Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

CerpenSastra

Filsafat Mati di Tempat Parkir

Oleh Gede Sarjana Putra

Ilustrasi: Handy Saputra

 

GEDE MERTA melangkah lesu menuju tempat parkir. Bimbingan skripsinya sudah yang keduabelas kali namun masih berkutat di Bab I, dan nampaknya tidak akan pernah beranjak ke Bab II. Langkahnya gontai, menuju tempat parkir. Apa yang telah diketiknya tidak pernah benar di mata dosen pembimbingnya. Di tempat parkir walau ada tulisan ‘Kawasan Tanpa Asap Rokok,’ Gede Merta menyulut rokoknya sambil berpikir. “Tentu ada yang salah selama ini, aku harus membuat perhitungan dengannya,” batinnya sambil menghisap rokok.

Sampai di rumah, Gede Merta masih berpikir soal skripsi, yang selalu ditemukan kesalahan. Sambil menyuap nasi dia berpikir, bisa jadi dosennya terlalu kolot, terlalu pintar atau hanya tahu sebatas Padangbai-Gilimanuk, “Atau aku yang sok pintar, atau aku yang salah ambil jurusan,” batinnya.

Mengobati kekesalan atas skripsinya, Gede Merta menenggak arak. Dia bukanlah peminum, hanya sesekali bila ada acara bazar di banjar. Beberapa sloki telah membuatnya mabuk, maka dalam mabuknya berulang ia meracau: “Agama, adat, budaya Bali, arak dan filsafat, memiliki sifat yang sama! Sama-sama memabukkan.” Ditenggaknya lagi satu sloki arak sambil meracau, “Agama buatan manusia, adat buatan manusia, arak buatan manusia dan filsafat juga buatan manusia. Hasilnya, memabukkan!” Racaunya sambil ngakak. Seluruh makanan dan arak yang barusan ditelannya ke luar lagi, muntah. “Dosen brekelekiller, besok aku bawakan kapak ke rumahnya. Kutantang dia berkelahi,” jeritnya sambil muntah-muntah.

Gede Merta tersadar dirinya sudah di tempat tidur. Samar-samar didengarnya wejangan ibunya, wejangan yang sama dan selalu berulang, “De, ingat!, kamulah satu-satunya harapan di keluarga ini. Ibu sekeluarga capek miskin. Ibu berharap kamu bisa menjadi pegawai di desa atau di kantor camat. Lalu terjun di banjar, sebagai warga adat. Begitu kamu sukses, dua adik perempuanmu adalah tanggung jawabmu,” pesan Ibunya. Wejangan ibunya tidak dihiraukan. Gede Merta berpikir, jalan apa yang mesti ditempuh agar skripsinya bisa tuntas. Beberapa teman kuliahnya juga memberi semangat, agar jangan menyerah.

“Apakah Ibu tahu, setiap bimbingan salah melulu, salah dan salah,” jelas Gede Merta sambil menatap ibunya.

“Katanya anak filsafat, dan filsafat itu katanya cinta kebijaksanaan. Lalu mengapa harus mabuk. Coba bicara baik-baik dengan dosenmu, mungkin sikapmu yang keterlaluan.” jawab ibunya.

“Tidak, aku harus membuat perhitungan dengan dosen pembimbing satu ini,” tegas Gede Merta.

*****

Dengan penuh keyakinan, ditentengnya kapak ke rumah dosennya. Dalam pikirnya, sampai di rumah dosennya, langsung menantang berkelahi. Berkelahi sampai ada yang mengaku kalah atau mati. Pikir Merta, kalah dalam skripsi maka harus dilawan dengan kapak. Saat sampai di rumah dosennya, Gede Merta mengetuk pintu, memanggil dengan nada preman. “Permisi,,,” kata Gede Merta berulang. Keluarlah lelaki paruh baya, berkaos oblong sambil merokok. Langsung saja lelaki itu menghardik.

“Sudah sering aku bilang, bahwa aku tidak menerima bimbingan di rumah. Kamu silahkan pulang! Besok kita ketemu di kampus,” jelas dosennya. Kapak masih dalam genggamannya, namun kalimat pertama untuk menantangnya berkelahi tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Dosen dihadapannya mengernyitkan alis, melihat mahasiswanya menenteng kapak.

“Lho! kamu ke sini mau ngapain. Sekedar mampir atau habis beli kapak atau juga menantang saya berkelahi.”

Mendengar jawaban dosennya, Gede Merta tercekat. Keberaniannya hilang seketika, tangannya berkeringat. Didengarnya lagi kata dosennya,

“Baiklah, mari sini mampir. Mari kita bicara sambil ngopi,” kata dosennya membuka pintu dan langsung menuju dapur. Gede Merta masih tertunduk di ruang tamu. Di hadapannya terdapat ratusan buku, entah pernah dibaca atau hanya pajangan. Dosennya datang dari dapur membawa dua gelas kopi.

“Ayo, mari minum kopi. Kalau mau merokok juga silahkan, santai saja,” kata dosennya sambil menawarkan kopi dan rokok. Dosennya masih melihat Merta canggung tertunduk di hadapannya. Kapak yang tadi dipegangnya ditaruh di bawah tempat duduknya. Akhirnya, dosen pembimbingnya memulai pembicaraan,

“Gini De, bukan kamu saja yang pernah membawa kapak ke sini. Ada kakak kelasmu ke sini, menantangku berkelahi membawa parang dan ada membawa linggis. Aku sesungguhnya takut kematian, takut kalau kamu benar-benar mengapak kepalaku. Namun, sebelum mengapak kepalaku, izinkan aku mengatakan beberapa hal, setelahnya ayo kita berkelahi,” jelas dosennya.

