Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Hukum & Kriminal

Dibela 2 Pandita, JBS Serang Lembaga Sulinggih PHDI Penuhi UU ITE

JAWAB PEMBELAAN: Kuasa Hukum Iwan Pranajaya, yakni Made Dewantara Endrawan, SH, Ketut Artana, SH, MH, dan Made Rai Wirata, SH merepons pembelaan terkait status facebook JBS yang menyebut bahwa Sulinggih PHDI MS XII ‘’diam seperti Drona dan Bhisma di Korawa”.

 

DENPASAR, Balipolitika.com- Tanggapan yang menyebutkan status facebook Jro Bauddha Suena alias JBS bukan penghinaan, meilainkan hanya mengingatkan para sulinggih dan tidak menyebut sulinggih secara perseorangan, diluruskan kuasa hukum pelapor JBS, Iwan Pranajaya.

Dihubungi media Jumat, 5 Agustus 2022, Made Dewantara Endrawan, SH, Ketut Artana, SH, MH, dan Made Rai Wirata, SH merepons pembelaan terkait status facebook JBS yang menyebut bahwa Sulinggih PHDI MS XII ‘’diam seperti Drona dan Bhisma di Korawa”.

Ada dua Pandita yang mengomentari pelaporan JBS ke Polda Bali.

Keduanya kompak menilai status JBS tersebut bukan penghinaan, tetapi hanya bermaksud mengingatkan para sulinggih dan tidak menyebut satu pun nama sulinggih di PHDI MS XII.

Namun, para kuasa hukum justru menilai dari kajian hukum, status JBS yang menyebut ‘’Sulinggih PHDI MS XII”, lebih luas konteksnya dibanding menyebut sulinggih perseorangan.

Pasalnya yang diserang JBS adalah lembaga kesulinggihan.

Jika dikalkulasikan di Bali saja dari PHDI Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Bali total ada 110 sulinggih, di Sabha Pandita PHDI Pusat ada 33 sulinggih yang mendapat stigma dan cap sebagai Drona dan Bhisma di pihak Korawa.

Status JBS secara langsung menyerang martabat lebih dari 100 sulinggih tersebut.

Selain itu, dalam sesana kesulinggihan, hanya nabe yangg berhak memberikan pelajaran, teguran, atau pembinaan kepada sulinggih.

Sebaliknya walaka tidak berhak memberikan nasehat kepada sulinggih.

Apalagi ada indikasi menghina sangat dilarang oleh ajaran agama.

Dalam kasus ini, justru walaka menggigatkan sulinggih terhadap sesana sulinggih dan ini tidak sesuai dengan dresta Bali.

‘’Pertama, kami luruskan selurus-lurusnya, tidak benar pelaporan JBS itu dilakukan oleh PHDI Bali. Itu kekeliruan besar dalam menyimpulkan. Seperti kekeliruan orang melihat ketika yang dilaporkan adalah I Dewa Gede Ngurah Swastha, langsung dianggap melaporkan Ketua MDA. Padahal, sekarang sudah jelas, yang dilaporkan adalah Dewa Swastha, bukan dalam posisi sebagai Ketua MDA, tetapi pribadinya. Dan yang bersangkutan juga sudah menegaskan, saat berorasi di Puri Gede Karangasem dalam peresmian kantor PHDI MLB, Beliau tidak bicara sebagai MDA ataupun FKUB. Walaupun dua jabatan itu ada pada orang yang sama. Dewa Swastha sebagai pribadi bukan MDA dan FKUB. Itu beda, dan setiap yang berkomentar di media, mesti memahami konteks ini. Iwan Pranajaya melaporkan JBS atas nama dirinya pribadi. Tidak membawa-bawa lembaga PHDI Bali. Kenapa lembaga PHDI tidak dibawa? Itu karena pelapor menghormati PHDI sebagai lembaga yang mesti mengayomi semua umat Hindu. Jadi tidak elok kalau lembaga PHDI melaporkan umat Hindu. Juga mendengar arahan Dharma Upapati dan Paruman Pandita PHDI. Untuk menjaga martabat kesulinggihan, karenanya Saudara Iwan Pranajaya melapor atas nama pribadi,’’ kata Made Dewantara Endrawan.

Kedua, Endrawan menjelaskan soal tidak spesifiknya status JBS menyebut nama seseorang Sulinggih, tetapi hanya menyebut Sulinggih PHDI MS XII. ‘

“Hal itu tidak membebaskan JBS dari jeratan UU ITE karena di Pasal 28 ayat (2) ITE yang berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA),’’ imbuh Endrawan

Endrawan menekankan patut diduga ujaran JBS menimbulkan permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat.

Dalam hal ini dengan menyebut Sulinggih Dresta Bali di PHDI MS XII dan di PHDI lainnya. Jadi tidak ada persyaratan dalam UU ITE tersebut yang dihina atau difitnah itu harus seseorang.

Kalau yang dihina adalah Sulinggih PHDI MS XII seakan-akan tidak memenuhi unsur pelanggaran UU.

“Tetapi yang diatur dalam UU ITE itu adalah pelakunya, yakni ‘’setiap orang yang dengan sengaja….silakan dibaca baik-baik,” pintanya.

Ketut Artana, SH, MH menambahkan yang jelas sebagai fitnah dalam status JBS tersebut, yakni JBS menyebut Sulinggih PHDI MS XII diam, melakukan pembiaran, terkait keberadaan ISKCON, Sai Baba.

Padahal, setidaknya ada Keputusan Paruman 100 lebih Sulinggih Paruman Pandita se-Bali pada 10 Juni 2021 di Besakih.

Paruman tersebut menegaskan sikap Sulinggih, termasuk mengusulkan pencabutan pengayoman Hare Krishna/ISKCON ke PHDI Pusat.

Lalu Sabha Pandita PHDI Pusat membuat Keputusan pada 30 Juli 2021 yang berisi perintah mencabut pengayoman Hare Krishna/ISKCON dari PHDI.

“Tapi, JBS dengan santai menebar informasi bohong di akunnya, menyebut Sulinggih PHDI diam seperti Drona dan Bhisma. Fitnah besar yang memenuhi unsur untuk pelanggaran UU ITE, karena JBS menulis yang tidak benar tentang sulinggih PHDI MS XII,’’ katanya.

Artana menambahkan sebagai Jro Mangku, yang maknanya memangku kebenaran dan kejujuran, mestinya JBS tidak sampai hati ‘’lempas sesana kepamangkuan’’ dengan mengatakan sesuatu yang tidak sesuai fakta tentang Sulinggih PHDI MS XII.

“Sebagai Jro Mangku yang giat di media sosial, JBS pasti sudah tahu adanya SKB PHDI-MDA 16 Desember 2020, Keputusan Pasamuhan 100 lebih Sulinggih Paruman Pandita PHDI se-Bali, Keputusan Sabha Pandita PHDI Pusat 30 Juli 2021, lalu mengapa JBS menyebut Sulinggih PHDI diam seperti Drona dan Bhisma? Bukankah jelas-jelas Sulinggih PHDI MS XII tidak diam dengan bukti keputusan-keputusan tersebut, dalam menyikapi polemik sampradaya di Bali?” tanya Artana. (bp)

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!