Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Hukum & Kriminal

Colek Pamor dan Keluar dari Bali, Sukahet Terancam Pasal Pidana 160 KUHP

TERANCAM PENJARA: I Dewa Gede Ngurah Swastha alias Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet (paling kanan) saat penyerahan CSR mobil dari Bank BCA beberapa waktu lalu.

 

DENPASAR, Balipolitika.com- Pernyataan I Dewa Gede Ngurah Swastha alias Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, 5 Juni 2022 di Pura Ulun Danu Batur serangkaian Paruman Pembentukan Formatur Sabha Pemangku se-Bali terus mendapat tanggapan berbagai pihak.

Panitia Paruman ini adalah bentukan PHDI MLB (Parisada Hindu Dhrarma Indonesia Mahasabha Luar Biasa) yang sedang menggugat di PN Jakarta Barat di mana I Dewa Gede Ngurah Swastha adalah Dharma Kertha PHDI MLB tersebut. Pemangku Pura Agung Besakih, Jro Mangku Jana, dan Bendesa Adat Besakih, Mangku Widhiarta, membantah dan tidak berkenan dilibatkan sebagai Formatur Sabha Pemangku, agar bisa fokus melayani umat Hindu.

Selain protes tokoh dan organisasi Hindu terhadap narasi I Dewa Gede Ngurah Swastha, kini Lembaga Bantuan Hukum Paiketan Krama Bali sangat menyayangkan narasi yang diucapkan I Dewa Gede Ngurah Swastha di area suci Pura Ulun Danu Batur yang dihadiri oleh sulinggih, pemangku, pemedek, dan prajuru.

‘’Kata-kata Beliau, bukan hanya kurang layak diucapkan di lingkungan kahyangan yang disucikan, ini juga bisa menjadi masalah hukum yang bisa berpotensi menjadi tindak pidana dalam KUHP, Putusan MK telah mengubah delik penghasutan dari delik formil menjadi delik materiil, sehingga apabila dengan hasutan ini timbul suatu peristiwa hukum dan terpenuhinya unsur unsur Pasal 160 KUHP, maka penghasutan tersebut dapat dilaporkan ke penegak hukum dan bisa diproses berdasarkan Pasal 160 KUHP,’’ kata Ketua dan sekretaris LBH Paiketan Krama Bali, I Wayan Gede Mardika, S.H., M.H. dan Ketut Dody Arta Kariawan, S.H., M.H.

Adapun ucapan Ida Sukahet yang videonya viral sebagai berikut. ‘’Saya setuju, dengan dana demarkasi ini, kita identifikasi, mana orang-orang yang penganut sampradaya asing, mana yang ajeg Hindu dresta Bali, harus colek pamorin, begitu dia atau mereka ke pura, tanya, apakah akan kembali ke dresta Bali, ataukah tetap sampradaya asing, karena kalau mereka kembali; inggih tityang matur sisip, ngaturang Guru Piduka, Upasaksi. Karena tujuan kita, bukan membenci, tapi menyadarkan dan membina, tapi kalau tidak bisa disadarkan dan dibina, keluar dari Bali…”.

Mardika mengatakan esensi dari perbuatan menghasut adalah usaha untuk menggerakkan orang lain supaya melakukan perbuatan tertentu yang dikehendaki oleh penghasut. Isi dari hasutannya adalah tindakan untuk ‘mengidentifikasi, memberi colek pamor, meminta keluar Bali,….bagi pemedek yang tidak bisa disadarkan dan tidak bisa dibina.

Imbuh Mardika, karena yang mengucapkan adalah I Dewa Gede Ngurah Swastha dan yang bersangkutan tidak punya wewenang untuk meminta ‘’colek pamor, identifikasi, meminta keluar Bali’’, maka itu merupakan tindakan yang melanggar hukum, melanggar hak asasi manusia.

Mardika menambahkan, bahwa Pasal 160 KUHP baru bisa digunakan jika ada perbuatan menghasut. Dalam konteks ini yang sudah jelas menghasut adalah narasi I Dewa Gede Ngurah Swastha agar orang mengidentifikasi, memberi colek pamor, meminta keluar Bali bagi yang tidak bisa disadarkan dan dibina.

Pasal 160 KUHP juga bisa digunakan jika dilakukan dengan sengaja. Dalam konteks ini ucapan Ida Sukahet tanggal 5 Juni 2022 di Pura Ulun Danu Batur jelas disengaja karena acaranya dipersiapkan dengan serius, ada surat undangan dari panitia, ada lambang yang mirip lambang PHDI dalam kop surat. Selanjutnya ada rekaman videonya yang diedarkan kepada publik.

Pasal 160 KUHP baru bisa digunakan jika dilakukan di depan umum. Hal ini juga terpenuhi karena I Dewa Gede Ngurah Swastha mengucapkan narasi-narasi itu di hadapan umum, sejumlan sulinggih, pemangku, prajuru, dan pemedek.

Pasal 160 KUHP baru bisa digunakan jika orang yang dihasut melakukan perbuatan yang melawan hukum. Ini memang masih perlu diinventarisasi dan dilihat ke depan, dalam tindakan orang-orang yang memberi ‘’colek pamor, identifikasi, meminta meninggalkan Bali, mereka yang tidak bisa dibina dan disadarkan.

Ditegaskannya LBH Paiketan menegaskan Indonesia adalah negara hukum sesuai dengan amat dari Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya Pasal 1 ayat (3), proses hukum adalah sesuatu yang sah di negara hukum. Ia menilai jauh lebih baik bila polemik ini disudahi dengan pengakuan yang legawa, meluruskan narasi I Dewa Gede Ngurah Swastha yang kurang pas itu, dan kembali menjalankan SKB PHDI-MDA tentang pembatasan pengembanan ajaran sampradaya asing non-dresta Bali, melaksanakan rekomendasi Komnas HAM 27 Agustus 2021, dan keputusan-keputusan lain dari PHDI Bali maupun PHDI Pusat, terkait polemik sampradaya Hare Krishna/ISKCON.

‘’Upaya hukum hendaknya benar-benar merupakan upaya terakhir sesuai asas ultimum remedium dalam penegakan hukum,’’ ujar Mardika dan Dody. (bp)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!