Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

CerpenSastra

Fragmen di Tepi Pantai

Oleh: Pelita Hari

Ilustrasi: Renta Ivonne Dewi Arimbi Situmorang

 

MALAM itu aku menemukan diriku terdampar di hamparan putih sebuah selat sempit. Dua puluh langkah dari arahku, seorang pria sedang menambatkan perahu. Di balik topi anyamannya, sesekali ia memandang langit gelap. Aku memandang gelombang di atas Purnama, percik-percik ombak tumpah ke tubuhku.

Pulau di sebrang itu tampak dekat tampak jauh. Deru ombak itu bagai gumam dari kekaraman derita. Mengaur seperti suara kepiluan.

Seolah ada energi terpendam menarik wadag alit ini guna memberangkatkan seluruh kedirianku ke suatu tempat jauh dan asing. Ada sebuah pura yang begitu besar melayang di atas langit. Pura apa namanya, aku belum tahu.

Seorang pria bertubuh tinggi berdiri di luar gerbang pura. Siketnya membuat orang itu terlihat kharismatik. Semula ia tidak memerhatikan kedatanganku. Langit malam ini dipenuhi kehangatan purnama, ketika dekat, aku menyapanya.

“Selamat malam. Maaf Bapak, bolehkah aku masuk ke sana?” jempolku menunjuk ke arah pura.

Ia menatap. Menganggukkan kepala. Maaf Mbak, malam begini mau ke dalam? Bersama siapa?”

“Sendiri.” Kubenahi selendang putih yang mengikat di pinggang.

“Saya pecalang di sini. Boleh saya tahu nama Mbak?”

“Namaku Rara Santang.”

“Waduh! namanya bagus, kayak putri raja.”

“Aku datang ke mari untuk menjumpai seseorang.”

“Suami? Atau pacar?” Ia mulai penasaran
“Belum dapat kukatakan sebagai siapa. Namun ia hadir di rumah hatiku bagai utusan. Membawa sabda masa silam yang pernah kurasakan berabad lamanya.”

“Astaga! Mbak nggak salah bicara? Mbak asalnya dari mana?”

“Ia penyampai seruling rindu.”

Aku berbalik meninggalkannya, kembali menuju sebuah pintu labirin , seputih halimun. Aku Rara Santang. Waktuku telah habis melayani pertanyaan pria paruh baya ini. Kubiarkan ketika ia tak mampu mengatupkan bibirnya saat tubuhku menghilang.

Pada kesempatan ke dua esok malamnya, aku memohon kepada pecalang itu lagi. Aku harap ia tidak menanyai lagi siapa aku.

“Bapak, boleh aku masuk ke sana? Lelakiku sedang sembahyang di dalam. Aku jauh-jauh ingin menemuinya. Letih menunggunya.”

Dipandanginya perempuan itu mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ia terbiasa dengan kedatangan orang-orang dari mana saja dengan penampilan seaneh mungkin selama hampir 24 jam. Wisatawan lokal dan mancanegara berbaur dengan warga asli, sebagian bermaksud sembahyang di dalam pura atau sekadar berjalan di sepanjang pantai. Akan tetapi, kehadiran perempuan ini begitu aneh dalam balutan gaun dan selendang putihnya. Kaki perempuan ini masih menapak ke tanah. Sosoknya terlampau mungil untuk ukuran perempuan di tanah Dewata. Seonggok gulungan rambut bersembunyi di balik balutan kain putih di kepalanya. Matanya agak sipit, namun menyimpan lautan kata. Kilatannya seperti ombak yang hendak memuntahkan tenaga taksu. Pikir laki-laki itu begitu.

**

Juli 2021.10.00 WITA. Bandara Ngurah Rai

Hari beranjak siang, tak ada lagi dinding karang dingin. Semburat matahari menyerap seluruh lekukan bebatuan karang. Pantai Sanur yang indah dan angin yang membelai. Janji-janji yang indah. Waktu seakan berlomba menghimpun kesaksian rahasia yang tak memiliki rongga.

Angin terseok menghampiri tepi jendela kamar. Sejengkal! cukup sejengkal bayangmu di sini, Paduka. Tuhan, jangan Kau kirim rindu tentangnya bila akhirnya akan sulit kutafsir.

‘Tanganku ingin membebaskan siksa, memelukmu lama.

Ingin kuciumi tanganmu yang kokoh bagai jembatan terbaik Peladung
yang menghubungkan sunyinya pertemuan, menyusuri keluasan dadamu
yang serupa hamparan segara.’
Segala bentuk ketertinggalan dalam hidupku membuatku luka. Tercampakkan dari tangga kebahagiaan. Aku tak tahan lagi terisolasi dari kehidupan yang kujalani sepanjang tahun pandemi. Kesabaran sebagai manusia yang tengah belajar menghadapi persoalan rumit, menuntut reward perjalanan, sekadar rekreasi sekaligus kontemplasi.

