Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

CerpenSastra

PERCAKAPAN LUKA

Oleh Anindya Barata

Ilustrasi: Gede Gunada

 

WARUNG KOPI itu masih sepi ketika aku datang. Mungkin karena baru buka. Kupilih bangku yang terlihat mencolok, menghadap ke pintu masuk. Jarum jam di atas pintu menunjukkan angka 11. Gelap menyelimuti malam. Temaram cahaya bulan sedikit menerangi.

Aku tak berharap akan banyak teman yang datang. Di grup WhatsApp beberapa teman hanya menjawab insyaallah. Malam ini ada pertandingan sepak bola piala dunia, besok juga hari kerja. Masalahnya aku hanya punya waktu malam ini, karena besok harus kembali ke Jogja.

Dalam cahaya lampu yang suram, muncul wajah yang kukenal baik. Aji tak banyak berubah. Wajahnya tirus dan cekung dihiasi bekas jerawat, tubuhnya kurus. Melihatku ia tersenyum. Masih belum duduk, datanglah Sapto. Ia langsung berteriak, menyapa kami berdua.

Kami memesan kopi, dan tenggelam dalam percakapan yang asyik tentang masa-masa SMA dulu. Sudah lima belas tahun lebih kami tidak bertemu sejak lulus SMA. Suara kodok bersahut-sahutan menimpali obrolan kami. Udara di luar warung agak basah. Sepertinya tidak ada lagi teman yang datang.

“Tanda cinta Selly masih ada?” tanyaku.

Tawa kami pecah teringat insiden di lapangan bola. Saat itu Selly duduk merapat dan kian merangsek Aji. Seperti biasa Aji terserang panas dingin jika didekati perempuan. Kali ini pun begitu. Aji yang memakai celana pendek salah tingkah, rokok kretek yang diisapnya jatuh ke pahanya, cukup lama untuk meninggalkan lingkaran hitam. Jika Aji memakai celana pendek saat bermain bola, noda di pahanya masih terlihat cukup mencolok. Kami menyebutnya tanda cinta Selly.

Pembicaraan melebar ke kabar perempuan-perempuan yang pernah kami taksir, tapi bertepuk sebelah tangan. Sebagian besar karena kami malu menyampaikan rasa suka kami.

“Aku belum menikah sampai sekarang,” kata Aji tiba-tiba, seperti tutup botol anggur yang meletup setelah dikocok.

“Aku bukan homo. Aku memilih tidak menikah, bebas tanpa tanggungan,” tambahnya. Tanpa ditanya, ia berdalih melakukan pembelaan diri.

“Aku sudah bercerai,” kataku menimpali dengan suara lirih.

“Aku kehilangan anak istriku. Mereka semua meninggal,” Sapto tak mau kalah, melengkapi kesempurnaan klimaks sebuah tragedi.

Jarum jam terasa berhenti sekian detik. Aku dan Aji terdiam, bingung memilih kata untuk merespon kalimat Sapto. Sekaligus membiarkan suasana bergerak mengikuti perasaan. Udara semakin basah. Jaketku tak cukup tebal menahan hawa dingin yang kian menusuk, apalagi kopiku tak hangat lagi.

“Bagaimana kejadiannya?” kuberanikan bertanya. Aji memajukan wajahnya seperti ingin lebih jelas mendengarkan jawaban Sapto.

“Bom di gereja,” jawabnya tercekat. Jawaban singkat, tapi mengagetkan seperti ledakan keras yang mengguncang.

“Pagi itu, aku bersama istri dan anakku baru turun dari motor di halaman gereja. Tiba-tiba terdengar ledakan keras di dekat kami. Aku tak sadarkan diri. Setelah siuman, aku dikabari bahwa istri dan anakku tewas.”

Sapto mulai terisak. Dengan terbata-bata ia melanjutkan, “Pagi itu, istriku meminta untuk mengikuti misa pada sore hari. Aku bersikeras untuk berangkat pagi itu. Alasanku, siang ada pekerjaan lembur di kantor.” Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Sebetulnya aku janji berkencan dengan teman kantorku.”

