Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

CerpenSastra

NEGERI BULAN MATI

Oleh I Wayan Kertayasa

Ilustrasi: Gede Gunada

 

PERTEMPURAN kembali pecah. Rudal-rudal balistik antar benua diluncurkan untuk menghancurkan ibu kota. Misil berat dan ringan jatuh menghujam ke area pertahanan musuh. Sementara pasukan infanteri mengendap-ngendap dari sebelah kiri, merangsek masuk ke area samping pertahanan musuh. Sedangkan tank panser kaliber besar menggempur pertahanan musuh dari sebelah kanan.

Lawan tidak tinggal diam, mereka menerbangkan ratusan pesawat tempur generasi terbaru untuk memborbardir tank-tank dan pasukan infanteri itu. Titik koordinat yang dikirim seorang serdadu tepat sasaran sehingga pasukan musuh lari kocar-kacir ke arah selatan. Sementara di gedung-gedung tinggi terjadi pertarungan sengit antara dua sniper. Mereka saling kunci sasaran namun selalu mampu menghindar. Terjangan peluru tajam hanya beberapa centimeter saja sehingga wajahnya terhempas hembusan angin peluru. Namun sniper selalu punya cara untuk keluar dari situasi mencekam tersebut. Dia seperti hantu yang ketika posisinya diketahui maka dia bisa menghilang dalam hitungan menit diantara gelapnya kabut malam.

Pertempuran ini dipastikan tidak akan pernah selesai sebab matahari tidak pernah muncul diredam oleh rudal balistik serta ambisi yang merajalela. Sudah berpuluh-puluh tahun sejak konfik ini terjadi pagi, siang dan sore tidak pernah ada di Negeri Bulan Mati. Yang tersisa hanya malam yang gelap gulita, udara yang pengap serta ratusan kota mati dengan gedung-gedung yang hancur. Serdadu yang mereka miliki pantang menyerah, perintah pemimpin tirani selalu ambisius yakni bunuh musuh dengan atau tanpa senjata sekaligus.

Pertempuran hari pertama tidak ada yang kalah atau menang mereka sama-sama menguasai medan. Serdadu pasukan khusus diterjunkan sehingga kota-kota semakin mencekam sebab mereka menyisir satu persatu bangunan yang dicurigai sebagai tempat persembunyian. Dengan keahlian bertahan dalam siatuasi apapun serta peralatan canggih dari barat, mereka disebut pasukan pembunuh dan monster kegelapan yang membunuh dengan senyap tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.

Kota mati dan gedung-gedung perkantoran hancur dihantam rudal-rudal pesawat tempur. Apalagi rumah warga sipil rata dengan tanah sehingga mereka mengungsi ke tempat ibadah. Mereka yakin tempat ibadah aman dari segala ancaman sebab tidak memihak salah satu kubu yang sedang konfik.

“Tidak mugkin mereka akan merudal tempat ibadah ini” kata warga

“Itu mungkin saja apalagi jenderal itu emosian dan ambisius”

“Kita berdoa saja agar peluru tidak sampai di sini”

“Silahkan semuanya berdoa sesuai agama masing-masing. Meskipun kita berada di salah satu tempat ibadah yang tersisa. Ini situasi mendesak berdoalah dengam khusyuk,” kata pemuka agama.

Akhirnya warga sipil yang berlatar belakang beda agama tersebut berdoa di rumah ibadah agama itu. Hanya bangunan ini yang kokoh berdiri mungkin karena di atas ada lambang agamanya sehingga pilot pesawat tempur tidak berani mengebomnya. Pemuka agama yang tidak mau disebutkan namanya itu memimpin doa lintas agama. Barang siapa yang dikuasai ambisi serta amarah yang menyala-nyala dalam jiwanya semoga diredam oleh pelangi-pelangi mungil di sisi selatan. Tetapi susah gencatan senjata dengan panglima tempur Negeri Bulan Mati sebab prinsipnya darah dibayar sepadan dengan nyawa. Pengamat perang memperediksi saling kirim rudal akan terjadi dalam puluhan tahun ke depan. Negeri Bulan Mati sedang mempersiapkan rudal penghancur jarak jauh agar sekali pencet tombol ibu kota negara musuh hancur.

Jika ditarik akar masalahnya ini hanya masalah saling klaim makanan dan baju khas daerah saja. Mereka sama-sama ngotot bahwa itu warisan nenek moyang, namun sekarang bisa dipastikan penduduknya tidak bisa masak apalagi menjahit baju adat karena sibuk menyelamatkan diri masing-masing. Untuk urusan makan hanya mengandalkan sisa jarahan mie instan kemarin. Arogansi tangan besi jenderal tempur dan pemimpin tirani berkoalisi menghasilkan produk perang yang tidak pernah berhenti.

