(Untuk merayakan hari kelahiran Mahaguru Puisi Umbu Landu Paranggi pada tanggal 10 Agustus 2022 ini, redaktur sastra “Bali Politika” secara khusus memuat sepuluh puisi Beliau. Pemuatan puisi ini juga disertai ilustrasi lukisan yang dikerjakan oleh Beliau. Selamat menikmati.)
Mantra Pengantar
ucapan melati
dimekarkan matahari
udara bakti
disemburkan matahati
maka para pengisap sezarrah
gelombang lengang
menanam ini sembahyang dialog
sawah ladang
maka adalah cuka duka
lupa luka
jantung hari
bahagia beta
alpa sendiri
bikin bikin puisi
ucapan melati
pergelaran matahari
udara bakti
persembahan matahati
Selamat Ulang Tahun
sunyi di atas meja
membujuk segala kepedihan
dari suatu sudut waktu
sunyi di kaca jendela
menatap dan menantang wajahku
yang termenung, merindu
di luar angin menderu
membuka dan mengepalkan tangan
sunyi dalam genggaman
pahit manis kenangan-kenanganku
dengan sebuah doa lagi
seluruh usia bertarung kembali
Upacara XXIII
rang tua karang
yang bertahta di mahligai nyawaku
tumbuk-tumbuklah, jadikan lidah anak lakimu
bisu abadi
peras-peraslah bisuku
yang senantiasa ajak bicara bisumu
maka haru birulah si anak batu
di batu asah kasihku
nuliskan puisi…
Kuda Hitam
kuda hitam yang mempersiang hari,
yang memperasing diri
kumimpi berjalan di punggung gelora
kusila-sila semadi
merogoh kata-kata puisi
dari kedalaman bulan sanggurdi
campur pasir, akar keringat, darah dan debu matahari
kuda hitam yang mempersiang hari
yang memperasing diri
Kenangan-Kananggar
ringkik kuda
di bukit-bukit berbatu
angin kemarau
mengusap sabana
warga gembala
di padang terbuka
di lembah-lembah sunyi
berjaga petani
sebuah lagu
menikam hati risau
kemarau panjang ganas
musim yang nahas
tapi harum cendana
di hutan rimba
membelai tanah kerdil
di pulau asing terpencil
sekali setahun
mengunjung musim panen
pesta paling meriah
melupa hidup gelisah
ringkik kuda
menggugah rindu
gairah cinta petani
tertanam di tanah ini
puput angin
mengusut kenangan
jauh di tanah rantau
hati merangkum puisi
Ronggeng Sumba
I
Tambur tua, ditabuh dewa
menujum sunyiku, di mulut kemarau
sirih pinang tembakau, membaun angin cendana
duh sarungkan pedangmu, dendam budak biru
gulung rokok daun lontar, kumurkan mantra pengantar
api pediangan menanti, siraman darah lelaki
II
Gong gong purba, meningkah bertalu talu
duh restu dewata, menjaring bulan buangan
lima perawan saringan, menghambur dalam arena
terjurai melindas bayang, kain dan selendang pilihan
tenunan datu, kayu dan batu
anyaman pelangi, menyambar nyambar dukaku
III
gemerincing giring-giring di kaki, mabuk berburu sorak sorai
bulu ayam di kepala meronta, surai kuda di jari melambai
melipat malam lupa berbusa, hai patah tambur buat rajamu
(hingga lepas urat-urat tangan), gong-gong nyaring dan tajamkan
(bahkan hingga putus napas tarian), mari…hanya kesepianku
panggang di bara cemar, sampai subuh berlinangan
embun, pijaran riap embun, yang meramu cintaku
IV
rawa rawa, paya paya, duka cintaku mengibas telaga senja
rawa rawa, paya paya, di punggung sunyi hariku busur cakrawala
rawa rawa, paya paya, baris cemara meriap gerimis nyawaku
rawa rawa, paya paya, pelaminan kemarau, nyanyi fana nyanyi baka
Dari Pura Tanah Lot
inilah bunga angin dan tirta air kelapa muda
para peladang yang membalik balik tanah dengan tugal
agar bermuka muka langit tinggal serta dalamku
bercocok tanam mengidungkan musik dwitunggal
dan seruling tidur ayam di dangau pinggir tegalan
atau sepanjang pematang sampai ke batang air
duduklah bersila di atas tumpukan
batu batu karang ini lakon lakon
rumput dan sayur laut mengirimkan gurau ombak
seraya uap air memercik pedihku
beribu para aku sebrang sana datang
mengabadikanmu pasang naik pasang surut
dan kini giliran asal bunyi sunyiku menggapai puncak meru
ke gunung gunung agung tengadah mataku mengail ufuk
tak teduh mengairi kasihku
Denpasar Selatan, Dari Sebuah Lorong…
anak angin ruh
sembunyikan sajak airmatamu
hanya cakrawala sepagar halaman
kali ini menyibak rahasia semesta
begitulah senantiasa perempuan
ibunda setiap yang bertanda laki-laki
sigaran nyawa
pecandu laknat air dewi katakatamu
bibit cahaya rumpun perdu
