Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

EsaiSastra

Menelanjangi Kem(Bali) Pohon Beringin

Oleh I Gede Sarjana Putra

Ilustrasi: Gede Gunada

 

SETIAP PERJALANAN ke desa-desa, salah satu pandangan saya tertuju pada perempatan desa. Apakah ada pohon beringin yang masih terpelihara? Setiap perempatan desa adat pasti ada atau pernah ada pohon beringin yang tinggi menjulang. Pohon beringin, walau ditanam tidak persis di perempatan yang biasanya tumbuh di area tenggara (kelod kauh) sebagai area karang tuang (kosong) pada perempatan desa bisa saja menempati sudut lain perempatan desa. Pohon beringin ini juga sebagai penanda, bahwa di sanalah Catus Pata desa tersebut. Pusat dari relasi antar manusia dan relasi manusia dengan alam.

Apakah setiap perempatan bisa disebut Catus Pata? Tentunya tidak bisa. Perempatan Gatsu di Ubung tidak bisa disebut Catus Pata atau perempatan Tohpati apakah bisa disebut Catus Pata? Catus Pata dalam kosmologi Hindu Bali dalam wilayah memiliki syarat pada sisi utara terdapat pura, puri. Pada sisi selatan terdapat pasar umum dan karang tuang sebagai tempat aktivitas warga. Seperti contoh, Catus Pata Gianyar dan Klungkung di sisi utara ada pura, puri, dan sisi selatan ada lapangan dan pasar. Pada sisi selatan terdapat juga pohon beringin, dan masih banyak contoh di wilayah lain.

Ditanamnya pohon beringin tentu memiliki alasan. Di dalam Bhagawadgita 10.26 disebutkan; Di antara semua pohon, Aku adalah pohon beringin. Di antara resi-resi di kalangan para dewa Aku adalah Narada. Di antara para Gandharva Aku adalah Citraratha, dan di antara makhluk-makhluk yang sempurna Aku adalah resi Kapila. Lalu sejauh manakah masyarakat Bali memaknai pohon beringin? Pertimbangan yang jamak kenapa pohon beringin ditanam, karena pohon ini bisa berumur panjang dan daunnya sebagai sarana upakara Pitra Yadnya, ngangget don bingin.

Pada wacana lain disebutkan alam memiliki otoritas dan alam memiliki kemerdekaan spiritual yang menuntut manusia menghormati kemerdekaan yang dimiliki alam. (Wonggunung, 2018.39). Sadar akan formula ini, manusia lantas menghargai otoritas alam. Alam (bumi) diidentikkan dengan “perempuan” atas pendekatan kosmologis. Pohon (taru) yang membesar dan tumbuh sebagai raksasa, ia yang hidup dan menghidupi, kemudian manusia menyadari bahwa pohon adalah bagian dari alam itu sendiri dan pohon besar (pula) diibaratkan sebagai “wanita” dalam ketelanjangan. Oleh masyarakat tradisi, hutan atau wana di gunung didekatkan lagi ke wilayah hunian sebagai medium komunikasi antar semasa dan medium komunikasi dengan Bapa Akasa.

Selanjutnya, atas dasar ketelanjangan pohon beringin yang diibaratkan “perempuan” lalu diselimuti (bermori) dengan aneka warna-warni kain. Paling umum adalah kain poleng atau kain putih. Akhirnya, pohon beringin bermori ini melahirkan areal keramat atau disucikan. Lewat pohon bermori ini, lalu manusia mengirim doa, dan memberikan batas sakral pada areal pohon, bahwa di sana ada wilayah kesadaran antara manusia dan penguasa alam yang dimediasi oleh pohon bermori. Laku-laku tradisional-arkais sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit dan terus terpelihara sampai saat ini dan sampai nanti. Pohon raksasa yang dijadikan pilihan ditempatkan pada tengah atau perempatan hunian sebagai medium komunikasi. Pada saat upacara tawur (pecaruan) di perempatan desa, disebutkan sebagai perkawinan antara Ibu Pertiwi (bumi) dengan Bapa Akasa (langit). Perkawinan antara langit dengan bumi ini disatukan oleh pohon beringin melalui laku umat manusia.

Penanaman beringin ini (barangkali) sepaham dengan pendekatan konversi mendekatkan alam (wana) ke tengah hunian. Pohon beringin dianggap mewakili hutan atau wana dan dibawa lebih mendekat ke wilayah hunian. Penulis sendiri pernah bertanya di beberapa desa adat, bahwa dua atau tiga dekade lalu, di perempatan wilayahnya terdapat pohon beringin. Atas dasar kebutuhan ruang dan modernitas, maka satu-persatu pohon beringin ini ditebang. Lalu, kita bisa melihat seberapa banyak desa adat di Bali yang masih mempertahankan pohon beringin di areal Catus Pata?

Pernah suatu ketika, saat upakara Pitra Yadnya, salah satu desa adat di Kecamatan Busungbiu tidak memiliki pohon beringin. Maka diputuskanlah ngangget don bingin ke desa adat tetangga. Namun persoalan tidak selesai sampai di sini, karena tidak serta-merta daun beringin di desa adat lain bisa dipetik. Walau akhirnya diberikan memetik don bingin di desa tetangga, ini memerlukan argumentasi panjang lebar dan tentunya ditambah dengan sesajen khusus. Ngangget don bingin (infobudayabali.2017) sebagai rangkaian upacara memukur dalam Atma Wedana. Daun beringin ini nanti dibawa pulang kemudian dibentuk sedemikian rupa seperti tumpeng dengan hiasan pererai (wajah) dan ukiran lainnya yang merupakan lambang roh.

Tiadanya pohon beringin di sebuah desa adat, bisa jadi putusnya hubungan dialogis manusia dengan penguasa alam yang dimediasi oleh daun-daun beringin. Tanpa adanya pohon beringin ini juga menandai kekaburan antara hubungan manusia dengan wana yang juga bermakna putusnya ruang ideal. Jauh sebelumnya, masyarakat tradisional Bali, tanpa diingatkan dipastikan memiliki kesadaran ruang hijau di tengah hunian. Pohon beringin ditempatkan di karang tuang (barat daya) atau disesuaikan dengan kondisi, yang menandai hubungan kosmologis manusia dengan Sang Pencipta. Pohon beringin bermori di sebuah hutan di Jawa Tengah bertuliskan: “Di sini aku hidup seperti engkau, bahkan jauh sebelum engkau”.*

 

=================

BIODATA

I Gede Sarjana Putra, S.Fil. Lahir di Desa Titab, Kecamatan Busungbiu, Buleleng, September 1970. Sempat kuliah di Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Warmadewa, Tahun 1989. Menamatkan studi S1 Filsafat di UNHI. Menulis puisi, cerpen, esai. Puisinya terangkum dalam antologi Puisi “Klungkung Tanah Tua, Tanah Cinta”.

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!