Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi Made Edy Arudi

Ilustrasi: Handy Saputra

 

Staycation

katanya sebelum sarapan
Martini sudah berjalan
ia tak masuk kerja
meski deru mesin jahit dari pabrik
memangil-manggil,
merindunya

ia berjalan berarak-arakan
bersama kolega menuju Patung Kuda
sambil menampilkan wajah yang tumbuh bunga-bunga
tapi tak ada bisa menerka
nyeri bermukim di dadanya

di depan Patung Kuda
Martini mungkin butuh sabana yang lapang
menolak staycation
untuk memperpanjang kontrak kerja

ia meringkik, kakinya berjingkrak
Ia pun meliuk
menarikan perih
yang lama berdesak-desakan di dadanya

(2023)

 

Bukan Pungguk Merindukan Bulan

(bukan pungguk merindukan bulan)
aku benar-benar segelas kopi putih
pada hidangan di mejamu

sebelum kau seruput
sejenak kita saling tatap
:kubaca tarian gigil dedaun
oleh sayong yang memusar di matamu

ini hening pagi
bangku juga langit-langit jelas mendengar
betapa gemuruh debar jiwa
saat kau merengkuh gelas itu
betapa birahi iblis menari-nari di tubuhku
bisa selekat ini dengan bibirmu

akhirnya, sebelum dingin membuncah
kau mulai meneguk aku
pelan-pelan saja, lirihmu

dan aku pun memasuki silang-menyilang ruang tubuhmu
menyuguhkan kehangatan yang tak terbaca pada gairah musim
ooo… betapa betah aku
terlunta dalam regukan cintamu

dan matamu memeram
dan aku terpana

(2023)

 

Dewiku

selamat pagi, Dewiku
jangan terburu-buru mencintaiku
aku dilahirkan saat pesta tak pernah usai merayakan kemiskinan
saat mereka berswafoto, tersenyum ruah,
abadikan setiap kemalangan orang-orang

pikirkan lagi, Dewiku
aku tumbuh di atas tumpukan luka kota
di atas kasur kurus itu, Dewiku
tempat kepedihan meringis dan
mimpi-mimpi tertimbun bantal-bantal kardus penuh air liur

di kotaku, sungguh, decit tikus lebih merdu dari suara penyanyi dangdut
mereka serakus pengisap uang rakyat
sering ia mengintip dari gedung tinggi, mengangkang
mengintai gerak laku kita
lalu, bagaimana engkau mendesah
meliuk-liukkan tubuhmu
merayakan setiap pergumulan kita?
(di sini nyaris tak ada bidang tanah untuk dirikan cinta, Dewiku)

jangan sekeras batu akik, Dewiku
jika kau tak bahagia dihimpit luka udara
yang pesing campur asap dan pengap hitam selokan
di gedung rakyat mana mengadu
suaraku terlanjur tergadaikan seratus ribu
atau dalam kardus sembako musiman
setiap kali pemilu hendak bertandang
(aku tak berdaya, Dewiku)

“tidak, tidak.. Dewaku
hentikan kegaduhan kata-katamu
bukankah setiap kemacetan kota itu bijak bestari
mengajari kita
untuk sabar menghadapi derita

“kitalah yang harus memberi senyum kepada masa depan
meski ditakdirkan menjadi pohon-pohon
yang tak dikehendaki serakah kota
setidaknya bisa jadi rumput
untuk hijaukan semesta, Dewaku

“jika kita rakyat tak berani nyatakan diri,
tikus-tikus makin birahi
mengencingi kita dari gedung-gedung tinggi”,

(2023)

 

Lelaki Pembawa Cahaya

aku tak paham cara menggunakan belati:
ketajaman belati yang telah meyakinkan matanya
dengan muncratan darah dari luka paling menganga di tubuhmu
alih-alih sedalam itu menikammu di kegelapan,

juga tak lihai menyamar sebagai ular
dengan racun paling bisa
menghentikan aliran darah menuju jantungmu

seperti mercusuar
ini benar-benar aku
laki-laki pembawa cahaya
bagi perahu malang terlunta
yang takut tersesat dalam perut
malam dan keterasingan
lelaki pembawa cinta
yang selalu menantimu
di sebuah laut sepi
yang saat kau datang, hatimu terpinang,
jantung kita pun terikat
dan aku akan membiarkan air laut berguguran dari bibirmu
agar lidahmu tetap gurih, lembut, dan hangat
menyapu gigil yang memusar di sekujur tubuhku.