Maka dengan segenap hati, di tahun ini aku mengumpulkan sebuntal keberanian. Bali menjadi tempat wisata tujuanku.
Apakah karena Bali atau ada seseorang yang diam-diam menarikku ke sana.

**

Tok! Tok! Tok!

“Siapa?” Aku dikagetkan oleh ketukan itu.
“Aku, Ra..” sahut suara.

Bagai disambar petir di siang bolong, aku mendengar suara bariton itu lagi dari masa laluku di Bandung. Aku meyakinkan diri, menafikan diri dari kemungkinan buruk yang akan terjadi.

“Sebentar.”

Aku benahi daster yang sedikit terbuka, selendang kusampirkan di dada.

“Hai!”

“Kamu?!”

“Dari mana kamu tahu aku di sini?”

Laki-laki itu berdiri tegap menatapku, ia tiba-tiba menyeruak ke kamar hotelku dengan kasar. Matanya nanar dan nafasnya tersengal. Aku masih ingat jaket kulit hitam itu, juga wewangian lelaki purba yang pernah melindungiku dari gigil hujan.

Akan tetapi, dia kini lain. Aku dicekam waswas yang dalam. Wajahnya tak sebersih dulu. Tubuh besar dan gondrongnya, hanya itu yang masih sama. Sorot mata tajam menghunusku dengan cecaran pertanyaan. Kami berbantahan.

Dia masa lalu yang kadang temperamental sekaligus menghanguskan. Tidak! Aku tak mau lagi terjerumus pada lengkung alisnya yang lebat dan hitam. Betapapun musik dan lagunya mumpuni membungkam sepi.
Semelodi apapun sentuhannya, dia sudah terlempar dari lingkaran hatiku, ia sudah amat mengecewakan. Aduh! Aku lupa mematikan GPS, ia menguntit setiap gerakku di mana saja.

“Aku tak akan pernah melepaskanmu, Rara!”

“Beraninya kamu bicara seperti itu. Mana cewek kamu, hah?”

“Aku tidak bersamanya lagi.”

“Aku tak peduli! Kumohon ke luar dari sini. Aku tidak mau kita bicara apa-apa lagi.”

Aku mendorongnya sekuat tenaga agar lelaki ini menyingkir.

“Ha ha ha!”

Dengan mudahnya ia menyeretku ke dalam. Aku melihat sandal hotel, diam-diam kugeser dengan kaki kiriku untuk menjegal pintu agar sedikit terbuka. Tanganku meronta. Tolong!
“Hentikan!” Sebuah suara di pintu terdengar kuat.

Pada detik yang akan menjadi sejarah kelam, seseorang yang kurindukan datang. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku diselamatkan oleh Paduka.

**

Ombak yang tenang ketika itu mengamuk. Tanpa ampun ombak tinggi menjangkau lalu menggulung dua orang itu.

Pertarungan dua lelaki gagah begitu sengit, seolah tak gentar pada karma dewa yang tengah menghidu kedamaian.
Bagai dua laut yang terpisah dan menyatu dalam gelombang amarah, mereka saling terjang. Di sini, dadaku menggemuruhkan badai. Tangisanku bagai pekikan burung Camar yang melintasi rupa-rupa angkara.

Dursana perlaya di tangan Paduka atas kehendakNya. Di tangan mayat itu, tergenggam sebuah liontin berkilauan yang berbingkai emas muda. Sebelum matanya tertutup selamanya, ia mengerang. Lubang kematian masih memberinya setitik cahaya kekuatan sekadar untuk mengantarkan ucapan selamat tinggal. “Paduka, titip kalung..ini, titip untuk..nya.”

Kulihat dari tepi pantai, Paduka memeluk jasad lelaki masa lalu. Aku limbung, dan tak ingat apa-apa.

**

Angin pantai akan melepaskan perahu dari tali tambatnya, setelah ia tahu ada penumpang yang ingin mengarungi lautnya.

Paduka mengusap rambut seraya mencium dahi dan pucuk hidungku. Ia memelukku erat, aku pun memeluknya. Gemuruh berganti sunyi. Ada sesuatu yang hangat mengaliri keningku. Ia menangis. Ia menangis sambil mendekapku. Kehangatan menjalar di sekujur tubuh, namun aku terus bertanya dalam hati, apa arti tangis itu.
Perlahan ia menggumamkan kalimat yang asing, tetapi aku mencoba meraba makna yang diucapkannya dengan lirih. Aku menatap matanya, tubuhku tenggelam di dadanya yang bidang. Tiga kali ia mengucapkan ‘Dumogi Amor Ring Acintya’ sambil matanya terpejam. Lelakiku, Padukaku.

