesukaanku?”

Waduh, Jefri salah tingkah. Maunya berpura-pura mentraktir, tapi jawaban nona seperti itu. Dia memutar otak untuk menjawab.

“Kesukaanku pasti juga kesukaanmu. Kan sebentar lagi aku memilikimu?”

Wajah perempuan itu agak memerah.

Pastinya permainan belum selesai. Dia ingin sekali menjatuhkan cintanya kepada lelaki ini. Tapi dia ragu. Luka masa lalunya tak ingin terulang. Perlahan perempuan itu ingin tahu isi hati lelaki yang baru dikenalnya.

“Ah, laki-laki semua seperti itu. Emosional. Mengira semua wanita mudah dipermainkan,” ujar perempuan itu.

“Mungkin aku tidak. Caraku, sikapku, pribadiku beda, Nona. Kau mau bukti?”
Jefri kemudian membuka handpone dan mencari beberapa foto yang terekam. Dia terus memperlihatkan kepada perempuan di sampingnya.

“Namamu Nona ‘kan? Dirimu gadis Bandung. Tapi merantau ke Jakarta. Sekolah terakhirmu di AKPAR di Bandung”.

Nona terperanjat. Hatinya tak karuan.

“Apakah pribadiku diketahui juga? Apakah jalan cintaku dia tahu juga? Betapa sialnya aku. Bisakah aku menjadi miliknya?” batin perempuan itu.

“Mengapa termangu? Namaku Jefri. Aku orang Bandung juga. Tapi aku ada di mana-mana.”

“Maaf Mas Jefri. Mungkin aku terlalu angkuh.”

“Itu yang aku mau”. Sambil memegang tangan Nona, Jefri meneruskan bicaranya. “Aku masih single. Aku bekerja freelance sebagai entertaiment. Aku mengagumimu sebagai wanita tangguh. Aku ingin mencintaimu sekaligus memilikimu.”

Nona terdiam. Terasa susah mengeluarkan kata-kata. Ternyata lelaki di hadapannya orang baik-baik. Beda dengan penampilannya yang terlihat serampangan dan kumal.

“Tapi aku takut.”

“Tak usah bercerita tentang masa lalu. Semua punya masa lalu termasuk aku. Kita harus menatap masa depan.”

Jefri memeluk Nona erat-erat. Perempuan itu tak kuasa. Dia lingkarkan tangannya di pinggang Jefri. Dia tatap wajah Jefri. Ternyata dia tampan. Senyum mereka beradu. Sebuah kecupan jatuh di kening Nona. Dadanya terasa bergetar. Jefri juga merasakan ketulusan perempuan itu.

Ternyata senyum pertama itu adalah senyum manis di Kafe Bengong, senyum tulus untuk Jefri.

 

BIODATA

DN Sarjana adalah seorang guru yang suka menulis puisi, cerpen, artikel, dll. Tulisannya dimuat di beberapa media cetak dan online.

April Artison adalah nama pena dari Ni Putu Apriani, lahir di Tuban, Badung, Bali, 12 April 1991. Dia menulis puisi, bermain teater, dan belakangan suka menggambar. Buku puisinya yang baru terbit berjudul “Renjana” (2023).

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!