Ilustrasi: Gede Gunada
Sungai Kembang
Sebuah musim tumbuh di matamu
Di luar bintang-bintang menghilang
Bulan tenggelam
Matahari padam
Deras hujan ini,
hendak menyapa siapa?
Aku bertanya-tanya
Bagaimana cara memahami resah Sungai Kembang
dalam nyanyian panjang
Di antara akar-akar pepohonan yang menjalar tenang
Beginikah musim hujan,
saat sampai pada kita?
Seperti daun-daun yang menjatuhkan diri
pada lekuk-lekuk sungai
Lalu kulihat,
sunyi menetes dari matamu
Sedang kemarau melanda hatiku
Bukit Simarapak
Hujan tak lagi tamu asing bagi Bukit Simarapak
Menetes membasahi rinduku
Menyapa senyapmu
Jika hujan gelisah
Lelehnya menjadi air mataku
Menjelma getah kenyal
Menjalari sekujur tubuhmu
Di antara retakan kulit, kristal-kristal pecah
Diam-diam aku menyusup pelan, tetirah di nadimu
Menyusun kembali pecahan-pecahan itu
Menjadi rumah dalam jiwamu, untuk aku pulang
Tak banyak yang bisa kukisahkan perihal kerinduan
Seolah telah terwakili pohon-pohon kapur
yang menjulang di Bukit Simarapak
Setia mengirimkan aroma barus
dari rongga batangnya yang menua
Pantai Kahona Barus
Kita saling berpagut
di bawah jingga langit yang menyepuh laut
Pasir-pasir mendesah pelan di kakiku,
geraknya tak dimengerti
Seperti cinta, sunyi lalu menghilang
Pantai ini mengingatkanku
kapal-kapal yang membawa kaum saudagar
Sibuk mengangkut rempah-rempah, emas dan kamfer
Dengarlah gelak tawa mereka
Seperti kebahagianku rebah di dadamu
Pada jalur nadimu aku sembunyikan resah
Dalam dekap,
kita tak ada rahasia
Pertemuan
Pasir putih tumpah di kaki-kakiku
Cahaya berkilauan di atas air
Kapal-kapal melintas,
Aku menghirup dalam-dalam wangi laut
Membiarkan hati kita saling berbicara
Dalam matamu,
kutemukan titipan air mata orang-orang yang gelisah pada rindu
Inilah muasal segala kisah
dari sepi yang merayap
bergetar lalu tanggal
Kini, pantai begitu resah
Kenangan-kenangan mengembara
Sedang kita,
masih saja sibuk menebak nasib pertemuan dan perpisahan
Menghitung satu persatu perjalanan yang gagal
Mereka-reka rahasia waktu yang akan datang
Sementara setiap perjumpaan,
berkali-kali menyulut gelora cinta
lalu buru-buru kita mesti mengemasinya
Cinta seolah hanya angka-angka di almanak
berjatuhan setiap hari
Kepergian susul menyusul
Kedatangan silih berganti
Lalu apa yang abadi?
Sedang rintihan gelombang itu mewakili igau panjang batin
Diam-diam udara laut beringsut dari wajah kita
Mau apalagi dengan segala perasaan,
selain patuh pada takdir
Jika tidak karenanya mungkin kita tak akan pernah sedekat ini
Perayaan
Musim semi telah datang
Bunga persik dan plum bermekaran
Pucuk-pucuk willow tertiup angin
Sungai memantulkan cahaya mata naga
Suara tabuhan genderang memenuhi langit
Awan-awan menjelma phoenix,
meliuk-liuk membawa keberuntungan
Lentera digantung
Lilin merah menyala benderang
Asap hio mengepul
Bersama doa-doa kebaikan yang mengangkasa
Kemana Kita Akan Dibawa Angin
Dari balik jendela
Aku melihat matahari begitu cemas
Bergelayut pada langit-langit
Sedang hari semakin gemetar
Sementara kita kian asing
Lalu angin datang
Kemana kita akan dibawanya?
===========================
Biodata
Leenda Madya, lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, 9 Agustus 1984. Menulis puisi di beberapa media, seperti Suara Merdeka dan Batam Pos. Lulusan S1 Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro. Telah menerbitkan buku puisi tunggal berjudul Kenang Aku Sebagai Penyair, Liburan Penyair ke Negeri Anggur, Dongeng Penyair untuk Kekasihnya, Setiap Orang adalah Penyair, Setiap Hari adalah Ibu dan novel berjudul Candikolo. Tahun 2018 dia mendapat Penghargaan Prasidatama dari Balai Bahasa Jawa Tengah, tahun 2019 menjadi penulis terpilih (Promising Writers) Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival dan tahun 2019 lolos kurasi sekaligus sebagai salah peserta dalam Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XI di Kudus. Saat ini tinggal di Semarang.
Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama, antara lain: Pameran Kelompok Komunitas Lempuyang di Hilton Hotel, Surabaya (1999), Pameran “Sensitive” Komunitas Lempuyang di Danes Art Veranda, Denpasar (2006). Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.