Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

CerpenSastra

Dua Puluh Lima Persen

Oleh: Neng Lilis Nuraeni

Ilustrasi: Gede Gunada

 

WANGI aroma jeruk menyeruak seisi ruangan. AC yang tak pernah mati dari pagi buta (di setiap hari kerja), mendedikasikan dirinya untuk terus mengeluarkan kesegaran demi para penghuni yang sudah bertahun-tahun menempati ruangan dengan kesibukan selayaknya orang kantoran pada umumnya.

Mukhsin, lelaki kurus dengan rambut yang selalu tampak klimis dan rapi, menengadah. Dilihatnya dua ekor cicak tengah mengendap-endap, menunggu mangsa. Kacamata persegi minus empatnya melorot. Namun, tak ada niatnya untuk sekedar membetulkan letak kacamatanya itu. Layar komputer masih menampakkan format Microsoft Excel yang sedang dikerjakannya sejak dua hari lalu. Segala rincian rencana anggaran pengeluaran telah ia masukkan ke dalamnya, dari mulai yang terkecil hingga yang memakan budget besar. Dipijat-pijatnya kening yang terasa jengah, meski dua biji kancing kemeja telah ia buka, tetapi rasa pengap dan sesaknya masih tak kunjung lenyap.

Mukhsin menyandarkan kepala di sandaran kursi, memutar-mutar arah kursinya berharap agar rasa sesak dan pengap segera menyingkir. Namun, apa yang dilakukannya malah membuat kepala Mukhsin menjadi semakin terasa pening. Dihembuskannya napas, berusaha mengatupkan mata, menatap layar monitor terlalu lama membuat pandangannya terasa kurang nyaman.

Suara kedua cicak yang sedari tadi merayap di dinding bercat kuning gading, lambat laun mulai mengusik gendang telinganya. Ajaib! Antara sadar dan tidak, Mukhsin tiba-tiba saja bisa mendengar celoteh kedua binatang itu.

“Sudah kubilang, tak ada gunanya mempertahankan apa yang kamu pegang teguh selama ini. Toh, pada akhirnya semua akan berjalan sesuai dengan apa yang Tuanmu kehendaki,” ujar si Cicak Belang seraya menjulurkan lidah dan mulai menelan apa yang baru saja ia tangkap.

Cicak Kelabu mendengus, memicingkan mata seraya menatap lelaki yang terkantuk-kantuk di bawah sana.

“Jangan bicara begitu, aku tak mungkin mengubur rasa idealisku hanya untuk mengikuti apa yang Tuanku itu inginkan. Terlalu bertentangan dengan nuraniku. Kamu tahu sendiri, aku adalah cicak yang terkenal jujur dan tak pernah bergunjing atau menguliti kejelekan cicak lain,” Cicak Kelabu merayap sedikit lebih maju.

“Kamu terlalu naif! Zaman sekarang jika hanya mengandalkan rasa idealisme takkan bisa membuatmu kenyang. Lihat! Nyamuk-nyamuk yang biasanya mudah kita tangkap pun, kini sudah mulai susah kita dapatkan. Kenapa? Karena mereka sudah sangat pintar. Mereka berguru pada binatang pengerat yang bersarang di atas atap sana sehingga bisa mengecoh pemangsa kecil seperti kita ini,” ucap si Cicak Belang lagi.

Ia merayap lebih dekat ke atas meja, di sana tergeletak sisa roti yang entah bekas hari kapan, laron yang berkerumun di atasnya membuat Cicak Belang itu semakin konsentrasi.

Cicak Kelabu mengikuti gerak-gerik si Cicak Belang dengan ekor matanya. Satu-dua ekor laron berhasil masuk ke dalam mulutnya.

“Kamu tak ingin memakan santapan lezat ini?” gumam Cicak Belang.

“Aku kurang berselera makan. Kamu sajalah!” ujar Cicak Kelabu dengan lemas.

Cicak Belang tersenyum sinis, kawannya itu memang sangat mudah kena mental jika sudah menyangkut Tuannya.

