Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

PUISI-PUISI ADRI SANDRA

Ilustrasi: Wayan Jengki Sunarta

 

PERTEMUAN DUA SUNGAI

anak-anak sungai yang bertemu di Langgam
menjadi Kampar
kembali berhulu di Selat Malaka
ketika suara angin dan burung-burung warna warni
bergaung di atas batu-batu dan akar pohonan
awan-awan yang jauh saling mendekat
dan cahaya matahari berbaring di pasir
memenggal riak dan pesisir

di hulu lain, sungai dan perahu-perahu
bermuatan kerikil
turun dari Bukit Barisan
seperti seekor ular besar
menyimpan buih di balik sisiknya
menjalar di musim hujan dan panas
kampung-kampung di pinggiran
jalan-jalan penuh rumput dan belukar
debur waktu di kesunyian
turun melandai dalam kabut pagi dan malam
matahari mau pun bulan
tertambat pada muara
yang semula adalah lembah, ngarai curam
yang bercermin di mata ratusan burung terbang
ratusan burung hinggap, pergi dan pulang
ke setiap sarang

sungai yang membelah dua negeri berseberangan
pohon-pohon hijau dan buih memutih
kesunyian bersetubuh dengan pasir
daun-daun berguguran pada musimnya
hanyut mengapung ke hilir mengikuti arus
dua sungai sama besar, Kampar Kanan dan Kampar Kiri
kawin jadi danau
seperti keinginan pemuja lampu dan cahaya
merendam negeri sendiri beserta isinya

aku melihat air meriak, menghempas ke tepian
ke leher-leher bukit yang diam
burung-burung yang dulu bersarang di rimbun pohon
berbaris di udara keruh
dua sungai jadi satu danau, mengubur sejarah
rumah-rumah ibadah
rumah-rumah tempat tinggal
dan makam-makam nenek moyang
cahaya tak mampu menyinari luas malam
dan kerlip lentera perahu nelayan di atas permukaan danau
menempel di mata-mata ikan
mereka berlayar di atas kedalaman jiwanya yang tenggelam
air yang mengubur kehidupan
tanpa nisan kematian

waktu selalu mencatatnya; bertahun-tahun
bertahun-tahun ke depannya
“ di sana kampung kami, makam ibu bapak
tanah yang menggigil dingin, gelap dan legam
tak tembus pandangan mata kami!”

suara itu, seperti tangisan di kiri kananku
dan dua sungai selalu mengalir, arusnya lirih
di atas timbunan sejarah
burung-burung warna warni melintas
air mata mereka jatuh ke danau itu

(Koto Panjang, 2022 )

 

NEGERI SEBUAH HUTAN

beginilah akhirnya, nasib sebuah negeri
angin menerbangkan manis pohon tebu
melekat di bibir-bibir singa

barisan lembu memakan sepah
dan daun-daunnya
di antara kusut bulu-bulu domba

di bujur luas pebukitan
bentangan beberapa pulau, pohon-pohon sawit
buahnya bergelantungann penuh air mata

benih apa lagikah yang akan tumbuh
hujan semakin menjauh
lirih arus sungai membentur batu-batu

pohon-pohon kering
perlahan waktu beringsut
bersandar ke dinding kabut

dan bayang-bayang yang sama
mencari cahaya
pada ruas jalan yang berbeda

beginilah akhirnya, nasib sebuah hutan
negeri yang gelap
tak ada lampu

(Tanjungpati, 2022 )

 

HUJAN DI BATU MANDAH

ini sore, hujan turun di Batu Mandah
kita memandang dari jauh
angin membawa bau senja
melekat di daun-daun

hanya bias cahaya lampu
saat senja datang, berbinar dalam hujan
yang jatuh dari tempat kita berdiri

“ya, kita terkurung, dalam dingin yang lali!”

sore dan senja dibawa hujan
ke dalam malam
tanpa cahaya bulan

Batu Mandah hilang dari pandangan
dan kita merindukan setangkai payung
sebatang lilin, penerang jalan

(Dangung-Dangung, 2022)

 

ORANG-ORANG PELADANG

mereka menanam padi, cabe dan sayuran
pada subur tanah kaki pegunungan
di bawah panas matahari dan guyur hujan

mereka menanam dirinya pada tumbuhan
diselimuti buah dan daun-daunan
dipupuk dengan segala harapan

mereka panen
di bawah rintik gerimis

mereka dipanen
dipangkas daging sampai ke tulang

mereka melihat awan di gunung
tersapu angin segala jurusan
keringat mereka meleleh di bebatuan

mereka kembali menanam
kembali ditanam

(Taeh, 2022)

 