Sapto melenguh keras. “Seandainya aku tidak selingkuh, seandainya aku mengikuti permintaan istriku untuk misa sore,” suaranya seperti menggeram.

Aku menyeruput sisa kopi yang sudah bercampur ampas. “Ikut berduka cita Sap. Jangan salahkan dirimu. Itu kenyataan, sudah takdir Tuhan, tidak ada kata seandainya,” kataku mencoba menghibur.

“Ya aku mengerti, aku sering mendengar, kata seandainya hanya untuk pecundang, tapi kata itu selalu mengiang sampai kini,” ia menundukkan kepala semakin dalam.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Kecairan suasana dan percakapan di awal pertemuan mendadak beku.

“Ayo bercerita yang lain,” mendadak Sapto mengangkat kepalanya, seperti ingin mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana.

“Ikut prihatin Sap, istri dan anakmu sudah bahagia di surga,” Aji bersuara. “Aku juga kehilangan keluargaku.”

“Keluargamu itu… meninggal?”

“Tidak, mereka masih hidup. Lebih tepatnya, aku kehilangan mereka, tapi mereka tidak kehilangan aku.”

“Apa yang terjadi, Ji?”

“Aku dibuang ayahku,” Aji berkata agak keras. “Aku pernah memakai narkoba cukup lama. Setelah beberapa kali direhabilitasi, aku tak lagi menyentuh obat setan itu. Tapi ayahku terlanjur tak mau lagi berbicara denganku. Ilang-ilangan endhog siji, katanya. Aku dianggap permanen mencoreng nama baik keluarga.”

Aji bercerita bahwa ibunya sudah lama meninggal, dan ayahnya tetap menduda. Menurut Aji, ayahnya orang yang berkarakter keras dan temperamental. Ayahnya seorang guru. Keluarga ayahnya tergolong bangsawan yang masih sering mengadakan pertemuan trah. Aji anak bungsu. Kakak-kakaknya lulusan perguruan tinggi negeri ternama, bahkan ada yang menyelesaikan pendidikan di luar negeri.

“Aku cuma lulusan SMA. Beberapa kali kuliah, gagal terus. Aku pakai narkoba, lalu dikirim ke pesantren, keluar dari sana lalu pakai lagi. Begitu terus. Barang-barang di rumah sedikit demi sedikit kujual. Bahkan barang-barang di rumah tetangga juga kucuri. Ayah dan kakak-kakakku marah besar.”

Ketika kutanyakan, kenapa ia mengkonsumsi narkoba padahal ia termasuk keluarga terpandang, Aji terdiam cukup lama. “Kurasa ayahku perfeksionis. Aku tidak bisa mengikuti permintaannya. Semua yang kulakukan rasanya salah. Dalam keadaan frustrasi, ada teman yang menawarkan narkoba. Begitulah, saat perasaanku terpuruk, narkoba jadi pelarianku. Aku semakin kecanduan,” katanya dengan nada putus asa.

“Setelah beberapa kali rehabilitasi, aku memutuskan tali pertemananku dengan teman-temanku yang selalu menawarkan narkoba. Aku juga keluar dari rumah agar tidak memalukan nama ayah, setidaknya bisa menghindari pertemuan dengan trah ayahku yang sering berkunjung. Aku memilih kos tapi sering berpindah-pindah,” lanjutnya.

“Seorang kakak perempuanku membukakan rekening di sebuah bank. Setiap bulan ia rutin mengirim uang. Aku bisa bertahan hidup dari situ. Tapi aku sama sekali tak punya kebanggaan diri. Nama baik keluarga malah jadi ironi bagiku,” tandas Aji sambil menghembuskan asap rokok kreteknya kuat-kuat.

Aku teringat saat kami masih bersama di SMA, Aji tergolong siswa biasa saja, bahkan cenderung kurang percaya diri. Ia pernah bercerita, ayahnya selalu membandingkannya dengan kakak-kakaknya. Nilai rapornya selalu di bawah nilai rapor kakak-kakaknya. Mungkin ayahnya ingin anak bungsunya terpacu, tapi kenyataannya Aji merasa semakin tak berguna dan tak berdaya. “Rasanya hidupku tak berharga,” Aji mengeluh pendek.