Gede Merta tertunduk lesu, kalah sebelum bertanding. Keberaniannya hilang, jangankan mengangkat kapak, mengangkat wajahnya saja tidak mampu.

“Begini, aku mencoret-coret skripsimu bukan tanpa alasan. Ada banyak alasan. Tulisanmu bagus, namun satu hal yang aku tidak suka, bahwa aku tidak suka akan kesombonganmu. Hal yang paling berbahaya dari banyak membaca buku adalah mengaku menjadi orang yang paling tahu dan parahnya menjadi penguasa atas kebenaran,” jelas dosennya sambil menyulut rokoknya berkali-kali.

Merta masih tercekat, menunduk sambil mengingat-ingat bagaimana skripsinya dicorat-coret oleh orang di hadapannya.

“Aku mengerti apa yang kamu rasakan saat kamu bimbingan pertama dan saat kamu menenteng kapak ke sini. Dulu aku pernah sombong dan angkuh seperti kamu. Ketika membaca Plato, Sokrates, membaca Nietzsche, Sartre, Berdyaev, Karl Marx, Derrida, Tagor, Gibran dan penulis lainnya, merasa telah menemukan dunia. Bahwa dunia sekarang ada di kepala, tapi ternyata tidak. Menurutku, kamu hanyalah orang yang baru tahu dan menjadi sok tahu. Dari baru tahu mestinya meningkat menjadi orang yang sadar dirinya baru tahu,” jelas dosennya sambil menyeruput kopi. Dosennya melanjutkan lagi,

“Saat kamu datang dengan judul skripsimu, nampak jelas wajah kesombonganmu. Dari sorot matamu, nampak seakan literasimu sudah bagus, sudah banyak. Namun ada yang kamu lupakan, hidup bukanlah soal literasi saja. Kamu menulis skripsi dengan embel-embel literasi gagah berkuah soal filsafat. Apalagi, skripsimu menentang eksistensi desa adat, menentang budaya Bali yang kamu sebut kolot. Menentang ide gubernur tentang penguatan desa adat. Sesungguhnya, masih banyak yang kamu lupakan soal adat Bali. Kuharap, kosongkan dulu kepalamu dan menulislah, itu yang aku harapkan dari tulisanmu,” bebernya panjang lebar. Gede Merta hanya bisa memandang cangkir kopi di hadapannya.

“Jangan kira, aku tidak mengikuti perkembanganmu dalam kuliah sampai pada medsos-mu. Aku memantau dan kamu cukup cerdas, pintar, namun kemampuan yang kamu miliki tidak cukup untuk membuatku senang. Kamu, mahasiswaku yang aku handalkan, namun kesombonganmu yang mengecewakanku. Kamu sering menulis di facebook, gatal tanpa kendali, kritis, agresif, menguliti lawan-teman di medsos dengan teori filsafatmu. Penentanganmu terhadap adat dan budaya Bali membuatku kesal. Kamu lupa, adat dan budaya Bali lahir dari kristalisasi yang melebihi teori filsafatmu. Adat dan budaya Bali yang kamu nikmati hari ini adalah puisinya filsafat itu. Bahkan kamu sebut gubernurmu menanam racun kolot ke warga Bali. Itu tidak aku suka, itu yang aku lihat sebagai kesombongan, kebusukanmu. Dan ketika berhadapan pada skripsi, maka kesombonganmu telah aku rontokkan. Onani atas kebenaran yang kamu tuliskan mendapat ratusan like, lalu kamu senang. Aku berpikir terlalu pagi kamu orgasme, karena bualmu dibaca banyak orang. Dan kamu lupa, kamu bernafas, makan dan mati nanti atas nama budaya Bali,” jelas dosennya sambil menyalakan rokok kedua.

“Salah satu jalan untuk menghentikan kesombonganmu adalah dengan cara mengacak-acak skripsimu. Ternyata dugaanku tidak meleset. Ini jalan sehat untuk menghentikan bualmu. Sekarang pulanglah, mulailah merangkak dari awal. Adat dan budaya Bali yang bengkok mari kita luruskan namun tanpa tendensi kesombongan intelektual dan rasa gatal akan kekayaan literasimu.”

Gede Merta pulang. Perasaannya mulai enteng. Satu jam pertemuan yang dilaluinya, bagaikan sehabis melukat di sepuluh beji keramat. Batas kesombongan di kepalanya terhenti. Kesombongan terhenti, bahwa adat dan budaya Bali adalah laku filsafat sesungguhnya.

Dua bulan kemudian, tiga teman satu kelasnya menyusun skripsi. Semua memiliki persoalannya masing-masing. Salah satu temannya mengadu kepada Gede Merta terkait skripsinya tidak bisa dilanjutkan. “De, tolonglah, aku tidak boleh melanjutkan pembahasan skripsi,” rengek temannya.

Tanpa disadari, mulut Gede Merta nyeroscos meniru apa yang dikatakan dosennya ketika datang menenteng kapak. Kesombonganmu harus terhenti, bla, bla, bla.

Temannya berusaha memotong wejangan Gede Merta, setiap kalimatnya dipotong, Gede Merta semakin nyeroscos, berkait kesombongan literasi, gagah berkuah filsafat. Dan ketika mendapat kesempatan memotong perkataan, temannya berkata pelan:

“De, masalahnya aku belum membayar uang skripsi.”

 

BIODATA

I Gede Sarjana Putra, S.Fil. Lahir di Desa Titab, Kecamatan Busungbiu, Buleleng, September 1970. Sempat kuliah di Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Warmadewa, Tahun 1989. Menamatkan studi S1 Filsafat di UNHI. Menulis puisi, cerpen, esai. Puisinya terangkum dalam antologi Puisi “Klungkung Tanah Tua, Tanah Cinta”.

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!