Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

humanisme

Risnawati Utami Puji Akses Publik Disabilitas di Jerman dan Australia

CATATAN PENTING: Sejarah G20 di Presidensi G20 Indonesia, yakni masuknya pembahasan perihal disability and gender equality mendapat ruang yang lebih luas via C20 disambut hangat. 

 

NUSA DUA, Balipolitika.com- G20 merupakan forum strategis multilateral yang menghubungkan negara-negara maju dan berkembang di dunia, dengan anggota yang termasuk 19 negara dan Uni Eropa, perwakilan dari IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia.

Risnawati Utami, Sous Sherpa C20/Disability Rights Adviser OHANA menyebut dalam sejarah G20, baru kali ini, tepatnya di Presidensi G20 Indonesia disability and gender equality mendapat ruang yang lebih luas via C20.

Ungkap jebolan Fakultas Hukum Universitas Negeri 11 Maret (UNS) Solo yang meraih dua gelar master di Amerika Serikat itu berbicara hak disabilitas berkaitan dengan konvensi hak penyandang disabilitas yang sudah diadopsi di hampir 20 negara anggota G20.

Tidak ada alasan bagi setiap negara untuk tidak melaksanakan implementasi hak penyandang disabilitas dalam konteks kebijakan internasional maupun nasional.

Berkaitan dengan disabilitas, tegasnya pengadaan fasilitas publik harus menetapkan standar dan tolok ukur yang baru dan lebih baik sehingga investasi mencakup penyandang disabilitas dan kelompok masyarakat terpinggirkan lainnya.

Setidaknya 5 sampai 20 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) biasanya dialokasikan melalui pengadaan publik.

Di Uni Eropa, pada tahun 2011 negara-negara anggota diperkirakan menghabiskan sekitar 17 persen dari PDB melalui pengadaan publik.

Angka ini mungkin jauh lebih tinggi di negara berkembang, terutama dengan mempertimbangkan pengeluaran lintas tingkat pemerintahan, (Pusat/Federal ke Negara Bagian/Provinsi ke kota dan kotamadya).

Sebuah laporan Green Procurement 2010 menunjukkan persentase yang jauh lebih tinggi dari PDB negara-negara berkembang yang dapat dihabiskan melalui pengadaan.

Mengutip angka Afrika Selatan sekitar 35 persen, India 35 persen dan Brasil 47 persen dari PDB.

Kebijakan pengadaan menetapkan standar yang dapat berdampak pada tren konsumsi dan keuntungan perusahaan.

Mengingat arus ekonomi dan potensi untuk mempengaruhi pasar, maka pengadaan publik yang inklusif layak mendapat perhatian prioritas, terutama untuk mempromosikan non-diskriminasi dan kesetaraan bagi penyandang disabilitas yang sejalan dengan Pasal 5 Konvensi.

Misalnya sebagai langkah kesetaraan secara de facto untuk mencadangkan kontrak bagi kelompok yang kurang beruntung seperti penyandang disabilitas.

Aksesibilitas sesuai dengan Pasal 9 Konvensi melalui pembuatan portal pengadaan online yang dapat diakses, menambahkan standar aksesibilitas teknis pada spesifikasi tender sehingga layanan dan fasilitas publik yang diperoleh dapat diakses.

Produk dan fasilitas yang dirancang secara universal dan ramah lingkungan.

Misalnya saat membangun atau merenovasi sekolah atau lingkungan umum, memastikan ketersediaan aksesibilitas yang mendukung konsep ‘build back better’.

Dengan kata lain pengadaan publik sangat mempengaruhi pasar dari sudut pandang ekonomi.

Spesifikasi pengadaan dapat menetapkan standar yang inklusif dan dapat diakses serta berdampak pada produksi jenis barang, jasa, dan produk tertentu yang mampu menciptakan ekonomi yang inklusif dan hijau (create an inclusive and green economy) dalam konteks luas pembangunan internasional dan pelaksanaannya.

Pengadaan juga dapat digunakan untuk mempromosikan produk, infrastruktur, layanan yang ramah lingkungan atau dirancang secara universal untuk semua kelompok yang terpinggirkan termasuk penyandang disabilitas, perempuan dan masyarakat adat.

Dalam kancah kerja sama internasional, bantuan yang dikenal dengan official development assistance sering dibelanjakan melalui sistem pengadaan publik.

Donor termasuk dana bantuan oleh donor pemerintah internasional menawarkan kontrak kepada perusahaan konsultan besar dan perusahaan pembangunan untuk memenuhi tujuan pembangunan.

Namun pada kenyataannya, pendekatan berbasis hak asasi manusia masih belum diterapkan sebagai prinsip dasar dalam pengadaan publik dan kerja sama internasional.

Hal ini juga menunjukkan bahwa hak asasi penyandang disabilitas belum ditangani secara memadai oleh G20.

Deklarasi Pemimpin G20 2019 hanya menyebutkan disabilitas di bagian ketenagakerjaan.

Deklarasi Pemimpin G20 2020 dan 2021 belum atau sama sekali tidak membahas masalah disabilitas.

Sebagai forum internasional dari 20 ekonomi utama yang berkontribusi 80 persen terhadap PDB dunia dan 79 persen terhadap perdagangan global serta menampung 65 persen dari populasi dunia, G20 harus dan selayaknya mengadopsi hak-hak disabilitas dan interseksionalitasnya dengan gender ke dalam komitmen dan kebijakan untuk diselaraskan dengan prinsip-prinsip UN CRPD.

Khusus Risnawati Utami akses pelayanan publik untuk penyandang disabilitas yang ideal dan patut ditiru ada di Jerman dan Australia.

“G20 harus membuat komitmen untuk melacak pengeluaran untuk mempromosikan inklusi dalam kerja sama pembangunan nasional dan internasional. Dampak jangka panjang dari komitmen ini tidak hanya akan meningkatkan praktik yang baik dalam mengimplementasikan hak-hak penyandang disabilitas dan kesetaraan gender, tetapi juga berpotensi meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) negara-negara anggota G20 sekitar 1 hingga 7 persen. Penting untuk memperhitungkan bahwa tidak hanya keuntungan ekonomi langsung dari peningkatan lapangan kerja, pendapatan dan produktivitas tenaga kerja, tetapi juga lebih banyak manfaat tidak langsung yang dihasilkan oleh peningkatan pendapatan pajak dan pengurangan pengeluaran untuk program bantuan sosial,” ungkap sosok menderita kelumpuhan sejak usia 4 tahun itu. (bp)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!