Aku memesan segelas kopi lagi. Belum ada pengunjung selain kami. Warung ini buka menjelang tengah malam sampai pagi.

“Seandainya waktu bisa diputar balik, aku tidak akan mengikuti perasaan manjaku. Kalau aku bersungguh-sungguh, pasti aku bisa sesukses kakak-kakakku,” gumam Aji dengan mata menerawang. Mendadak ia seperti tersadar. “Seandainya…” katanya sambil tersenyum tipis.

“Iya Ji, seandainya…” tukas Sapto. “Aku masih terganggu sampai sekarang. Aku tahu kematian istri dan anakku adalah kenyataan, tapi seharusnya aku bisa mencegahnya. Seharusnya, seharusnya…”

Sapto kembali terisak, tangannya mengepal. “Aku tak bisa memaafkan diriku sendiri,” katanya setengah berteriak.

*

Siang itu di Jogja, sehari setelah pertemuan itu, aku masih memikirkan percakapan dengan Aji dan Sapto. Kalau tidak salah, pemboman gereja itu terjadi setahun yang lalu. Berarti sudah setahun ini Sapto didera rasa kehilangan. Istri dan anaknya yang bersamanya selama bertahun-tahun tiba-tiba dicabut dari kehidupannya. Di malam itu, Sapto sempat bercerita betapa kosong hidupnya. Di rumah tak ada lagi suara ceriwis istrinya dan suara lucu anaknya. “Rumahku seperti kuburan,” ujarnya.

Sedangkan kata-kata Aji yang terasa menghujam malam itu adalah “aku ada dan tiada sama saja”. Aji merasa seperti bayangan, jika hadir tidak dirasakan kehadirannya, jika tidak hadir tidak dirasakan pula ketidakhadirannya.

Aku sendiri belum sempat curhat pada malam itu. Pernikahanku kandas di usia delapan tahun. Kami tidak memiliki anak. Istriku wanita karir yang menjabat sebagai manajer regional di sebuah perusahaan multinasional. Suatu hari istriku mengajak bercerai karena perasaannya terhadapku sudah hambar. “Aku tidak membencimu, tapi aku tidak bisa lagi hidup bersamamu,” katanya.

Aku bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Semua pekerjaan kulakukan sebagai rutinitas yang seharusnya. Sebelumnya, setelah lulus kuliah, aku sempat mendapat beasiswa untuk belajar di Jepang. Tapi karena menderita sakit cukup lama, rencana itu gagal. Aku mutung lama. Kemudian aku menikah dengan impian membesarkan anakku. Ternyata kami tidak kunjung dikaruniai anak. Lalu aku dan istriku bercerai. Semua impianku tercecer. Aku menjalani hidup sebagai rutinitas. Perasaanku datar terhadap hidup.

Siang itu aku masih menunggu seorang teman di restoran kecil ini. Dulu kami bersekolah di SMA yang sama di Jakarta, bersama dengan Aji dan Sapto juga. Sudah sekitar dua tahun ini kami tak bertemu.

“Halo Tok,” terdengar suara khasnya.

Kami bersalaman dan tertawa. Wajah Hendri selalu sumringah, nada bicaranya hangat. Kami sempat bercanda sejenak, saling melemparkan ledekan. Namun ia berhenti tertawa ketika aku mengatakan baru bertemu dengan Aji dan Sapto di Jakarta. “Kamu bercanda kan, Tok?” tanyanya setengah retoris.

Lha memang kenapa, Hen?” ganti aku yang kaget.

Hendri duduk, memanggil pelayan, dan memesan kopi. Ia menyulut rokoknya pelan-pelan. “Siapa lagi yang ketemu, Tok?” tanyanya.

“Hanya kami bertiga. Aku, Aji dan Sapto. Kau ada di grup WA SMA kan? Aku menawarkan pertemuan. Yang datang hanya Aji dan Sapto.”

