Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

CerpenSastra

PENARI ULAR

Oleh Firman Fadilah

Ilustrasi: Gede Gunada

 

Mulanya, Ranjit sempat ragu jika Fikar mau mengikuti jejaknya sebagai pawang ular. Ke empat kakaknya menolak mentah-mentah ketika Ranjit mengajak mereka untuk belajar dalam kelas pawang ular.

“Lebih baik menjual kain daripada berkawan dengan ular berbisa itu!” ucap salah satu dari mereka.

Namun, delapan tahun lalu, Fikar lahir. Anak laki-lakinya menjadi lima. Saat itu Ranjit tahu, Fikar berbeda. Ia tumbuh menjadi anak yang menyukai ular. Harapannya bersemi sebab ia memiliki penerus untuk usaha sekaligus tradisi di desanya. Ia sungguh tak peduli kepada aktivis peduli satwa yang mengatakan bahwa memaksa ular untuk menari adalah suatu bentuk eksploitasi. Bahwa ular seharusnya hidup di hutan, bukan dalam keranjang kecil yang dipertontonkan. Bahwa taring ular harusnya runcing dan berbisa, tidak untuk dikikir apalagi dipatahkan agar hilang racunnya.

Pikir Ranjit, membuat orang terhibur dan bahagia adalah tujuan hidup. Kesedihan seharusnya tidak memiliki tempat di kehidupan yang sementara ini. Semua orang harus merasa bahagia. Semua harus tersenyum supaya hidup jadi bermakna. Maka, ia memilih untuk menjadi pawang ular seperti ayah dan kakek buyutnya.

Saat pungi ditiup, kepala ular akan menyembul dari dalam keranjang. Badannya meliuk-liuk mengikuti melodi pungi yang seolah menghipnotisnya. Seketika itu, tudung di lehernya merekah seperti sedang menyiapkan kuda-kuda untuk meyerang mangsa. Ular itu bergoyang. Melihatnya, orang-orang merasa senang. Mereka tertawa sambil melempar koin ke dalam kaleng biskuit.

Dari situ, uang terkumpul. Ia bisa menghidupi istri dan lima anak laki-lakinya.

“Ini usaha bagus. Sudah jadi tradisi di keluarga kita,” ucapnya.

Sayangnya, tak banyak yang menekuni pekerjaan ini. Zaman telah bergeser. Hiburan bisa didapat dalam genggaman tangan. Oleh karena itu, ia ingin anak-anaknya menjadi pawang ular, menghibur orang-orang selepas beribadah dari kuil. Pekerjaan apalagi yang lebih menyenangkan selain membuat orang tersenyum? Namun, empat dari lima anak laki-lakinya menolak. Hanya Fikar yang menyukai ular.

Mulanya, seekor ular kobra masuk ke rumahnya. Fikar tak tahu dari mana ular itu datang, dari hutankah atau lepas dari kandang kebun binatang. Ia pegang saja ular itu tanpa rasa takut sama sekali, tanpa peduli gigitan kobra bisa membuatnya meregang nyawa. Malahan, Fikar memeliharanya. Ia bersahabat dengan ular, bermain, mandi, dan tidur pun satu ranjang bersama ular.

Fikar kerap ikut ayahnya bermain-main dengan ular di dekat kuil. Setelah beribadah, biasanya orang-orang duduk sebelum pada akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Pada saat itu, Ranjit meniup pungi, kemudian ular akan menari. Namun, entah kemalangan apa yang menimpa Ranjit hari itu. Ularnya enggan menari. Ia diam saja dalam wujud badannya yang melingkar dalam keranjang rotan. Sementara itu, Ranjit tetap meniup pungi. Ularnya masih saja diam. Orang yang tak sabar menunggu, lantas membalikkan badan. Moodnya hilang.

“Ular sialan!” pekiknya lantang.