(2023)

 

Rustian

Rustian tak mandi tak bermake-up
di kamar saja tiduran saja
tangannya gelisah
antara mengelus dan meremas perutnya

Rustian tinggal sendirian
muntah-muntah
yang keluar hanya cairan kental
ia tak ke dokter tak ke kampung halaman
lebih aman di kos saja
takut orang-orang mengidentifikasi gerak kehidupan di perutnya

Rustian merinding cemas
perutnya tambah besar
“gugurkan”
iblis membisiki
memberi opsi
jalan pintas melewati kegelisahan

Rustian berontak
menepis bisikan yang bertubi menerjang telinganya
(aku satu dari jutaan wanita, hanya
karena lapar dan gaya hidup menjadi lonte
dan tiba-tiba bunting oleh birahi malam)
kandungan berusia empat bulan
perlawanan sia-sia
timang-timang
untuk harga diri yang tak dijual sebagian orang

Rustian merogoh sakunya, tak ada…
pil ditemukan di laci lemari bajunya
ditelannya dengan mata terpejam
duh Gusti, gugurlah kehidupan
yang dicintai semesta

Rustian lalu terkapar
di kamar saja di tempat tidur saja
napasnya terengah-engah
seperti dikejar rupa bayi yang meratapi kematiannya

Rustian kekalahan, banyak meneteskan darah, air mata
ia pun menyeringai sambil mengenang senyum birahi orang-orang yang menidurinya

Rustian mengecam dirinya

(2023)

 

Wastri

hujan tak henti-henti
dingin merayapi telapak kaki
membeku di sendi-sendi
tapi Wastri terus bekerja, hendak menundukkan hari

sayur yang ia tanam tumbuh subur
pohon tomat pun merayap tinggi
namun Wastri makin susut saja
dihisap kerja
dihisap tengkulak

setiap kali aku bertandang
bibirnya selalu menyiarkan berita buruk:
suasana hati buruk
ocehan tetangga buruk
kata-katanya berdesakan
seperti gentuh yang pernah melarung
sebagian tanaman di ladangnya

aku pun menundukkan kepala
membayangkan letih masa tua
tapi matanya keburu bercerita
tentang kepalanya yang sakit
tengkuknya yang sakit
kantongnya yang tak berhenti sakit
yang memberinya perintah
untuk menyerah pada kehidupan

tapi di dadanya tumbuh bebukitan
di bebukitan itu ada nyala api
menepis dingin dan kefanaan hari tua

di dadanya ada pemberontakan
atas kerusuhan-kerusuhan perdamaian,
yang mesti ia rayakan di hari tua.

(2023)

 

 

BIODATA

Made Edy Arudi (S.Pd.,M.Si) adalah guru di SMPN 2 Sukasada dan juga penyair yang tinggal di Desa Sambangan, Singaraja. Puisi-puisinya pernah dimuat di Bali Pos, Nusa Bali, Pos Bali. Dan sering diundang sebagai juri cipta-baca puisi di tingkat kabupaten dan provinsi.

Handy Saputra lahir di Denpasar, 21 Februari 1963. Pameran tunggal pertamanya bertajuk The Audacity of Silent Brushes di Rumah Sanur, Denpasar (2020). Pameran bersama yang pernah diikutinya, antara lain Di Bawah Langit Kita Bersaudara, Wuhan Jiayou! di Sudakara Artspace, Sanur (2020), Move On di Bidadari Artspace, Ubud (2020), pameran di Devto Studio (2021), pameran Argya Citra di Gourmet Garage (2021). Instagram: @handybali.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!