“Sudahlah! Kamu tak usah banyak mikir. Tak ada yang salah dengan titah Tuanmu itu. Kamu hanya perlu tutup mata tutup telinga. Meski ditolak, Tuanmu tetap akan bisa melakukan apa yang dia kehendaki, meski tanpa kamu yang jadi perantaranya. Camkan baik-baik! Jika itu terjadi, kamu tak lagi ia butuhkan, dan kamu akan dihempasnya tanpa sebiji pun kebaikan!” Cicak Belang memperingati.

“Seperti yang telah dia lakukan padamu dulu, begitu?” tanya Cicak Kelabu.

Cicak Belang tertawa sinis.

“Begitulah! Tak ada satu makhluk pun yang tak sama di dunia ini, semuanya akan bersekutu dengan apapun atau siapa pun yang sekiranya menguntungkan. Entah itu hewan seperti kita ataupun manusia seperti lelaki terkantuk-kantuk itu!” seru Cicak Belang seraya menunjuk Mukhsin dengan ekornya. Lelaki yang ditunjuk Cicak Belang seketika membuka mata.

“Kamu bilang apa barusan?” tanya Mukhsin pada si Cicak Belang.

Kedua binatang di dinding terperanjat, mereka sama sekali tak menyangka kalau obrolan mereka bisa didengar bahkan dipahami oleh manusia.

“Kamu bicara pada kami?” tanya Cicak Belang tampak tak percaya. Lidahnya kembali terjulur meski kali ini tak ada satu pun mangsa yang hendak dia tangkap.

“Tentu saja! Pada siapa lagi aku bertanya kalau bukan pada kalian?”

Mukhsin benar, di ruangan itu hanya ada dia dan kedua cicak yang masih terkesima menatapnya.

“Luar biasa! Baru kali ini aku mendengar manusia bicara pada kita. Kau lihat? Pria berkacamata itu bicara pada kita!” seru Cicak Belang pada kawannya dengan kesan takjub yang masih kentara.

Cicak Kelabu mengangkat ekornya, kali ini binatang itu mulai merangkak mendekati si Cicak Belang. Tak sepatah pun kata keluar dari mulutnya.

Melihat tingkah binatang yang satu itu, Mukhsin seperti melihat dirinya dalam cangkang yang lain.

“Apa yang kalian bicarakan sampai-sampai membawa-bawa diriku dalam percakapan?” tanya Mukhsin. Kursinya ia hadapkan tepat di depan kedua Cicak itu.

“Sesuatu yang sama seperti yang sedang kamu pikirkan saat ini!” Cicak Belang menjawab dengan sedikit pongah.

“Seperti yang sedang aku pikirkan? Memangnya kalian tahu apa yang sedang kupikirkan saat ini?” tanya Mukhsin lagi. Namun, dengan nada suara yang terdengar mengejek, seolah berkata ‘tahu apa kalian dengan isi otakku?’ Cicak Belang mempermainkan ekornya, sedangkan Cicak Kelabu hanya menatap Mukhsin tanpa kedip.

“Kamu tahu? Kamu dan kawanku ini memiliki perangai yang sama persis, dan itu kadang membuat kalian seperti makhluk dungu, selalu ragu dalam membuat keputusan.”

“Maksudnya?” kening Mukhsin tampak keriting.

“Dari dua hari lalu kulihat kamu terus saja mengerjakan pekerjaan yang sama. Ketik, enter, hapus, tarik napas, ketik, enter, hapus, garuk-garuk kepala, begitu terus menerus, seolah tak ada pekerjaan lain yang bisa kaulakukan selain itu!” bicara Cicak Belang lebih terdengar serupa ledekan.

“Sebegitu isengnya kamu mengamati apa yang aku lakukan, tak adakah kegiatan lain yang bisa kamu kerjakan selain merecoki pekerjaan orang?” Mukhsin menanggapi bicara Cicak Belang dengan lengkungan kecil di sudut kiri bibirnya.

“Bukannya merecoki, tetapi setiap aku lewat ketika hendak menangkap laron-laron itu, apa yang aku lihat dan apa yang kamu kerjakan selalu saja sama.”

Mukhsin menatap serius kedua binatang di dinding. Cicak ini memang sok tahu, batinnya.

