Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi Anto Narasoma

Ilustrasi: Saka Rosanta

 

AKULTURASI PERNKAHAN BETAWI

ini keputusan
yang meronta-ronta
pada hati terdalam,
karena cinta
meminta diksi menjadi
kata-kata dalam sajakku ;
kau kujadikan istri !

makcomblang paling tepat,
paling indah ketika
kasih sayang mampu membangun rindu ;
dikala harus menyatukan janji

sebab kekasih hati
menandatangani cinta
ke dalam dada yang tak berdaya menolak gempuran rindu, ketika mewarnai
gambarmu di dinding kamar

(secepatnya aku datang, mengantar puisi yang memberi warna dalam pernikahan kita, mawarku)

menghadapimu kekasih
yang sejuk dan teduh,
cairan kultur
tionghoa-jakarta menjadi kata-kata berkolaborasi
dalam adat dan adab

maka kuantar lembaran sirih, pisang raja, roti tawar, dan setumpuk cinta, tatkala
wajahmu menjadi cacatan
di dalam pernikahan nanti

maka akulturasi yang kau hadirkan dalam perilaku pernikahan itu pun
telah membuka tradisi
yang dalam penuh
kerinduan

adakah kolaborasi teduh
ketika batavia menjanjikan
kultur baru saat meleburkan orang-orang jakarta
ke dalam cerita
gambang kromong betawi?

Palembang, 13 Agustus 2022

 

NADA PENTATONIS GAMBANG KROMONGKU

malam membuka ruang-Nya
ketika gelap memisahkan
hitam dari sekujur
langit lepas

lalu nada-nada
melantunkan tradisi ;
ketika gambang kromong
tak menotasikan literate
hanya pentatonik itulah
melahirkan tradisi lima nada: diatonis solmisasi

“cina benteng” seperti larut
ke tiap nada sebagai uang saweran, dalam percintaan tradisi. maka diilustrasi
pada upacara ulang tahun seinjit.

o gambang kromong, gambang kromong

nada-nada kesukaan pun
melatarbelakangi ilustrasi
di ruang kelenteng,
yang berkelopak merah
penuh lagu-lagu kesayangan

(pesanlah lagu kesukaanmu, katanya)

gambang kromong,
tangga nadamu berseliweran dalam kisah
lenong. yang memunculkan
wajah-wajah tradisi
tionghoa dan melayu

Palembang, 16 Agustus 2022

 

ENGKAULAH PUISI ITU

Wanitaku
Engkaulah puisi itu
yang menggelar kehidupan sebagai kata ungkap di dadaku

Begitu ikhlas kata kata berkelana
memasuki ruang diksi
yang kaya makna
Tak tahu lagi
berapa panjang rangkaian kata
yang mengucap cinta kita

Wanitaku,
engkaulah ibu bagi kehidupan
yang memendam kasih
di antara lafal huruf :
serangkaian firman-Nya
dalam aroma bunga

Segala isi dan kedalaman cinta atas lautan
maka engkaulah makna dari berjuta sajak yang mengandung marwah Kitabullah

dari lidahmu yang papah
kau seperti puisi
mengandung bahasa kias
seindah nada dalam lagumu

Bilakah kita melarung sampan ke dalam beningnya sungai musi
setelah asmara ini merangkai kata
di dalam aroma bunga bunga putih atas keharuman cinta kasihku?

Palembang, Oktober 2022

 

O TUHANKU SELIMUTI AKU

aku seperti kapas
ketika diterbangkan takdir
ke ruang perbatasan antara
ruang kehidupan yang busuk
penuh bangkai

detak jantungku terkulai
dengan kecepatan
yang menyesak
di dalam tabung infus
tanpa menghitung-hitung
menghitung-hitung
hidup matiku

“sakitnya menggapai ruang
yang gelap tanpa cahaya,” ujar seorang perawat

o aku seperti sebatang tubuh kehilangan
bayang-bayangku sendiri
yang terpisah dari hari kemarin dan saat ini

dari halaman kitab
yang tertera firman-Nya,
aku lupa mengecap manis pahitnya nasihat kehidupan

hanya dari tiap
detak jantung
secepat pesawat
kertas yang kurangkai
dari masa laluku

aku pun tersandung
di kamar elisabeth
sembari bertarung
dengan ribuan maut

ah ternyata aku
hanya kulit, daging,
dan tulang yang rapuh
karena keimanan paling tipis
dalam dadaku adalah
takdir di akhir usiaku
o Tuhanku, selimuti aku!

Palembang, 23 Maret 2022

 

KULIHAT KEBUSUKAN DIRI SENDIRI

(1)
Kutanya sekali lagi, apakah serat lumpur yang melekat dalam cerita mengurai kesetiaan di darahku?

Sebab ketika Kau panggil sepotong tubuh ini ke ruang ajal, yang tumbuh adalah serat-serat tanah, busuk dalam hikayat panjang

Kerangka yang tajam menebarkan bau cerita ini, Kau balut dengan pikiran dan perasaan. aku pun lupa, karena serat-serat daging yang Kau lilitkan ini, tak pernah lepas dari kata bau dan busuk

Di atas kebusukan itulah aku mencaci kebusukan orang-orang yang lupa kebusukan diri sendiri

(2)
Apakah kemuliaan dari kebusukan itu memaparkan kesombongan sebagai serat-serat kebusukan?

Saat awal sebelum awal, adam yang bangkit dari tanah hitam sebagai ayah, membersihkan kebusukan dengan zikir dan doa

Lalu pikiran pun mengaduk-aduk jalan panjang di atas kedhoifan dirinya. tanah hitam, bukit dan lahan kuburan adalah serat-serat adam yang menyakikan kebusukan

Karena itu kain putih pembungkus kesombongan mengingatkan; “batas hidupmu adalah kesadaran atas kecongkakanmu yang hitam berbau bangkai”

Maka ambil kaca yang tergantung pada harga dirimu. dari cermin dan bayang-bayang cahaya, bisa terlihat segala kebusukan setelah jasadmu terkubur sendiri dalam pererungan panjang

Lalu kutanya sekali lagi, dapatkah kebusukan diri sendiri itu kau cuci dengan wudhu setelah gelap senja membuka kesadarannya?

Palembang, 28 Juni 2022

 

 

BIODATA

Anto Narasoma. Bekerja sebagai wartawan. Puisi-puisinya banyak tersebar di berbagai media daerah dan nasional. Selalu diminta menjadi pembicara sastra di berbagai event. Paling sering diminta jadi pembicara soal sastra di Diknas Sumsel, perguruan tinggi, serta Balai Bahasa Sumatera Selatan.

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!