Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi Umbu Landu Paranggi

(Untuk merayakan hari kelahiran mahaguru puisi Umbu Landu Paranggi pada tanggal 10 Agustus 2023, redaktur sastra “Bali Politika” secara khusus memuat ulang sepuluh puisi beliau. Selamat menikmati.)

 

DAN CINTAMU

Dan cintamu, nyanyian burung-burung di rimba
nyanyian kembang gunung, waktu pagi dan senja
di tanah wangi dan cintamu tertanam di lumpur
benih dan pupuk sawah ladang, darah buat tanah dan air
berbunga dan berbuah, bahagia esok hari
dalam sebuah lagu jiwa yang merindu
pada kenangan yang melulur jisim musim ini
betapa rinduku, membelit kedua pundakmu
betapa resahku, menampung jerih peluhmu
tapi dalam kerja, duka bermata cahaya
tapi dalam puisi dan cintamu yang tertanam di lumpur
senantiasa membakar duka cita penyair

(Sumber: Pelopor Yogya, 15 Januari 1969)

 

PRELUDE

Ke cakrawala tiada bertepi, lepas pandangmu jauh
Di subuh senyap, sebelum nun di timur fajar bergegas merekah
Ketika tanah dingin pohon-pohon di pekarangan basah
Dan burung-burung di dahan masih mengulum sejuta madah

Kerdipkan matamu berpercikan embun di daunan
Pada gunung-gunung dan ngarai yang merenungi kabut sepanjang lembah
Angin muda bakal membasuh peparu, mimpi-mimpi buruk dan kelu lelah
Yang selalu berdesakan membentur istirah, resah semalaman

Ciumlah mesra wajah leluhur bundamu, ibu bumi
Sampai dendam rindu bergetar, hangatkan hingga ke ujung jemari
Pelukan gaib, bisik-bisikan dan percakapan rahasia sunyi lelaki
Sebelum siul melengking dan langit semerbak pagi hari

Dengan dada terbuka, helalah deras napasmu panjang
Hingga mereguk sawah ladang, pantai-pantai dan deru gelombang
Mengisyaratkan pasang nyala dan gairah cintamu bertarung
Di sini, dipandang telanjang, di bawah mentari gilang-gemilang.

(Sumber: Pelopor Yogya, 9 Maret 1969)

 

SOLITUDE

dalam tanganmu sunyi jam dinding masih bermimpi di luar siang menguap jadi malam tiba-tiba musim mengkristal rindu dendam

dalam detak-detik, dalam genggaman usia mengombak suaramu jauh bergema menggigilkan jemari, hati pada kenangan bayang-bayang mengusut jejakmu, mendera kekinian

seberkas cahaya dari menara waktu menembus tapisan untung malang nasibmu di luar tiba-tiba angin, lalu gerimis berderai dalam gaung kumandang bait demi bait puisi

(Sumber: Pelopor Yogya, 26 April 1970)

 

AIDE MEMOIRE

bukalah jendela, di luar angin
menyiapkan pelaminan kemarau
sebelum burung-burung dan daunan
luput dari nyalang pandang dukaku
catatan-catatan mengubur segala kecewa
upacara kecil hari-hari kelampauanku
bukalah kerudung jiwa di sini
gemakan kenangan pengembaraan sunyi
jauh atau dekat, dari ruang ini
sebelum sayap-sayap derita dan kerja
pergi berlaga mendarahi bumi
dan dengan gemas menyerbu kaki langit itu
di mana mengkristal rindu dendamku abadi

(Sumber: Pelopor Yogya, 12 April 1970)

 

MENDENGARKAN MUSIK JAZZ DI RUMAH SEORANG KENALAN

Lupakan itu sinar, bahwa matahari terbit di timur
dan senja merah-merah berdandan tenggelam di ufuk barat
lupakan dahaga ini, bahwa nasib hitam pelan terbakar
dan sukma yang diam-diam ‘kan menjilat pencakar-pencakar langit.

