Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

PUISI-PUISI REZA RAMADHAN

Ilustrasi: Ignatius Darmawan

 

HUJAN SURUT, KERTAS KEMARAU

Gerimis remang-redup
Deras kerontang menutup kuyup
Konon penyair serupa musyafir
Bersajak dari hujan ke hujan
Musim penghujan adalah tapabrata
Puisi bagai malam pengantin baru
Pasang-surut mendung tiada bisa diramal
“Siapa menabur rinai akan menuai puisi”

 

DI BAWAH NAUNGAN HUJAN

Belukar mendung berlipat-lipat
Awan luntur meloncat-loncat dari gigil ke gigil

Kita saling berbagi
Kau kuyup
Aku yang kuncup

 

DOA DARI TANAH MELAYU

Rantau dikau seorang diri
Di negeri asing menanggung sepi

Aduhai sejuk rayumu kala itu,
“Sayang, anggun seringaimu bukan bualan,
kalaupun kita dilanda jarak, bila nanti kita saling percaya, pun saling bertukar doa, bahkan sinar matahari tiada tega menciptakan bayang-bayang di antara kita.”

Tiada kulupa cakapmu dahulu,
konon pulangmu kelak meminangku
menangis aku sejadi-jadinya.

Bukanlah aku seorang yang fasih menanti
Ini diri sebatang kara, lunglai ditawan prasangka

Hingga umur di ujung tanduk
Tiada sekali kabar bertandang

Abang sayang
Habis usia, tinggallah rindu beranak-pinak.

 

ELOK BENAR KEPAK MERPATI

Kepak merpati udara ditepuk
Silir-semilir, dikau terkagum-kagum.
Kepak kicau merpati merajut langit biru-biru
Silir-semilir, dikau terhanyut- hanyut.

Mengapa pula timbul curiga
Anggun rupa, siapa pencipta?
Indah bunyi tiada tampak di mata
Elok sepoi tiada merecik warna.

Biru langit ayu tiada saing
Rayu merpati merawat kicau
Sembab mataku menahan pilu
Ini kagum dilanda bisu.

 

MELATI DI RANJANG IBU

Segar kembang tak kalah semerbak
Berdesir-desir di ranjang lapuk
Lunglai Ibu menanggung sakit
Air segelas dimintanya padaku

Ini kemarau
tiada air di sungai
tiada padi dituai

Kering kendi tiada air setetes
Parau suara Ibu, berpesan padaku,
“Bila habis usia, nak!
Kuburkan daku dalam dadamu.”

Mengering kembang, tinggalah do’a
Tandus tangis melanda aku
Lelap Ibu tiada lagi terjaga
Kerontang tanah habis melati semerbak.

 

GADIS PUKUL TUJUH

Bulu matamu jarum jam dinding
Binar tajam lirikmu
Tak kuat hati hendak bertemu
Tinggallah debar jantungku

Dahaga sungai dinanti rinai
Siang petangku diterpa candu
Elok binar matamu, aduhai!
Karam diri dalam kelu

Merajuk dikau dilanda pilu,
“Temui aku di pukul tujuh! Selepas itu, kehendakmu.”
Ini hati lautan samodra
Menyelam berpuluh-puluh tanda

Bulu matamu jarum jam dinding
Detiknya detak jantungku

 

GERIMIS MALAM

Aduhai, elok sangat gemercik rinai
Cahaya lilin tinggallah sekadar
Lapuk surau purba, kita berdua belaka.
Berdoa dikau dengan batukmu
Dzikirku dalam jantungmu
Hingga usai usia
Aku menjelma debu-debu
Pada kuburmu.

 

BIODATA

REZA RAMADHAN adalah seorang Santri Ponpes. Raudlatul Ulum Arrahmaniyah, Pramian, Sreseh, Sampang. Juga sebagai penikmat sastra berdarah Madura lahir di Surabaya 13 Desember 2000 dan di besarkan di Denpasar, aktif di komunitas Asrama Teater Bindoro, Gubuk Kata-kata, Lesbumi, dll. Kini dia sedang melanjutkan pendidikannya di Universitas Udayana. Facebook: pokoknyareza. Instagram: @pokoknyareza

Ignatius Darmawan adalah lulusan Antropologi, Fakultas Sastra (kini FIB), Universitas Udayana, Bali. Sejak mahasiswa ia rajin menulis artikel dan mengadakan riset kecil-kecilan. Selain itu, ia gemar melukis dengan medium cat air. FB: Darmo Aja.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!