“Aku membaca tawaranmu. Tapi Aji dan Sapto tidak ada di grup kita,” kata Hendri pelan.

Aku kembali terkejut. Aku memang baru bergabung dengan grup WA SMA. Aku teringat, Aji dan Sapto memang tidak merespon di grup WA tersebut. “Serius? Jadi bagaimana mereka bisa ketemu aku?”

Hendri menghela nafas panjang dan menatap mataku lekat-lekat. “Sapto sudah lama meninggal, Tok. Pada pemboman gereja di Jakarta setahun yang lalu, istri dan anaknya tewas. Sapto menderita luka bakar, dan sempat dirawat sekitar satu minggu, lalu meninggal.”

Jadi? Jadi siapa yang bertemu aku pada malam itu? Aku terperangah. Wajahku pasti seperti orang tolol saat itu.

“Sedangkan Aji,” lanjut Hendri, yang sejenak terdiam. “Aji sudah lama menghilang. Tidak ada yang tahu dia ada di mana.”

“Jadi?” kata itu akhirnya terlontar dari mulutku.

“Entah, apakah memang benar Aji teman kita yang bertemu denganmu, atau sesuatu yang menyerupai Aji. Kalau Sapto, kalau Sapto…” Hendri berat meneruskan kalimatnya, “Sepertinya yang bertemu denganmu arwahnya.”

Sekujur tubuhku lemas.

Hendri pun bercerita. Ia kenal dengan kakak Aji yang rutin mengirimkan uang untuk adik bungsunya itu. Sekitar enam bulan yang lalu Aji tak bisa lagi dihubungi lewat telepon. Kakaknya menyusul ke tempat kosnya. Pemilik kamar kos bilang Aji sudah pergi tanpa pamit. Untuk sementara pemilik kos menyimpan barang-barang Aji di gudang. Kakaknya mencek buku tabungan Aji di bank. Ternyata sudah enam bulan kiriman uangnya utuh. Polisi sudah dilapori, iklan orang hilang dipasang di koran dan di media sosial. Aji bagaikan raib ditelan bumi.

Aku terpekur. Hendri diam, memberikan kesempatan padaku untuk mencerna semua informasi ini.

Jadi?

Aku menyeruput kopi pelan-pelan. Pikiranku yang terbiasa analitis mencoba mengolah informasi terbaru tentang Aji dan Sapto. Aku percaya sepenuhnya pada cerita Hendri. Temanku yang satu ini terkenal jujur dan apa adanya.

Aku pernah mendengar bahwa penyebab arwah bergentayangan karena urusannya di dunia belum selesai. Itu semua menahan arwahnya sehingga masih menampakkan diri pada orang-orang tertentu. Rasa sesal Sapto menahannya di dunia ini. Sepertinya rasa kehilangan dan bersalah Sapto juga menyurutkan semangat hidupnya secara drastis saat dirawat di rumah sakit. Sedangkan rasa cinta Sapto pada istri dan anaknya mungkin menyebabkan ia sering mampir ke rumahnya yang sudah kosong. Tidak berlebihan jika ia menganggap rumahnya seperti kuburan.

Bagaimana dengan Aji? Bisa jadi Aji juga sudah meninggal, yang kutemui adalah arwahnya. Bisa juga Aji masih hidup, yang kutemui memang dia, atau mungkin saja tubuh astralnya. Entahlah. Baginya, ia ada dan tiada sama saja.

Suara azan terdengar sayup dari masjid. Hendri menggamit pundakku, mengajak shalat Jumat. Aku berdiri, tapi pikiranku masih penuh dengan Aji dan Sapto. Ekspresi kecewa mereka serta percakapan kami masih menggantung di kepalaku. *

 

Yogyakarta, November 2022

 

———————-

BIODATA 

Anindya Barata, lahir di Bandung, pernah belajar di Fakultas Sastra UI dan extension course STF Driyarkara, Jakarta. Kini tinggal di Yogyakarta.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!