Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

PUISI-PUISI SAPTO WARDOYO

Ilustrasi: Wayan Jengki Sunarta

 

SAJAK-SAJAK DI KOTA BANDUNG

i/
Berkemas Pergi

telah kita sepakati
di Bandung, kita akan membeli
sebuah mimpi
walau sederhana
lalu belajar mengeja bahagia

terkadang dalam hidup ini
yang pasti itu justru mimpi
sedangkan bahagia hanya ilusi
atau serupa bayangan
yang selalu menghilang
ketika matahari mulai padam

sebelum pagi menyalakan
cahaya, kau sudah terjaga
lalu mulai berkemas
menyalakan tungku, menanak harapan
hingga matang menjadi kenyataan

sebelum beranjak pergi
kita sepakat sekali lagi
melepas segala cemas
dan meninggalkannya sendiri
di balik pintu-pintu yang rapat terkunci

ii/
Di Perjalanan

Di jalan lurus itu
ada yang menyala dari kedua mataku
ketika ngebut mengerlingkan maut
maka ada yang harus dikendalikan
tak perlu bergegas, katamu
serupa mata rambu-rambu yang nyalang
mengawasi setiap gerak dan kecepatan

Di jalan lurus itu
kau diam membaca cuaca
pada matahari yang meredup dan awan
yang menyembunyikan bayangan
sebentar lagi akan turun hujan, katamu
lalu pada deru kendaraan
kau menerka-nerka, tentang sebuah tiba

Di jalan lurus itu
kita menjelma serupa kisah purba
atau kupu-kupu yang terbang
meninggalkan kepompong dan rasa bosan
sejenak melupakan waktu
yang makin fasih menghitung usiaku
dan juga usiamu

iii
Di Rest Area

aku masih membaca jejak itu
sebuah perjalanan yang kita tempuh
dalam gegas dan cemas
dan kita sejenak singgah
ketika gerimis menjelma serupa jemari waktu
yang mengetuk-ngetuk kaca jendela

aku masih membaca gejolak itu
kala gerimis menjelma derasnya hujan
ada yang ingin kau nyalakan lewat tatapan
untuk saling berbagi kehangatan
hingga akhirnya kita terlena dan lupa
detak hujan masih mengetuk-ngetuk kaca jendela

iv
Di Hotel

di sini tak ada tungku yang menyala
dan kehidupan menjadi serupa taman
bunga-bunga bermekaran
kupu-kupu riang beterbangan
dan orang-orang yang datang
hampir tanpa kecemasan

kita memang datang untuk bermimpi
sejenak melupakan hari-hari yang sangsi
tersengal dibekap oleh kenyataan
tidur dan teruslah bermimpi
tak kan ada yang memanggilmu sepagi ini
dan bila nanti matahari sudah meninggi
biarkan aku menyeduh kopiku sendiri

v
Di Jalan Pasir Kaliki

Di jalan Pasir Kaliki
Daun-daun bergoyang
Disapa musim
Lalu berguguran
Menuju hening

Aku melihat wajahmu
Rimbun oleh mimpi
Walau matahari meredup
Dan langit tertutup awan
Namun kau tak mencemaskan
hujan
Yang terkadang begitu bergegas
Menjadi luapan

Aku ingin menjadi awan, katamu
Berarak merawat keteduhan
Sebelum luruh menjadi hujan
Menjadi humus dan kesuburan
Bagi akar-akar pepohonan

Di bawah sebatang pohon tua
Ada perempuan tua tersenyum
Bajunya lusuh di koyak nasib
Diam-diam kau meraba kekosongan
Yang lama tersimpan di dadamu
Karena kegembiraan demi kegembiraan
Kita biarkan pergi mengembara

Di sebuah sudut jalan Pasir Kaliki
Ruang demi ruang tak lagi sunyi
Katamu, pandemi telah pergi
Tapi nasib masih belum berhenti
Bermain dengan teka-teki

Tukang ojek dan sopir taksi
Masih diam memeluk sepi
Menunggu seseorang datang
Dengan senyum dan peta di tangan

Di jalan pasir Kaliki
Di depan sebuah kedai kopi
Ada yang kembali kita sepakati
Untuk selalu merawat hari tua
Dengan sederhana
Serupa puisi merawat kata-kata

Seperti seorang perempuan tua
Yang setia merawat senyumnya
Tanpa peduli pada nasib
Yang tak pernah jeda
Memainkan sandiwara.

vi
Berkemas Pulang

Setelah mengenakan sepatu
engkau memandangku
cukup sudah kita bermimpi, katamu
menjadi seorang serdadu
yang sejenak menikmati waktu
sebelum kembali pada desing peluru

Lalu kau melipat baju-baju
serupa waktu melipat masa lalu

Mari kembali menuju kenyataan
kepahitan dan juga kecemasan
sebab kehidupan memang bukan
untuk dirayakan. Tapi dipertahankan
sebelum kita siap menyongsong kematian

dan kita pun beranjak pergi
sebelum segala kegembiraan
beranjak menuju kenangan
sebelum gelap dan sunyi
kembali mengurung mimpi-mimpi
di balik pintu yang rapat terkunci.