DI BALIK KEPAK BURUNG YANG LELAP

dingin malam dan hujan
mimpiku berteduh
di balik kepak burung yang lelap

dan aku membayangkan sebuah sungai
mengalir gemetar
dalam gelap, seperti akar yang merambat

kuhirup udara dan waktu yang menguap
hujan di luar semakin lebat
meluap dalam jejak-jejakku

di balik kepak burung yang lelap
mimpiku berkeruh
dalam dingin kutunggu ia di pulau yang jauh
seperti api menanti asap

hujan masih turun, sebuah sungai
mengalir gemetar
membasahi hijau daun
dalam hitam malam

dan aku, masih di sini
menunggu mimpi itu bangun
membuka kelopak mata burung itu

(Payakumbuh, 2022)

 

DALAM SATU CERMIN YANG SAMA

waktu yang singkat, terasa jadi panjang
pada usia pendek, puisi selalu hidup

di sini, pohon-pohon masih rimba
dan pasir mengeras jadi batu

gugur daun-daun dibawa angin
di jalan yang sayup
sebuah kepompong menetaskan kupu-kupu

di serambi negeri ini
jalan putih cahaya, mengelupas dalam musim
seperti akar bakau yang dipenggal asin garam

pada jalan lain, rindu berjarak dengan sunyi
sejauh bumi ke matahari

aku masih melihatmu di jalan panjang itu
memisahkan warna sayap kupu-kupu
ke kuku jari-jarimu

di batas cahaya
dalam cermin yang sama
kita bercakap, dengan dua cerita berbeda

dan pohon-pohon kian merimba
di tanah nenek moyang
yang kian asing di kaki kita

(Lembah Gumanti, 2022)

 

=============================

Biodata

Adri Sandra lahir di Padang Japang, Payakumbuh, Sumatera Barat. Menulis sejak tahun 1981 berupa. Menulis dari tahun 1981 berupa puisi, prosa dan karya ilmiah. Karya tulisnya dimuat di berbagai media, seperti: Singgalang, Haluan, Padang Ekspres, Nusa Bali, Pos Bali, Penuntun Amal Bakti, Lampung Pos, Harmonis, Suara Muhammadyah, Republika, Pelita, Suara Pembaruan, Sindo, Media Indonesia, Tempo,Anita Cemerlang, Story, Horison, Basis, dll. Puisi-puisinya terangkum di beberapa bunga rampai yang terbit di Indonesia dan Malaysia. Beberapa puisinya tercatat sebagai pemenang lomba cipta puisi nasional yang diadakan di beberapa kota Indonesia. Pemecah tiga rekor MURI dalam Sastra Indonesia. Narasumber Kick Andy Metro Tv (berprestasi lewat seni) 2009. Kumpulan puisi tunggalnya: Luka Pisau (2007), Cermin Cembung (2012), Darah Angin (2016). Selain menulis ia juga melukis, baca puisi, dan film.

Wayan Jengki Sunarta, lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Ia menamatkan kuliah Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Bali (1994 – 2000). Kemudian ia kuliah Seni Lukis di ISI Denpasar (2002 – 2003, tidak tamat). Kegiatan seni rupa yang pernah diikutinya, antara lain Seni Proses dalam Gigir Manuk Multicultural Art Camp di Kubutambahan, Buleleng, Bali (2002), Pameran Bersama (sketsa dan lukis) di Gedung Pameran STSI Denpasar (2002), Pameran Bersama Gigir Manuk Multicultural Art Camp di Hotel Raddin, Sanur, Bali (2003), Pameran Bersama di Jatijagat Kampung Puisi, Bali (2019), Pameran Bersama SahabART di Rumah Seni Paros, Sukawati, Gianyar, Bali (2020), Serupa: Kolaborasi Seni (Kata, Rupa, Suara) di Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP), Denpasar, Bali (2021), pameran Silang Sengkarut di Dalam Rumah Art Station, Denpasar (2022). Tahun 2020, tiga karyanya masuk Semi Final Lomba Lukis “Titian Art Prize”, Yayasan Titian, Bali. Karya-karyanya juga dipakai ilustrasi oleh Suara Saking Bali, majalah online berbahasa Bali. Selain melukis dan menulis karya sastra, ia juga kerap menjadi kurator, pembicara, dan pengulas karya seni rupa. Antara lain, pada 2007 ia menjadi pembicara dalam seminar “Membangun Dinamika Seni Rupa Indonesia” di Galeri Nasional Jakarta, tahun 2013 ia menjadi pembicara dalam diskusi seni rupa “Art Making: Potensi dan Tantangan Seni Rupa Bali Kini” di Bentara Budaya Bali. IG: @jengki_sunarta.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!