Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi DG Kumarsana

Ilustrasi: Bonk Ava

 

PUISIMU BERNYANYI DI LANGIT
-untuk Ketut Syahruwardi Abbas-

hujan pertama mengakhiri langkahmu
pada petang pembuka pintu abadi
para sahabat yang telah mengawali langkahmu
telah menyambut memberi jalan lewat puisi yang sama
di setiap gurauan malam sempat kita berkelana
di antara bidak hitam putih waktu
namun malam tak selalu gusar
mengusir kegelapan berbagi suntuk karenanya

hujan pertama mengakhiri puisimu
tidak di sana
sebab padang sabana gelar langkahmu kian panjang
mata pedang yang kau asah kian tajam
memburu sang kuda kelana berbagi celoteh yang sama
pacakkan warna puisi yang telah kau titipkan di setiap hati

Abbas, puisimu bernyanyi di langit
Tak kudengar kembali gelakmu
Walau sepintas waktu kita sempat berjalan

 

BALI TREETOP ADVENTURE PARK

Tubuhmu terbang tertelan circuits hitam
Jangan pilih warna merah, batas ketinggian selalu membuat mataku nanar
menantang jarak tak pasti
namun sekali waktu lepaslah syaraf
terkendali dalam kepekatan kabut senantiasa membuat dirimu ringan
berlompatan pada setiap batang
tubuhmu menantang…wow bukan
alam yang menantang inilah membuat jejak melangkah pasti
menyatu bersama angin
kau tahu, 60 tahun kemudian kita datang kemari
hanya tertinggal belulang rangka tak pasti
separuh roh menghuni raga tak murni
barangkali
dan seandai 100 tahun kemudian masih dipertemukan
bisa jadi roh kita sudah berganti nama
entah gentayangan untuk yang kesekian kali

 

BUNUT BOLONG LEPAS SIANG
-Menuju Seririt

 

Ini jalan membelah pepohonan
Semua debu terhisap kian menambah usia
Tegak tak terusik waktu
Akarnya sekali waktu mencuat
Menanda saksi kehidupan dalam tanah
Dan di permukaan semua orang
Tengadah barangkali ada dedaunan runtuh
Pemberi isyarat hujan

Sepasang kekasih tertelan berulang kali
Melintas diam-diam, tanpa melewati lorong satunya
terlanjur berisik, menunda pernikahan
deru kendaraan pelankan pedal gas
permisiiiii….
Numpang lewat
Aku terpana
Sesaat angin berhenti berdesir

Ini jalan membelah akar pepohonan
Atau aku mengulang telan keheningan
Terpacak alamat
Bunut Bolong

Melewati lorongnya
Tak ada kegelapan antarkan sampai Seririt
Atau kembali dari perjalanan semula
Tentu tak akan menyesatkan
Sebab di dalam tanah
Demikian kuat paru-paru cengkeram tubuhmu

 

GULINTEN
: Wayan Paing

Lewat Ngis atau Purwayu
Jalan seakan membelah langit – entah Tuhan berdiri sendiri
Begitu dekatnya keheningan melintas sepanjang pepohonan
Sesekali dahan berderak beri aku isyarat
Kian menanjak harapan dedaunan membelah diri

Rumahmu
Pemukiman awan meraup wajah kental
Kamar pengasingan terpintal lumutan kayu
Hingga menatap bebas persawahan kejauhan bak tangga melata
Batas horizon tersapu ujung kornea merampas ingatan
membius

Melangkah melewati Purwayu
Selain asing juga jalan mendaki meliku kehampaan
Bebukitan berselimut hijau warna warni kehidupan
Sang pencipta yang membebaskan rasa kagum
Menghimpit diri dalam kekerdilan
Di ketinggian tower seakan kau gantung Gulinten
menghubungkan jutaan mata menatap dunia
bahkan ketika telinga lupa arah suara
tak mungkin bohongi keindahan merayap depanmu
dulu kau kayuh sepeda semangat mengejar pagi
bahkan tertinggal satu bait lagu sebelum upacara bendera berakhir
lonceng sekolah di balik bukit
wangi kembang pegunungan selalu bersahabat
menanggalkan malam sebelum waktunya gelap
jadwal pelajaran penghabisan
melipatmu dalam selimut
kedinginan

 

PACEKLIK

Kapan punya waktu bicara pada tanah
asap knalpot menggilas meninggalkan debu menghambur
kapan terhenti menatap daun-daun tak bernapas tertutup debu jalanan
hidung yang kini tersumbat tak mampu bedakan bau
kebusukan yang tercium bukan dari lalat-lalat terbang di atas bangkai
dedaunan tak pernah lagi renggangkan rongga parumu

lihatlah kini, sawah-sawah tak berpenghuni
tanah-tanah pecah tak lagi bersahabat dengan air
tanah tak punya paru-paru
basah khatulistiwa melintang musim kian tak jelas
latah paceklik menahun

kapan punya waktu bicara pada tanah
roh yang menguap hanya hamparan kering
musim tak lagi bersekutu

 

BIODATA

DG. Kumarsana lahir di Denpasar, 13 April 1965. Menulis puisi, prosa liris, esai, cerpen, dan novel. Buku tunggalnya yang telah terbit: Komedi Birokrat (2010), Senggeger (2010), Kabinet Ngejengit (2012), Mata Dadu (2014), Penari ular (2019), Nyoman dan Senggeger (2020), Pengkoak (2020), Bejigar (2021). Peraih penghargaan Bali Jani Nugraha dari Pemerintah Provinsi Bali tahun 2020. Mukim di Labuapi, Lombok Barat. Email: [email protected]

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!