Bandung, 12-15/05/2022

 

MUDIK

Apa yang kau kemas dalam sebuah
kardus bekas mi instan?
mungkin sebuah debar
rasa rindu dan juga kenangan

Sementara kenyataan kau sembunyikan
di sebuah lubuk terdalam
kau timbun dengan senyuman
dan kata-kata bahwa semuanya
baik-baik saja

Hidup jangan kalah oleh nasib
katamu, atau sebuah rasa sakit
selain oleh waktu
di tubuhmu ia mengasah maut
hingga meruncing serupa taring

Dan ia tak henti mengerling
serupa mata perempuan malam
menyilaukan laki-laki
yang berjalan sempoyongan

Sudah dinyalakan sebuah jalan
menuju pulang dan tanda bahaya
juga sudah dipadamkan
sebelum memudar ingatan
pada peluk dan jabat tangan

Apa yang kau kemas dalam sebuah
kardus bekas mi instan?
mungkin sebuah keraguan
antara kebutuhan atau keinginan
ketika tiba-tiba kau memutuskan
untuk berangkat pulang.

Bekasi, April 2022

 

KATA-KATA

seseorang mengolah kata-kata
menjadi suara, lalu
meletup serupa api
menyalakan matahari
membakar segala amarah
menjadi bara yang membara

seseorang mengalirkan kata-kata
bening serupa telaga
matahari di atas sampan
dikayuh menuju terbenam
menjemput senja yang padam
dan doa-doa dinyalakan

seseorang menyimpan kata-kata
menjadi sunyi di tubuh waktu
serupa rahasia
kebenaran disembunyikan
segala dusta disimpan
sampai orang-orang diam
dan melupakan

Bekasi, Maret 2022

 

DI PEMAKAMAN
/8/

kelak aku akan di sini
sendiri merawat sunyi
sesekali mungkin kau
akan datang, membersihkan
rumput-rumput liar
daun-daun yang berguguran
lalu menaburkan kembang

jangan lagi kau bawa
sedu sedan itu, cukup
kenanglah tentang waktu
di mana aku pernah
memelukmu
ketika kesedihan itu
bertalu-talu
memanggili namamu

kelak aku akan di sini
meninggalkan kenyataan
juga kekalahan
mungkin sesekali kau
masih juga datang
menaburkan kefanaan
sampai engkau paham
bahwa kehidupan
tak kan pernah mampu
bersembunyi dari waktu
dan kematian!

Bekasi, 24/02/2022

 

RUMAH SAKIT

sebuah kehadiran dirayakan
dengan bahagia atau dengan
mata yang berkaca-kaca
selamat datang ke dunia
mari bersama-sama meneteskan
air mata, menghirup duka
sebab terkadang bahagia
lebih mencintai cakrawala

wajah-wajah yang muram
membawa selembar catatan
melangkah gamang
dari ruang ke ruang
nafasnya sesak menghirup
harga-harga yang mahal
sementara di tubuh kerabatnya
hidup dan maut
saling berkejaran

dengan isak tertahan
sebuah duka dikabarkan
seseorang telah berpulang
meninggalkan kenang atau hutang
mata-mata sembab bilang
selamat jalan
menuju negeri milik sunyi
air mata pun jatuh di gigil lantai

di sini
kehadiran dan kepulangan
sama-sama dirayakan
dengan doa dan juga air mata
dan di selembar catatan
waktu dan kesempatan
terus diperjualbelikan.

Bekasi, September 2021

 

=============================

Biodata

Sapto Wardoyo, kelahiran Madiun yang kini tinggal di Bekasi. Gemar menulis, terutama puisi. Sampai saat ini karya-karya tayang di Swara Kaltim, BMR Fox, Harian Bhirawa, Koran Rakyat Sumbar, Koran Pos Bali, Harian Nusa Bali, Sastramedia, Majalah Elipsis, Majalah Semesta Seni. Beberapa puisinya juga termuat dalam antologi bersama. Di antaranya, Antologi 105 Penyair Indonesia, Lampion Merah Dadu, Minyak Goreng Memanggil dan juga Puisi Kehidupan.

Wayan Jengki Sunarta, lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Ia menamatkan kuliah Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Bali. Kemudian ia kuliah Seni Lukis di ISI Denpasar (tidak tamat). Selain dikenal sebagai sastrawan, belakangan ia gemar melukis yang merupakan hobinya sejak kanak-kanak. Pameran seni rupa yang pernah diikutinya, antara lain Pameran Bersama SahabART di Rumah Seni Paros, Sukawati, Gianyar, Bali (2020), pameran Silang Sengkarut di Dalam Rumah Art Station, Denpasar (2022). Tahun 2020, tiga karyanya masuk Semi Final Lomba Lukis “Titian Art Prize”, Yayasan Titian, Bali. IG: @jengki_sunarta.

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!