Tersirat wajah kecewa melihat pengunjung berhamburan. Mendadak Fikar berdiri. Sebagai penyayang ular, juga ayahnya, ia harus berbuat sesuatu sebab ada makanan yang harus dibeli untuk keluarganya. Para pengunjung tak boleh pergi sebelum meninggalkan sekeping koin.

Fikar memunggungi ayahnya, kemudian ia menari, terus menari hingga seseorang tak sengaja melihat tariannya yang lucu dan buas, mirip seperti tarian ular. Tariannya membuat orang-orang terkesima. Dari kerling mata, tangan yang menggelombang ke langit, dan kaki yang dihentak-hentakkan. Fikar berhasil mencuri perhatian. Tepuk tangan bergemuruh.

Ranjit terkesiap. Entah dari mana anaknya belajar menari seindah itu. Tarian yang mendatangkan berkeping-keping koin. Pengunjung makin banyak seolah mereka tak pernah melihat tarian indah yang ditampilkan oleh seorang anak laki-laki. Namun, di India, semua orang menari. Menari adalah seni. Menari adalah aktualisasi diri. Maka Ranjit terus meniup punginya dan Fikar dengan gemulai tetap menari.

Mereka mendapat uang yang cukup banyak waktu itu. Maka timbul suatu ide.

“Bagaimana jika esok kau menari lagi?” tawar Ranjit.

Fikar tak menolak. Di kamarnya, ia berlatih tari. Di hadapan sebuah cermin besar, Fikar menggoyangkan pinggulnya. Tangannya ia kerucutkan ke atas, menirukan gerakan ular. Sejurus kemudian, ia berhenti. Seperti ada yang kurang. Ah, tentu saja. Ia adalah penari ular. Seharusnya, ia menari bersama ular piaraannya. Ia keluarkan ular-ular dalam keranjang. Dililitkannya ular itu di leher, pinggul, dan lengan, kemudian ia menari lagi. Beberapa waktu kemudian, ia berhenti lagi. Terasa ada yang kurang. Ah, tentu saja. Seorang penari harus memakai perhiasan. Fikar mencari kain sari dan beberapa gelang di lemari ibunya. Ia juga membubuhkan sedikit riasan di wajahnya. Lalu, ia menari lagi. Tampaklah dirinya seperti penari ular sejati.

Saat itu, Fikar berpikir, dirinya kini bukanlah dirinya. Ia merasa seolah terjebak dalam tubuh bocah laki-laki. Dirinya yang sesungguhnya adalah seorang perempuan, seorang penari ular. Ia melihat bayangannya yang lincah dan gemulai. Ia jatuh cinta dengan tarian.

Untuk hari-hari setelahnya, Fikar menari dengan ular di dekat kuil. Ayahnya meniup pungi. Mereka mendapat uang yang sangat banyak. Oleh sebab itu, ayahnya tak keberatan jika Fikar berdandan seperti seorang perempuan dengan kain sari dan gelang di tangan serta kakinya.

Akan tetapi, timbul suatu kebencian dari ke empat kakak laki-lakinya.

“Kau boleh saja menari, tapi jangan berdandan seperti seorang perempuan! Itu menjijikkan!”

“Kau mencoreng nama baik keluarga!”

Orang-orang pun kerap membicarakan hal itu. Ayahnya dianggap telah melakukan eksploitasi terhadap seorang bocah usia sekolah untuk mencari nafkah. Mereka tak pernah tahu jika menari adalah pilihan Fikar sendiri. Dengan menari, ia jadi dirinya sendiri. Ibunya pula tak kuasa menanggung malu sebab tetangga sering menyindirnya.

“Kau telah gagal mendidik seorang anak! Kau gagal menjadi seorang ibu!”

Kadang ia kesal karena kain sarinya mendadak tak ada di lemari, juga riasan wajah yang tiba-tiba menghilang.

Lelah menjadi bahan perundungan, Fikar memutuskan untuk pergi dari rumahnya yang nyaman. Ia tak membawa apa-apa, kecuali ular kesayangannya sebab ia tak bisa berhenti menari. Menari adalah bagian dari hidupnya.