inilah perjalanan penemuan siang malammu
saban kali kau mengidung menembang
dan melabuh bara para kekasih dewata
terowongan penjor nun
di dusun dusun jagatraya Bali
resah menanti lalu menyulingmu kembali
memasuki gerbang kotamu tergesa metropolitan
ada juga titipan jalan pasir
gubug ladang garam masa kecilmu
kaligrafi sungai payau, gaib aksara
terbungkus pujapujimu, mutlak laguan kawi
kembali kau menyuruk ingatan
limbung mengguruk tanah kuru dengan darah cinta
kesuir atau sipongang segara gunungkah itu
gagu merafal, mengeja eja mantra purba…
Sajak Kecil
(1)
dengan mencintai
puisi-puisi ini
sukma dari sukmaku
terbukalah medan laga
sekaligus kubu
hidup takkan pernah aman
kapan dan di mana pun
selamanya terancam bahaya
dan kebenaran sunyi itu
penawar duka bersahaja
selalu risau mengembara
mustahil seperti misteri
bayang-bayang rahasia
bayang-bayang bersilangan
bayang lintas bayang
pelintasanku
(2)
dengan mempercayai
kata kata kata
yang kutulis ini
jiwa dari jiwaku
jadilah raja diraja
sekaligus budak belian
sebuah kerajaan
purbani
lebih dari nafasku
bernama senantiasa
nasibmu
umbu landu paranggi
Kata, Kata, Kata
kenangkanlah gumam pertama
pertemuan tak terduga
di suatu kota pantai
di suatu hari kemarau
di suatu keasingan rindu
di suatu perjalanan biru
kenangkanlah bisikan pertama
risau pertarungan kembara
duka percintaan sukma
rahasia perjanjian sunyi
kenangkanlah percakapan pertama
gugusan waktu, napas dan peristiwa
mungkin hanya angin, daun dan debu
pesona terakhir nyanyian sajakku
=================================
BIODATA
Umbu Landu Paranggi, lahir di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1943. Setelah lulus SMP, Umbu melanjutkan sekolah di SMA BOPKRI I Yogyakarta. Kemudian kuliah di Jurusan Sosiatri, Fakultas Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada dan Fakultas Hukum, Universitas Janabadra.
Umbu senang menulis puisi sejak SMP. Puisi-puisinya tersebar di banyak media massa, antara lain Mimbar Indonesia, Gadjah Mada, Basis, Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Majalah Pusara, Gelanggang, Pelopor Yogya, Bali Post, Sinar Harapan, Jurnal CAK, Majalah Kolong. Beberapa puisinya juga terangkum dalam antologi bersama, antara lain Manifes (1968), Tonggak III (1987), Teh Ginseng (1993), Saron (2018), Tutur Batur (2019).
Umbu pernah mengasuh ruang sastra di mingguan Pelopor Yogya yang bermarkas di Jalan Malioboro. Pada tanggal 5 Maret 1969, Umbu bersama beberapa kawannya memproklamasikan berdirinya komunitas sastra Persada Studi Klub (PSK). Pada masa itulah Umbu dijuluki sebagai Presiden Malioboro. Pelopor Yogya dan PSK melahirkan ratusan penyair yang tersebar di seluruh Indonesia.
Tahun 1975, Umbu pergi meninggalkan Yogyakarta dan sempat pulang ke kampung halamannya.
Sejak 1978 Umbu menetap di Bali dan pada Juli 1979 menjadi redaktur sastra di harian Bali Post. Seperti yang dilakukannya di Pelopor Yogya, di ruang sastra Bali Post Umbu dengan setia, tekun, dan telaten, menyemai dan merawat benih-benih penyair hingga tumbuh menjadi sosok-sosok yang dikenal dalam kesusastraan Indonesia.
Umbu sesungguhnya tidak mencetak barisan penyair, namun memberikan sentuhan puisi. Bagi Umbu, menjadi penyair atau bukan, adalah soal pilihan hidup. Umbu selalu menekankan, profesi apa pun yang ditekuni seseorang, maka wawasan dan apresiasi puisi semestinya hadir dalam diri mereka, sehingga terbit jiwa-jiwa kreatif dalam menjalani kehidupan puisi.
Atas dedikasi Umbu pada bidang sastra, pada tahun 2018, Umbu menerima “Anugerah Kebudayaan” dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan penghargaan “Dharma Kusuma” dari Pemerintah Provinsi Bali. Pada 2019, Umbu dianugerahi penghargaan “Pengabdian pada Dunia Sastra” dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan dan penghargaan “Akademi Jakarta”.
Tahun 2020, Umbu menerima penghargaan “Bali Jani Nugraha” dari Pemerintah Provinsi Bali dan “Anugerah Kebudayaan Nasional” dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Tanggal 6 April 2021, dunia sastra Indonesia diguncang berita duka. Umbu wafat di Rumah Sakit Bali Mandara, Sanur, pada usia yang belum genap 78 tahun.