Jutaan rakyat sipil tewas serta rumahnya di bom karena dicurigai sebagai tempat persembunyian serdadu pasukan khusus. Ada yang kehilangan seorang ibu, ada juga seorang anak yang tewas mengenaskan dengan kondisi tubuh yang tidak utuh. Tangis seorang ayah pecah sejadi-jadinya mengais potongan tubuh anaknya dibawa pulang untuk dimakamkan disamping reruntuhan puing-puing rumah.

Anak itu sedang tidur di lantai dua namun serdadu menembakkan peluncur roket dari barat menembus jendala mungilnya. Akibat banyaknya korban salah sasaran membuat dendam semakin menggelora seperti api nereka. Para ayah yang anaknya menjadi korban dengan suka rela mendaftar menjadi serdadu pembunuh. Lingkaran setan ini akan terus terjadi atas nama dendam seorang anak yang tewas di roket serdadu. Apalagi doktrin negara yang menyatakan bahwa perang harus dilanjutkan dan dimenangkan demi kembalinya warisan nenek moyang ke tanah anarki ini.

Negeri Bulan Mati dipimpin presiden berlatar belakang jenderal pasukan khusus. Semasa bertugas dikesatuan dia juga yang menuangkan ide membuat pasukan pembunuh dan doktrin perang gerilya. Wajahnya garang dan jarang tersenyum lalu bicara hanya seperlunya. Begitu memberi perintah harus berhasil jika tidak bunuh serdadu yang tidak becus itu. Di bawah tangan besi tirani, Negeri Bulan Mati menjadi kekuatan yang mengerikan dengan alutsista canggih hasil kerja sama sana-sini. Mulai dari kekuatan darat yang tidak pernah habis amunisinya lalu kekuatan udara dengan pesawat tempur siluman serta kekuatan laut yang menakutkan.

Merespons serangan kemarin dalam pidatonya dia bilang bahwa itu hanya satu persen kekuatan yang diturunkan. Tinggal menunggu komando saja armada laut akan dikerahkan dengan puluhan kapal selam torpedo, kapal induk serta kapal penghancur mengepung perbatasan musuh. Tidak ada ampun untuk mereka akan diburu sampai ke lubang tikus.

“Neraka akan kami bawa ke sana dan kemenangan akan kami bawa pulang. Serdadu Negeri Bulan Mati bertempurlah dan balaskan dendam anak kalian!” kata Presiden

“Siap presiden” Jawab serdadu

Yel-yel kesatuan menggema dalam pekatnya malam. Para serdadu telah memelihara amarah itu sehingga kehidupan di sana menjadi penuh ambisi. Tidak ada tempat merenung karena air pantai hitam lalu pasirnya yang dulu putih menjadi merah karena tumpahan darah serdadu. Mayat-mayat dibiarkan begitu saja saking sibuknya berperang. Hanya pengemis dan gelandangan yang punya waktu mendoakan mayat-mayat itu. Entah doanya memakai agama yang mana tapi kalau dilihat dari kejauhan sepertinya doanya tulus dan ikhlas. Semoga doa yang panjang dari gelandangan dan pengemis di dengar Tuhan, syukur-syukur bisa gencatan senjata. Misalnya pada saat memencet tombol rudal tiba-tiba ada sepuluh pelangi di langit sehingga membuat serdadu berpikir dari pada tembak-tembakan mending merayakan hidup saja.

Menurut pengamat militer hanya pelangi, matahari dan bulan yang bisa menyelesaikan konflik ini. Ketika mereka saling berhadap-hadapan di langit maka teranglah kehidupan, taktik gerilya tidak akan mempan lagi dan serdadu tidak jadi menembakkan peluncur roket. Pasukan darat telah disiagakan di semenanjung barat bersama ratusan artileri berat. Penambahan pasukan serta alutsista ini merespon atas uji coba rudal balistik musuh. Sementara angkatan laut disiapkan di semenanjung utara berjaga-jaga jika ada kapal musuh membawa berkilo-kilo bahan peledak. Perang ini menghalalkan berbagai cara mulai dari mempersenjatai pemberontak di perbatasan, mempersenjatai barisan patah hati dan barisan rakyat mengatasnamakan bela Tuhan.

Situasi yang semakin hari semakin buruk ini menyebabkan oksigen menipis. Pohon-pohon yang lebat telah terbakar oleh peluru kendali. Tidak ada dewan keamanan yang mau menjadi poros tengah mendamaikan. Justru banyak diantara mereka memainkan peran politik untuk menguras pundi-pundi uang. Rata-rata alat perang dan senjata dipasok oleh poros ketiga yang ada di kedua belah pihak yang bertikai. Pemimpin tirani Negeri Bulan Mati benar-benar telah gelap mata dan bengis mengorbankan kehidupan rakyatnya. Wajib militer diberlakukan sehingga usia produktif tugasnya berperang melawan hegemoni musuh.