“Kamu tahu? Aku rasa kamu harus bisa lebih fleksibel. Buanglah rasa ragu dalam hatimu. Apa yang kamu pikirkan mungkin saja tak sejalan dengan hati nuranimu, tetapi tak ada salahnya sekali-kali berpikir logis. Apa yang diucapkan atasanmu tak salah! Kesempatan jarang datang dua kali. Ikuti saja arahan dari atasanmu itu, toh tak akan rugi pula jika kamu sedikit mengimprovisasi apa yang kamu kerjakan. Kamu tahu? Para lakon juga tak selalu mengikuti setiap baris kata saat berdialog dalam naskah dramanya, kadang mereka juga perlu mengeksplor kemampuannya dengan sedikit improvisasi sehingga hasil karya mereka menjadi luar biasa, bukan?” Cicak Belang bicara panjang lebar.

“Bukan main! Kamu benar-benar mengamati gerak-gerikku sampai sedetail itu?” Mukhsin lebih terlihat tak suka daripada kagum dengan narasi panjang yang diucapkan si Cicak Belang.

“Kamu lupa, kawan? Jangankan aku yang notabene-nya adalah makhluk hidup, dinding yang kupijak ini pun nyatanya juga bertelinga. Kamu hanya tak menyadari keberadaan kami di sini. Kalian, maksudku, kamu dan atasanmu mengira bahwa hanya kalian berdua saja yang saat itu berada di ruangan ini, kalian lupa kalau kami juga mendengar segala yang kalian berdua bicarakan, sama seperti kamu yang telah dengan lancang mendengar obrolan kami,” Cicak Belang semakin berapi-api. Lelaki berkacamata itu sepertinya mulai terbuai dengan ucapannya.

“Seberapa banyak cerita yang kamu dengar?” tantang Mukhsin.

“Semuanya. Kamu tahu? Di golongan kami, aku dikenal sebagai cicak yang tak pernah mendengar berita setengah-setengah, aku selalu merampungkan apa yang aku simak agar tak jadi bahan obrolan yang simpang siur. Oleh karena itu, semua habitatku selalu percaya dengan apa yang aku kabarkan pada mereka!” Cicak Belang membanggakan diri.

Mukhsin kembali mengingat percakapan antara dirinya dan Rusli, atasannya sekitar lima puluh jam lalu.

“Kemungkinan dana bantuan itu cair sekitar dua minggu lagi. Kamu harus segera merampungkan rincian rencana anggaran pengeluaran pembangunan gedung baru. Kamu sudah tahu bukan, rincian yang harus ditulis apa saja?” ujar Rusli yang diakhiri dengan sebuah pertanyaan atau mungkin juga sebuah tantangan.

“Maksud Bapak?” Mukhsin mengerutkan kening.

“Kamu tahu sendiri, dua puluh lima persen dari dana bantuan itu adalah hak Yayasan. Namun, tak mungkin kalau itu ‘plek’ dimasukkan begitu saja ke dalam rincian anggaran pengeluaran, bukan?” Rusli menghempaskan tubuhnya di atas kursi seberang meja kerja Mukhsin.

“Lantas, apa yang harus saya lakukan?” Mukhsin tampak sedikit kurang paham.

“Lakukan saja seperti yang biasa kamu kerjakan. Namun, usahakan jumlah yang dua puluh lima persen itu kamu selip-selipkan pada budget pengeluaran yang lain. Bisalah kamu masukkan ke honor pegawai, biaya peralatan, atau apapun yang sekiranya realistis,” jawab Rusli.

Kali ini Mukhsin terdiam. Bukannya tak mampu, dia hanya merasa kurang yakin saja.

“Bulan depan anakmu sudah mulai masuk SMK, kan? Bukankah kamu perlu menyiapkan segala keperluannya? Kudengar, sekolah itu adalah sekolah favorit yang biayanya pun lumayan menguras dompet.”

Mukhsin mengangguk lemah. Ia jadi ingat pada anak sulungnya. Rusli menyungging senyum.

“Perlu kamu ketahui, kamu pun memiliki bagian sendiri dalam dana dua puluh lima persen itu. Tiga persennya adalah milikmu. Rasanya itu sebanding dengan kinerjamu yang telah bersusah payah dari mulai pengajuan awal sampai sekarang.”

Mukhsin menunduk. Tiga persen dari dua puluh lima persen? Ah, setara dengan jumlah dua bulan gaji yang ia terima. Mukhsin menghela napas.

“Kenapa diam?” Rusli tampak penasaran.