Tapi kenang musim panas sudah mendarat di pantai
dan musim-musim lainnya meninggalkan catatan harian yang kabur
dan kenang ini semburan asap pabrik, kapal, cerobong dapur
bagaimana kerja azab sengsara yang mengidap di lidah api

Aku ingat pohon-pohon terang dari masa kanak di kebun-kebun gandum
kincir-kincir angin, panen apel, lenguh lembu di padang majikan
aku ingat keluhan papa, nenenda dan pasti air mata ibu
pulang dari sekolah sore hari yang mencibir kehadiranku

Aku rindu tangan jantan yang merubuhkan lawan di ring
ciuman dan pelukan ganas gadis pirang di luar panggung
darahku tersirap di sudut bar saban malam minggu di sini
seorang pelayan hitam di antara pasangan putih, tersenyum padaku

(Sumber: Sinar Harapan, 9 Oktober 1972)

 

FRAGMEN UPACARA XXXIX
(buat Inna Rambunaijati Pajijiara Marambahi)

tujuh lapis langit kutapis
teratas:
sungsang lapar dahaga
delapan peta bumi kukipas
terbawah:
hening runtuhan sukma
mencium celah retak tanah-tanah
seraya-raya sawah ladang terima kasihmu
dan ringkik kuda putih putus tali
ke negeri dewata terlupa
ke mata air matahari ribuan ternak
menggiring yang berumah di sajak-sajak
membasuh debu tungkai
barisan anak-anak sulungmu
(barisan anak-anak bungsuku)

(Sumber: Bali Post, 2 Agustus 1987)

 

JAGUNG BAKAR PANTAI SANUR

Suatu senja
dengus cinta seperti jagung muda dihembus bara purba
seraya pasir
sepasang nganga luka buatan eropa direndam laut sanur
belajar mengunyah, berenang dan menyelami pesona timur
berpasang saksi bisu perahu tambang jukung cakrawala
satu ransel senyum derita
berbuka-buka
satu jengkal lebih syair
berjemur-jemur
satu tongkol lagi:
bakarkan, bakarkan
bagi dua kenangan
gombal rahasia
kesepian moderna

(Sumber: Majalah Budaya Kolong No 3 Th. 1. 1996)

 

UPACARA XXXIII

jadi kau merasa payah sejatiku
pukul rata tanahlah
baca-bacalah aku sejatimu
di liang-liang gua tapamu
di sentil-sentil ujung heningmu
jadi
sajak bilang apa saja pada kau
jadi buang diri kau
alhamdulilah begitu rupa kau
jadi pengembara…

(Sumber: Album “Kuda Putih”, Musikalisasi Puisi, Tan Lioe Ie, dkk, 2000)

 

TUJUH CEMARA

sisa sampah debu revolusi
sapu dan lego dalam seni
di ibu kota kata sendi kata
si tua muda yogyakarta
(yogya sudah lama kembali)
kembalilah ke yogyakarta
cemara tujuh denyar puisi

tujuh cemara
di jantung yogyakarta
barisan rindu dendam menghela anginmu
terjaring di kampus tua
tertanam cinta terdera
di surut hari mencari
debar puisi di hati

tujuh gelandangan
(buah asam malioboro)
memanggul gitar nembakkan syair lagu
mentari jalanan bulan lorong kumuh
antara kampung kampus, gubuk gedongan
singsing-singsing fajar lenganmu
prosesi tugu pasar alun-alun
bongkar pasang dada-dadamu
kang becak andong muatan perkasa
kilatan raut pasi berpeluh debu
ciumlah bumi yang nerbitkan sayangmu
nyelamlah lubuk urat nadi hayatmu

tujuh gunung seribu yogya
seribu tarian gang malioboro
tujuh pikul daun pisang ibu beringharjo
(nasi bungkus pondokan selasa rabumu)
tumpukan hijau restu sanubari jelata
sujud bibir pecah yang mengulum kata sejati
hulubalang benih ilham di siang malammu

tujuh cemara gelandang
tujuh gunung seribu saksi tak bisu
gelaran tak sunyi gusar gusur kaki lima
bentangan duka cita langit sukma
manggang biji mata di kawah candradimuka
tak kau dengar keliling kidung sembilu
meronda dan menggedor mimpi-mimpi igaumu
(tak kau ingat peta rute juang gerilya
gercik darah tumpah meriba pertiwi)
di bawah jam kota tujuh pengemis tua
bertumpu seperti mendoakan kita semua
di bawah tapak sudirman kami mangkal malam-malam ini

sisa sampah debu revolusi
sapu dan lego dalam seni
di ibu kota kata sendi kata
si tua muda yogyakarta
(yogya sudah lama kembali)
kembalilah ke yogyakarta
cemara tujuh denyar puisi

tujuh cemara
di jantung yogyakarta
barisan rindu dendam menghela anginmu
terjaring di kampus tua
tertanam cinta terdera
di surut hari mencari
debar puisi di hati