Pintu labirinku bercahaya. Tanganku meraba ruangan, merasakan aroma lembab, pengap dan dingin sebuah lorong. “Mengapa aku baru sekarang dapat menemuimu di saat justru kau ditakdirkan bersama wanita lain?” di lorong itu aku tersedu.

“Rara, semua telah diaturNya sampai kau siap memahami mengapa Tuhan menjaraki sedemikian lamanya.”

Ribuan tahun yang lalu, ada dua keluarga tak merestui hubungan kami. Keyakinan sebagai ‘pemeluk teguh’ adalah batas yang paling musykil diterjang. Paduka akan diasingkan dari tahta tinggi oleh karma yang dititipkan pada niskala. Aku tentu saja akan mati digantung di mimbar kekuasaan agama.

Kami lama terdiam.

“Kekuatan cintamu membuat kita berhasil melampaui dimensi. Tapi ingat, kesayanganku, tidak ada yang mutlak di kehidupan ini. Sekuat apapun.” Suaranya sayup dan lembut.

Tangisku semakin deras. Tiba-tiba derak kereta kuda kencana menghampiri kami. Paduka tersenyum ke arahku, seraya membantuku menaiki kereta indah itu. Aku terharu menyunggingkan seulas senyum untuknya. Tanganku selalu ingin berada dalam genggamannya. “Paduka, kita akan ke mana?”

“Kita lintasi laut, kuajak kau melihat pulau Dewata, lalu menuju tingkap senja.”

**

15.30 Wita. Di sebuah kafe di Sanur, seseorang yang kurindu telah duduk di sampingku. Ia memandu perjalanan baru, mengenalkan rupa-rupa adat istiadat leluhurnya dengan semangat. Dia menceritakan bagaimana eksotiknya laut yang menjadi kebanggaan parawisata.

“Teteh mau tahu Pura Besakih, atau pura di Bali Festival misalnya?” dia mengerling membuatku tak sanggup menahan tatapan jenakanya.

“Kintamani, Melasti?” aku mengejarnya.
“Siap, Teteh jegeg!”

Kami tertawa. Paduka mulai mencandaiku dalam bahasa Bali. Namanya bukan Paduka, tapi aku lebih suka memanggilnya Paduka. Entah mengapa ingatanku melekat bagai pernah bersua dalam lorong hologram dengan sosoknya. Ketampanannya bagai anugrah Tuhan yang mewakili pesona alam, ototnya menyembul bagai tebing gagah melingkungi sebagian pantai ini.
Aku satu dari sekian ribu manusia yang berdiri di tepi pantai, yang melepaskan pandangan saat sunset petang. Syukurku atas musibah yang telah kami lewati. Atas kehendak Sang Hyang Widhi, aku melihat orang-orang berduyun ke Bali dalam euforia optimis. Pulau surga ini semoga tidak tergiur bersolek dalam industri yang melenakan.

Untuk semua hal yang masih menjadi semesta rahasiaNya, aku hanya ingin melarungkan kebahagiaan ini bersama Paduka. Aku cukup mengantongi identitas Paduka. Besok, sesuai janjinya, aku akan diantarkan ke tempat aku pernah memimpikan melihat tarian kecak, patung buta kala, segara, liontin, dan pantai di mana mantan kekasihku perlaya***

 

(Cerpen ini dibuat khusus menyambut kebangkitan perekonomian dan parawisata di Bali, pasca PPKM level – 4, 2021)

 

===============

Biodata

 

Pelita Hari adalah nama pena Dian Rachma. Pelita Hari lahir dan berdomisili di Bandung. Menyukai kepenulisan, saat ini terlibat dalam beberapa antologi cerpen dan cernak pada komunitas sastra seperti KPPI, AWWA, dll. Puisinya pernah dimuat di media cetak dan online ( Pikiran Rakyat, Umakaladana.news.com). IG. Pelita_Hari

Renta Ivonne Dewi Arimbi Situmorang lahir di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, 21 September 1980. Dia lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata, Bandung. Dia menggemari lukisan dan puisi-puisi yang bertema kesendirian. Kemudian, sejak awal 2019, dia belajar melukis secara otodidak menggunakan media kertas, batu, kayu, dan kanvas. Akun FB: Jeung Ipon. IG: @ivonnearimbi.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!