“Ah, tidak. Saya hanya sedikit kaget saja. Tiga persen itu bukan jumlah yang sedikit untuk nominal dana sebesar itu,” gumam Mukhsin.

“Nah itu kamu tahu! Aku sengaja mengatakannya sekarang agar kamu lebih bersemangat dalam mengerjakannya. Segera rampungkan! Aku yakin kau bisa melakukannya dengan baik,” Rusli bangkit dan pergi meninggalkan Mukhsin yang masih termenung di meja kerja.

Cicak Belang tersenyum sinis.

“Aku yakin kamu akan melakukan apa yang diperintahkan atasanmu itu, uang sebanyak itu kapan lagi kamu dapatkan dengan mudah? Lanjutkanlah! Kami tak akan mengganggumu. Anggap saja kamu tak pernah bercengkrama dengan makhluk merayap seperti kami ini,” ucap Cicak Belang. Satu laron kembali masuk ke dalam mulutnya.

Mukhsin hendak melanjutkan kembali pekerjaannya saat tiba-tiba Cicak Kelabu yang sedari tadi hanya menjadi pendengar mengucapkan sesuatu yang membuat jemarinya menghentikan gerakannya.

***

Rusli tergelak saat membaca selembar kertas yang disodorkan Mukhsin padanya. Lelaki berambut klimis itu geleng-geleng kepala, tak habis pikir dengan apa yang sebenarnya ada di kepala bawahannya itu.

“Kenapa tiba-tiba begini?” tanya Rusli, ditatapnya pria berkacamata persegi di depannya dengan kening mengernyit.

“Saya tidak bisa melakukan apa yang Anda perintahkan, Pak! Oleh sebab itu, saya mundur dari kepanitiaan pembangunan gedung baru. Semoga Bapak maklum!” tegas Mukhsin.

Rusli tersenyum kecut, “Mukhsin…Mukhsin, kamu benar-benar naif. Sudahlah! Meski sudah kujelaskan, tetapi ternyata pikiranmu masih saja dangkal.”

“Lebih baik pikiran saya dangkal, Pak! Daripada saya harus memanipulasi laporan! Saya permisi!” Tanpa menunggu jawaban, Mukhsin meninggalkan ruang Ketua Yayasan.

Langkahnya kian mantap, dia tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan etika dan idealismenya. Tawaran yang diberikan atasannya memang menggiurkan, tetapi ia tak mau mengotori masa depan anaknya dengan uang yang tak sepantasnya ia dapatkan.

Seekor cicak berwarna kelabu merayap di sudut atas dinding dekat AC, Mukhsin kembali mengingat satu kalimat yang menyentak dirinya saat tidur di jam istirahat siang tadi.

“Kamu yakin tak masalah, jika masa depan anakmu kelak tidak berkah hanya karena nominal tiga persen dari dua puluh lima persen itu?”  ***

Ciater, 28 Juni 2022

 

BIODATA 

Neng Lilis Nuraeni (Lies Noor), lahir dan tinggal di Subang. Bekerja sebagai operator di PT. TKG Taekwang Indonesia. Sastrawan D. Zawawi Imron adalah salah satu motivasinya untuk bisa menjadi seorang penulis meski tak mengenyam pendidikan tinggi. Selain Zawawi, dia juga mengidolakan Suparto Brata, Andrea Hirata, Wayan Jengki Sunarta, dan Seno Gumira Ajidarma. IG: @liesnoor87.

 

Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama, antara lain: Pameran Kelompok Komunitas Lempuyang di Hilton Hotel, Surabaya (1999), Pameran “Sensitive” Komunitas Lempuyang di Danes Art Veranda, Denpasar (2006). Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.

——–

Rubrik Sastra “Bali Politika” menerima sumbangan tulisan berupa puisi (minimal 5 buah), cerpen, esai/artikel (seni, sastra, budaya) dan resensi buku. Tulisan disertai biodata (maksimal 5 baris) dikirim ke email [email protected]. Tulisan yang lolos seleksi akan dimuat secara bergiliran setiap hari Rabu dan Sabtu. Untuk sementara, “Bali Politika” belum bisa memberikan honor kepada para penulis yang karyanya dimuat. Rubrik ini diasuh oleh Wayan Jengki Sunarta.

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!