Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

ADAT DAN BUDAYA

Tradisi Penolak Bala Ala Bali Masuk Rangkaian Acara G20

MENDUNIA: Tradisi Mekotek menjadi salah satu ritual dalam rangkaian Ruwat Nusantara G20 Culture Ministers Meeting yang dilaksanakan di Borobudur, Magelang.

 

MAGELANG.Balipolitika.com– Tradisi Mekotek menjadi salah satu ritual dalam rangkaian Kegiatan Ruwat Nusantara G20 Culture Ministers Meeting yang dilaksanakan di Borobudur, Magelang. Kegiatan itu digelar pada Minggu, 19 Juni 2022.

Ruwatan Bumi sendiri dilaksanakan pada pertemuan tingkat Menteri Kebudayaan Negara G20.

Narasi yang coba dibangun dalam kegiatan upacara Ruwatan Bumi ini, menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid adalah untuk memperlihatkan bahwa upacara adat bisa dipakai sebagai kontrol sosial, interaksi dan komunikasi antar warga masyarakat.

Bahkan warga dunia yang pada akhirnya dapat mempererat hubungan masyarakat bahkan hubungan antar negara.

“Dan terpenting sesuai dengan tema G20 ‘Recover Together, Recover Stronger’ tradisi mekotek turut mendoakan agar bumi dan masyarakatnya kembali bersih dan pulih. Tradisi ini juga menjadi sebuah aksi nyata dimana kita perlihatkan semangat gotong royong yang ditonjolkan dalam rangkaian ruwatan bumi ini,” tutur Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Sjamsul Hadi, Minggu, 19 Juni 2022.

Rangkaian ruwatan dilaksanakan di berbagai daerah. Seperti di Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.

Mekotek dilaksanakan secara rutin setiap Hari Raya Kuningan dan dipercaya sebagai simbol kemenangan juga upaya untuk menolak bala.

“Kepercayaan ini muncul karena saat tradisi mekotek ditiadakan karena dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda, terjadi wabah penyakit dan banyak yang meninggal dunia. Akhirnya kembali diizinkan tapi yang awalnya menggunakan tombak harus diganti dengan kayu,” jelas Jero Bendesa Adat Munggu Rai Sujana.

Kayu pulet yang sudah dikupas kulitnya digunakan sebagai pengganti tombak. Kayu dengan panjang 2 hingga 3,5 meter ini dibawa oleh tiap peserta untuk kemudian diadu satu sama lain sehingga menimbulkan bunyi “tek tek”. Prosesi ini dimulai dengan persembahyangan di Pura Dalem Munggu dan pawai menuju titik akhir di sumber air Desa Munggu.

“Di setiap pertigaan dan perempatan jalan, tongkat kayu diadu di udara membentuk piramida atau kerucut lalu peserta berputar dan berjingkrak dengan iringan gamelan. Sampai di sumber air, semua perangkat upacara yang dibawa dari Pura Dalem diberi tirta suci untuk dibersihkan,” pungkasnya. (lit/bp)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!