(Sumber: Antologi Puisi “Teh Ginseng”, Sanggar Minum Kopi, Denpasar, 1993)

 

TIGA KUDA

memburu fajar
yang mengusir bayang-bayangku
menghadang senja
yang memanggil petualangan…

kuda hitam yang mempersiang hari,
yang memperasing diri

kumimpi berjalan punggung gelora
kusila-sila semadi
merogoh kata-kata puisi
dari kedalaman bulan sanggurdi
campur pasir, akar keringat, darah dan debu matahari

kuda hitam yang mempersiang hari
yang memperasing diri

kuda putih yang meringkik dalam sajak-sajakku
merasuki basabisik kantong peluh rahasia
diam-diam kupacu terus ini binatang cinta
dengan cambuk tali anganan dari padang-padangku

kuda merah musim buru,
berapa kemarau panjang maumu
jantung yang akan terbakar hangus,
satu cambuk api lagi
peluki padang anak angin
dan batu gunungku purba
melulur bayang-bayang di pasir waktu:
rahasia cinta

memburu fajar
yang mengusir bayang-bayangku
menghadang senja
yang memanggil petualangan…

(Sumber: Antologi Puisi “Saron”, Jatijagat Kehidupan Puisi dan Pustaka Ekspresi, 2018)

————————————————-

BIOGRAFI SINGKAT

Bernama lengkap Umbu Wulang Landu Paranggi, lahir di Kananggar, Paberiwai, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), 10 Agustus 1943, dari pasangan Umbu Domu Marahongu dan Rambu Nai Djati Pajijiara Marambahi. Ia menikmati masa kanak-kanak di kampung halamannya, bermain bersama kawan-kawan sebaya, mengembalakan kuda di padang sabana, mendengar dongeng nenek sebelum tidur.

Bakat seni Umbu mengalir dari neneknya yang ahli bermain jungga (gitar khas Sumba), ahli menari, dan mendongeng. Tamat SD, ia melanjutkan sekolah di SMP Kristen Waikabubak, Sumba Barat, jauh dari kampung halamannya. Jiwa petualangannya telah terbit sejak kanak-kanak.

Sejak SMP Umbu mengagumi ajaran-ajaran Ki Hadjar Dewantara. Kata “taman” telah menyihir pikiran remajanya. Setelah lulus SMP, ia ingin melanjutkan sekolah di Taman Siswa Yogyakarta. Namun, sayang sekali, ia terlambat mendaftar. Ia kemudian melanjutkan sekolah di SMA BOPKRI I Yogyakarta.

Kegemaran Umbu menulis puisi yang telah tumbuh sejak SMP semakin bersemi di Yogyakarta. Saat SMA, ia menemukan seorang guru yang mendukungnya menulis puisi dan memengaruhi jalan hidupnya, yakni Lasiyah Soetanto. Guru tersebut memotivasi agar ia mengirimkan puisi-puisinya ke media massa. Belakangan kemudian guru tersebut diangkat menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia pada tahun 1983 s/d 1987 pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Setelah lulus SMA, ayahnya meminta ia melanjutkan kuliah di Kedokteran Hewan. Namun, dengan alasan tidak kuat dalam ilmu hitung-menghitung, ia memilih jalan lain. Ia kuliah di Jurusan Sosiatri, Fakultas Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada dan Fakultas Hukum, Universitas Janabadra. Konon, keduanya tidak ia tamatkan.

Di Yogyakarta, Umbu benar-benar “mabuk” puisi. Ia mengasuh ruang sastra di mingguan Pelopor Yogya yang bermarkas di Jalan Malioboro. Bersama kawan-kawannya, pada tanggal 5 Maret 1969 ia mendirikan komunitas sastra Persada Studi Klub (PSK). Pada masa itulah ia dijuluki sebagai “Presiden Malioboro”.

Pada tahun 1975, Umbu menghilang dari Yogyakarta. Ketika itu, tak ada yang tahu ke mana ia pergi. Ia seperti asap yang lenyap dalam udara. Belakangan kemudian diketahui, ia dipanggil ayahnya pulang, menyuruhnya menikah dan mengurus kampung halaman. Ia mematuhi titah ayahnya. Ia kemudian menikah dengan Rambu Hana Hunggu Ndami. Mereka dikaruniai tiga anak, yakni Umbu Domu Wulang Maramba Andang, Rambu Anarara Wulang Paranggi dan Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi.

