Ilustrasi: Wayan Jengki Sunarta
KATA-KATAKU
Kata-kataku angin luka terperangkap
di dinding bukit
Jeritan burung-burung patah sayap
terjebak musim di lembah
Kata-kataku derap kaki kuda-kuda pemburu
Risau sungai tak putus-putus mengejar muara
Kata-kataku adalah bait-bait lagu
Dinyanyikan pejalan tersesat di negeri asing
Lagu rindu pada tanah asal
MENCARI
aku mencarimu seperti malam
menyisir sudut gelap kota
kutemukan diriku terasing jauh
ketika tiba-tiba cahaya membuka jendela
aku memanggilmu
seperti burung pagi di pohon tertinggi
sebelum sampai padamu
gerimis memotong suaraku
waktu tak pernah berhenti
menjauhkan aku dari saat ini
memaksa untuk memulai lagi memahami
setiap jarak tanpa arah yang jelas
aku hanya bisa menuliskan kerinduanku
dalam puisi paling nyata
seperti sungai mengabarkan harapannya
di lembah-lembah itu
dan kubayangkan diriku ada dalam bayanganmu
seperti ketika seorang ibu
mendekap bayangan putranya
dalam kerinduan tak tertahankan
aku membayangkan kebenaran itu mengikuti
seperti bayangan musim tanpa kemustahilan
tapi hari telah berakhir di ketukan
hambar palu hakim
yang memutuskan nasib kita hanyalah
kumpulan risalah
dari silat-lidah di ruang sidang
LABUAN SAIT
pada mulanya ombak lahir
dari kata
meskipun samar seperti camar
melintas dalam bayangan udara basah
andaipun angin datang
suaramu hanya menjelma buih
meletupkan rindu itu-itu jua
di sini ombak selalu melipat pilu
ke dalam cangkang pecah di celah karang
dan semua bayangan segera menghilang
seiring awan terbakar di kaki langit
sebab di sini segalanya adalah ombak
tak putus-putus mengaburkan setiap kata
dari batas gaib anganmu
ABSTRAKSI MATA
ia berpendar di tiang dermaga
jadi penanda bagi kapal berlabuh di malam hari
ia berkedip seperti rambu lalu lintas
dari hijau ke kuning lalu merah
memberi waktu pada sekelompok pemabuk
menyeberang di jalan ramai
lalu menjelma lampu merkuri
membawa kota keluar dari kegelapan
menyalakan cahaya di kepala mereka
yang tersesat di belakang gedung-gedung suram
ia menggerakkan tanganmu
menggali bahasa rindu di dasar hati
yang tak bisa diucapkan oleh suaramu
ia juga yang meredupkan senja
memanggil burung-burung pulang ke sarang
menjanjikan serangkaian nyanyian penghibur
bagi jiwa yang terperangkap kabut
sekali waktu ia mengalir bersama sungai
membawamu berziarah ke masa silam
lalu kembali mencari batas samudera terjauh
bila gunung menaburkan letusannya di lembah
ia jadi batu di dasar kali
mengajarimu bertahan dalam rasa perih
sepanas lahar di aliran darah
seperti burung ia selalu membuka sayapnya
melayang dan berjaga-jaga di antara galaksi
menyambangi sudut-sudut gelap langit sunyimu
POPPIES
angin pantai berbelok
mengubah senja jadi duri berjatuhan
orang-orang bergegas
menghindar di bawah payung
rupanya banyak hal telah berlalu di sini
tetapi masih ada yang belum paham
bahwa pelangi atau cahaya senja
yang pernah menorehkan ilusi sekilas
kini berubah jadi tiang-tiang lampu
yang menyalakan dirinya sendiri di udara
pertanda di sini matahari sudah padam
tepat saat bintang-bintang gelap muncul
dan gang berubah jadi sebentuk bayangan
dingin abu-abu dan kelu
KUTULIS PUISI
Kutulis puisi seperti benih ikan di paruh burung laut
Terbang mencari sarangnya ke pulau sunyi.
Aku tak yakin apa yang akan sampai padamu
Jeritan burung-burung kelaparan ataukah benih suara rinduku?
Benih yang tumbuh jadi matahari pagi yang selalu membangunkan perahu-perahu di pantai agar segera bangkit dari mimpi dan selekasnya berlayar memburu rindunya yang bertebaran di horizon namun nasibnya sepenuhnya bergantung pada selembar layar yang hidupnya telah ditentukan hanya untuk mengikuti arah angin.
Benih yang tumbuh jadi angin laut yang bertugas menyemangati ombak agar tak pernah putus asa memburu rindunya di pantai namun nasibnya sepenuhnya ditentukan pasir yang ditakdirkan selalu menghisap habis segala yang sampai padanya hingga semuanya kembali sunyi.
BIODATA
Nyoman Sukaya Sukawati, lahir 9 Februari 1960. Bukunya yang telah terbit: Mencari Surga di Bom Bali (2007). Puisinya terhimpun dalam sejumlah antologi, seperti: Semesta Jiwa (2020), Rantau (2020), Banjarbaru Rain (2020), Ibunda Tercinta (2021), Blengbong (2021), Jazirah Delapan, Ombak, Camar dan Kerinduan (2021), Kebaya Bordir untuk Umayah (2021), Mata Air, Air Mata (2021), Dalam Semesta Puisi (2022). Sekarang ia menetap di Kuta, Bali.
Wayan Jengki Sunarta, selain dikenal sebagai penyair, belakangan ia gemar melukis yang merupakan hobinya sejak kanak. Pameran bersama yang pernah diikutinya, antara lain SahabART di Rumah Seni Paros, Sukawati, Gianyar, Bali (2020); Silang Sengkarut di Dalam Rumah Art Station, Denpasar (2022); Rajah Rasa di Teba Kangin Pemanis Art Space, Tabanan (2022); pameran bersama (online) tingkat internasional Bricolage yang diadakan oleh Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali (2022),; Transendensi di TAT Art Space, Denpasar (2023). Tahun 2020, tiga karyanya masuk Semi Final Lomba Lukis “Titian Art Prize”, Yayasan Titian, Bali. IG: @jengki_sunarta.