Bunyi alarm kembali meraung di seantero Negeri Bulan Mati. Musuh berhasil menyerang pertahanan sisi barat dengan rudal balistik. Markas komanda barat diledakkan dan jendral bintang dua tewas mengenaskan. Tubuhnya ditemukan hancur dalam puing-puing reruntuhan yang jelas kelihatan hanya pangkat di bajunya. Mendengar jendralnya tewas dalam kejadian tersebut, panglima perang Negeri Bulan Mati murka. Dengan sigap memerintahkan armada laut di semenanjung utara menembakkan rudal-rudalnya dan membumi hanguskan pertahan musuh. Kapal cepat rudal meluncur dari berbagai arah menembakkan berkilo-kilo peluru, pesawat tempur siluman terbang sudah sampai di jantung pertahanan musuh tanpa terdeteksi radar. Markas komando memerintahkan tembak dan gempur sekarang juga. Hanya dalam waktu kurang dari sejam saja armada utara telah meluluhlantakkan pertahan musuh.

Tank-tank amfibi yang membawa pasukan infanteri diterjunkan untuk membasmi pasukan musuh yang sudah sekarat itu. Bengis dan kejam menembak serdadu tepat di arah kepala, menusuk leher dan menggranat pasukan yang telah menyerah. Jenderal bintang dua musuh juga tewas dengan cara mengenaskan, digantung di pohon beringin lalu direkam untuk kemudian di kirim ke presidennya. Perang bintang menggelora dalam pertempuran ini, sayembara dilakukan barang siapa yang mampu membawa kepala jenderal tertinggi musuh pulang maka akan diangkat menjadi warga kehormatan pemimpin tirani. Apresiasi dalam bentuk uang, aset tanah serta kehidupan foya-foya akan diberikan. Kesempatan ini dibuka untuk siapa saja, apalagi serdadu yang bisa melakukannya diangkat langsung menjadi panglima komando wilayah.

Begitulah lingkaran setan ini terus terjadi. Jenderal dibayar dengan nyawa jenderal, rudal di balas dengan rudal sehingga hidup di Negeri Bulan Mati hanya untuk berperang saja. Jika suatu saat nanti kemenangan akan didapatkan, para pejuang tidak akan terpampang menjadi pahlawan. Ini hanya soal ambisi dan egoisme pemimpin tirani yang menghasilkan produk perang kelas teri. Hanya karena saling klaim makanan dan baju khas daerah saja sampai kirim rudal balistik.

Banyaknya kepentingan dan iming-iming uang membuat keserakahan membabi buta. Kesepakatan terjadi di ruang-ruang gelap yang melibatkan elit politik. Pemberontak yang dipersenjatai lawan diberangus habis-habisan termasuk keluarganya yang jelas-jelas tidak tahu akar masalahnya. Ideologi yang sewenang-wenang membuat kehidupan bernegara terancam kapan saja. Tidak boleh kemanusiaan lebih tinggi dari perintah pemimpin tangan besi tirani. Barang siapa yang mengabdi padanya akan dijamin kehidupan duniawinya dan barang siapa yang memberontak akan ditembak mati.

Peradaban di Negeri Bulan Mati tergolong maju dalam hal alutsista tempur namun mundur dalam hal kemanusiaan. Ini seperti sebuah negeri yang kekurangan pagi kebanyakan malam, suka pamer kekuatan namun tidak punya nurani. Negeri ini memang tempat yang paling potensial memelihara dendam dan ambisi. Politikus, aparat dan pemimpin tirani bekerja sama untuk mengambil keuntungan di atas penderitaan rakyat. Serdadu hanya alat perang yang di doktrin bela negara. Saling klaim makanan dan baju khas daerah bukan alasan untuk terjadinya perang namun mereka selalu mewarisi kebencian ini kepada generasi muda hingga masuk ke dalam kurikulum pembelajaran.

Negeri Bulan Mati akan terus di propaganda oleh elitnya sendiri agar terus bodoh dan patuh kepada pemimpin tangan besi. Segala hal yang berupa kebaikan, nurani dan kemanusiaan tidak bisa berlipat ganda. Lalu hanya pengemis dan gelandangan yang punya banyak waktu mendoakan jutaan mayat serdadu di sebuah pantai yang airnya merah dengan kilatan petir di langit. Entah mereka agamanya apa namun mereka bisa menjadi harapan untuk terjadinya kehidupan yang banyak cinta dan kasih sayang di kehidupan mendatang.

BIODATA

I Wayan Kertayasa, berasal dari Banjar Ked, Taro, Tegalalang, Gianyar, Bali. Ia penggerak literasi di Yayasan Warga Anak Semesta (WAS). Novelnya yang sudah diterbitkan Romansa Lagu (2019) dan antologi puisi Semoga Aku Sampai (2020). Beberapa cerpennya dimuat di Kompas.id.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!