Namun, jiwa petualangan Umbu tidak bisa dikekang. Ia tidak betah berlama-lama di kampung halamannya. Maka, pada tahun 1978, ia memutuskan pergi ke Bali. Jiwa seninya merasa menemukan kedamaian di Pulau Dewata. Ia pun memutuskan menetap di Bali dan pada Juli 1979 ia bekerja mengasuh halaman sastra di koran Bali Post.

Seperti yang dilakukannya di Yogyakarta, di ruang sastra Bali Post, ia membangun taman sastra. Dengan setia, sabar, tekun, dan telaten, ia menyemai dan merawat benih-benih berbakat di bidang sastra (khususnya puisi) hingga tumbuh menjadi sosok-sosok yang mandiri dan dikenal dalam kesusastraan Indonesia.

Umbu memang seorang pencari bakat dan motivator yang mumpuni. Ia selalu punya cara-cara unik untuk mendekati seseorang dan memperkenalkan kehidupan puisi. Bahkan, ia tanpa kenal lelah dan tanpa pamrih bergerilya ke berbagai pelosok Bali untuk menggerakkan kehidupan kesusastraan lewat kegiatan apresiasi puisi.

Umbu tidak bermaksud mencetak barisan penyair. Ia hanya memberikan sentuhan puisi kepada jiwa-jiwa yang gelisah menemukan jati diri. Baginya, menjadi penyair atau tidak adalah soal pilihan hidup. Profesi apa pun yang ditekuni seseorang, maka wawasan dan apresiasi puisi semestinya hadir dalam jiwanya. Karena, menurutnya, puisi adalah kehidupan dan kehidupan adalah puisi.

Sebagai penyair, puisi-puisi Umbu tersebar di majalah dan surat kabar, antara lain Mimbar Indonesia, Basis, Pusara, Pelopor Yogya, Gadjah Mada, Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Gelanggang, Semangat, Indonesia Raya, Sinar Harapan, Singgalang, Bali Post, Nusa Tenggara, Karya Bakti, Cak, Jurnal Menagerie 4, Kolong Budaya, Balairung, Horison, Kompas. Puisi-puisinya juga dimuat dalam buku, antara lain Manifes (1968), Tonggak, Antologi Puisi Indonesia Modern 3 (1987), Teh Ginseng (1993), Ketika Kata Ketika Warna (1995), Bonsai’s Morning (1996), Gelak Esai & Ombak Sajak (2001), Dendang Denpasar Nyiur Sanur (2012), Saron (2018), Tutur Batur (2019), Metiyem: Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi (2019), Ibunda Tercinta (2021).

Pada Agustus 2023, buku puisi tunggal Umbu Landu Paranggi diterbitkan secara anumerta oleh Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP) bekerja sama dengan Pustaka Ekspresi. Buku tersebut berjudul Melodia (2023), menghimpun 101 puisi masa penciptaan 1959 – 2019. Atas dedikasinya yang tanpa pamrih di bidang sastra, Umbu menerima sejumlah penghargaan dan anugerah, yakni Anugerah Kebudayaan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (2018), Anugerah Dharma Kusuma dari Pemerintah Provinsi Bali (2018), Anugerah Pengabdian pada Dunia Sastra dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan (2019), Anugerah Akademi Jakarta (2019), Anugerah Bali Jani Nugraha dari Pemerintah Provinsi Bali (2020) dan Anugerah Kebudayaan Nasional dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (2020).

Sejak tahun 2014, tanpa peduli pada usianya yang makin senja, Umbu selalu meluangkan waktunya mendampingi anak-anak muda yang gelisah menemukan jati diri di Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP). Kepada anak-anak muda itu, ia sering menggumamkan dua patah kata yang serupa mantra: “tanam” dan “taman”. Dua patah kata filosofis yang mengandung kedalaman renungan. Dua patah kata yang menggetarkan jiwa.

Namun, jalan hidup dan usia memang tidak bisa diduga, selalu mengandung misteri tersendiri. Dinihari 6 April 2021, dunia sastra Indonesia diguncang berita duka. Umbu meninggal di rumah sakit Bali Mandara Sanur pada usia yang belum genap 78 tahun. Hujan air mata dan belasungkawa mengalir dari berbagai pelosok negeri mengiringi kepergiannya. Indonesia telah kehilangan salah satu putra terbaiknya di bidang sastra.

Meski secara fisik Umbu telah tiada, namun spirit dan semangatnya masih terus menyala dalam jiwa murid-murid dan para pengagumnya. Dua patah kata “tanam” dan “taman” akan terus meruang dan mewaktu, menjadi suatu keniscayaan.

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!