Fikar menari dari kota ke kota, dari stasiun ke stasiun, dari pasar ke pasar, serta pinggiran jalan. Orang-orang asing ramai menonton. Berkat menari, ia bisa membeli kain sari lengkap dengan kosmetik. Ia beli cukup makanan untuk dirinya dan ular-ular dalam keranjang.

Dandanannya melebihi seorang perempuan kodrati. Tangan, pinggul, kepala, dan kaki ia gerakkan serupa gelombang selaras dengan gerakan ular di tubuhnya. Bertahun-tahun, ia menari. Ia tak pernah memiliki tempat untuk menetap. Ia tinggal di mana saja, di emper pertokoan, bangunan kosong, atau kolong jembatan.

Ia sembahkan senyuman kepada orang-orang yang melihat tariannya, tetapi di matanya, ia menyimpan banyak pertanyaan. Bagaimana kabar keluarga di sana? Terutama tentang ayah yang pertama kali memperkenalkan tarian ular. Tarian yang telah menjadi separuh dari hidupnya kini. Akan tetapi, Fikar tengah dalam perjalanan menghapus kenangan itu sebab dirinya berbeda. Ia bukanlah Fikar yang dulu. Ia benci dirinya yang dulu dan berusaha mencintai dirinya yang sekarang.

Dalam hatinya, tak pernah terbesit keinginan untuk kembali karena tidak ada tempat pulang untuk dua raga serta jiwa yang seperti dirinya.

***

Suatu sore yang ramai, Fikar sedang lihai menari di dekat kuil. Tubuhnya yang ramping berputar-putar. Puluhan pasang mata menatap penuh kagum dengan tariannya. Berkeping-keping koin ia dapatkan.

“Penari itu sangat cantik,” ucap seorang perempuan tua kepada seorang laki-laki berjenggot panjang.

“Dia menari persis seperti anak kita yang lama tak pulang.”

“Oh, Fikar. Di mana kamu? Ini semua salahku! Harusnya aku ….”

“Ssst! Tidak ada yang menginginkan perpisahan. Itu semua sudah jadi takdir kita, juga takdir hidupnya.”

“Haruskah kita memberi penari ular itu koin?”

“Mmm, ya, ya, boleh. Anggap saja itu sebagai bentuk doa kita, agar Fikar cepat kembali.”

“Sudah sepuluh tahun. Aku rindu suara cemprengnya.”

“Semoga dia baik-baik saja.”

Mereka berdua mengayunkan kaki menuju kuil untuk beribadah. Mereka doakan keselamatan untuk anak lelakinya yang lupa alamat rumah.

Di sisi lain, Fikar masih menari. Ia terus menari hingga basah pinggulnya, menganak sungai keringat dari kepala berambut panjang tergerai sampai punggung halus berkilaunya. Lembap tangan lentiknya, juga matanya. Ia menitikkan air mata. Rindu terus meluap yang tak pernah mampu ia tampung.

16 Juni 2022

 

BIODATA

Firman Fadilah, tinggal di Lampung. Bercita-cita ingin tetap konsisten menulis dan ingin agar salah satu karyanya bisa jadi bahan ajar di sekolah-sekolah.

====

Rubrik Sastra “Bali Politika” menerima sumbangan tulisan berupa puisi (minimal 5 buah), cerpen, esai/artikel (seni, sastra, budaya) dan resensi buku. Tulisan disertai biodata (maksimal 5 baris) dikirim ke email [email protected]. Tulisan yang lolos seleksi akan dimuat secara bergiliran setiap hari Rabu dan Sabtu. Untuk sementara, “Bali Politika” belum bisa memberikan honor kepada para penulis yang karyanya dimuat. Namun sebagai apresiasi, khusus untuk puisi, “Bali Politika” berencana menerbitkan puisi-puisi terbaik dalam sebuah antologi puisi setiap tahunnya. Rubrik ini diasuh oleh Wayan Jengki Sunarta.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!