Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Sosial

Pernyataan Prof. Windia Dituding Pembohongan Publik

Desa Adat Medahan Hanya Tata Pura Masceti

RESUFFLE: Bendesa Adat Medahan, I Wayan Putra Jaya bersama Sabha Desa Adat Medahan.

 

 

GIANYAR, BaliPolitika.com- Pernyataan Guru Besar Pertanian Universitas Udayana (Unud), Prof. I Wayan Windia di salah satu media massa yang berjudul “Dilema Konflik Sosial Berbasis Pura Masceti” berbuntut panjang. Tuduhan pakar subak itu dinilai tidak seperti kenyataaan yang disampaikan, khususnya pada pernyataan bahwa Desa Medahan akan melakukan pengambilalihan secara paksa untuk pengelolaan Pura Kahyangan Jagat Masceti, Gianyar.

“Kami hanya ingin menata wewidangan Pura Kahyangan Jagat Masceti di Desa Adat Medahan. Momen penataan diawali dalam pembangunan Posko Covid-19 dari tanggal 16 Februari 2021 lalu,” ucap Bendesa Adat Medahan, I Wayan Putra Jaya membantah pernyaaan Prof. Windia. Sang profesor bahkan dituding sebagai “pembohongan publik” karena belum dipastikan kebenarannya, sebagai salah satu poin klarifikasi kepada kepada awak media di Gianyar, Selasa (3/5/2022).

Pihaknya mempertanyakan apakah Prof. Windia mengetahui secara benar bagaimana sejarah panjang pura yang berada di pesisir Pantai Masceti itu? Apalagi sampai berani menuduh Desa Adat Medahan akan menguasai atau merebut Pura Kahyangan Jagat Masceti karena memang sudah berada di wilayah Desa Adat Medahan. Pihaknya kembali menegaskan, tujuan pendekatan yang dilakukan oleh pihak Desa Adat Medahan hanya bermaksud untuk penataan pura itu, sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat, agar wewidangan itu tertata dengan baik.

“Untuk itu, sudah jelas tidak ada menguasai dan tidak merebut pura seperti apa disampaikan di media massa,” ujarnya, seraya menyebutkan selama ini pengelolaan pura tidak sesuai purana, karena hanya dilakukan oleh Pekaseh Gede Pangemong Pura Masceti dari anggota subak tanpa melibatkan dari pihak Puri Keramas dan Puri Medahan.

Padahal sejarah keberadaan pura ini tidak bisa lepas dan berkaitan langsung dengan Puri Keramas dan Puri Medahan. Selain itu, pihaknya juga mempertanyakan sertifikat tanah laba pura yang awalnya sekitar tujuh sertifikat menjadi lebih dari tujuh sertifikat atas nama pengempon pura, sehingga pihak Desa Adat Medahan berencana melakukan penataan untuk memastikan setiap jengkal wewidangannya tertata dengan baik. Apalagi selama ini krama desa adat juga sempat mempertanyakan keaslian sertifikat tersebut, karena belum pernah ditunjukan oleh pihak yang mengaku sebagai pengempon pura. Belum lagi, perarem yang dibuat oleh pengempon pura tersebut tidak pernah disosialisasikan kepada krama desa adat, sehingga tidak ditandatangi oleh Bendesa Adat Medahan, karena tidak sesuai dengan dresta dan Awig-Awig Desa Adat Medahan termasuk pertangungjawaban dana punia dan pungutan atas parkir dari pelaba pura.

Pelaba pura itu, sejatinya hasil reklamasi dari pemerintah, namun malah disertifikatkan, bahkan adanya dugaan penyewaan lahan tanpa melibatkan pihak Desa Adat Medahan, sehingga kami merasa khawatir dan keberatan jika krama desa adat ke sana juga dikenakan biaya parkir. Karena apapun yang lewat harus kena bayar parkir. Karena itu, kami benar-benar ingin menata wewidangan kami, bukan karena ingin uang seperti apa yang dituduhkan kepada kami,” tegasnya. Tidak hanya itu saja, pihaknya juga mempertanyakan pemahaman Prof. Windia berkaitan dengan status Pura Masceti, apakah Pura Subak atau Pura Kahyangan Jagat? Padahal sudah jelas terlihat di papan Pura Masceti bertuliskan “Pura Kahyangan Jagat Masceti” yang telah disahkan oleh Ida Pedanda Griya Dede Keramas, dan Jero Mangku Gede Masceti. “Kan sudah jelas Prasasti di Pura Masceti bertuliskan Pura Kahyangan Jagat, bahkan ada tandatangan prasasti di sana. Terus ada segelintir orang bilang bahwa pura tersebut Pura Subak. Jelas ini membuat kami sebagai krama adat mempertanyakan hal itu,” bebernya.

Putra Jaya menambahkan kalau bicara tentang Pura Kahyangan Jagat Masceti, maka pura tersebut sifatnya umum dan wajib juga krama Desa Adat Medahan untuk ngayah, karena pura tersebut masih resmi berada wilayah wewidangan Desa Adat Medahan, maupun Pemerintahan Desa Medahan.

“Inikan lucu, kok desa adat tidak boleh terlibat di Pura Kahyangan Jagat Masceti? Bahkan kehadiran kami ditolak. Terus kalau memang pura tersebut Pura Subak, siapa yang menyatakan Pura Masceti sebagai Pura Subak? Sedangkan puri sendiri, baik itu Puri Keramas dan Medahan, setahu saya tidak pernah mengeluarkan keputusan yang menyatakan Pura Masceti sebagai Pura Subak. Saya tidak ingin adanya permasalahan ini terjadi pembohongan publik dan pengaburan sejarah,” tegasnya.

Diakui Putra Jaya, munculnya permasalahan ini berawal saat pandemi Covid-19, sekitar Februari 2021. Di mana ketika Desa Adat Medahan ingin mendirikan Posko Covid-19 dengan tujuan melaksanakan program pemerintah guna mencegah penyebaran virus Covid-19 di Desa Medahan yang ditolak oleh pihak Pasikian Pekaseh Pura Masceti. “Munculnya permasalahan berawal, saat kita akan mendirikan Posko Covid-19 di sekitar Pura Masceti terjadi perdebatan, terus merembet sampai lahan parkir yang tidak ada koordinasinya ke Desa Adat Medahan,” ungkapnya, sekaligus menambahkan tidak ingin permasalahan ini semakin melebar, Putra Jaya berharap agar Desa Adat Medahan bisa kembali menata kembali wilayah di sekitar Pura Masceti untuk keperluan harkat orang banyak, sedangkan krama Desa Adat Medahan di Pura Kahyangan Jagat Masceti masuk sebagai pengempon pura, agar ketika terjadi permasalahan di sekitar pura, maka pihak desa adat juga bisa mengetahuinya.

Apa yang disampaikan Bendesa Adat Medahan diperkuat oleh penyataan Sabha Desa Adat Medahan, Dewa Gede Suamba. Ia menjelaskan pada dasarnya sebelum tahun 1964 pengelolaan Pura Kahyangan Jagat Masceti hanya dilaksanakan oleh tiga komponen lapisan masyarakat, yaitu Pemangku Gede Pura Kahyangan Jagad Masceti, pihak Puri Keramas dan Medahan sebagai penanggung jawab dan Pemaksan Sesaudan Masceti, yaitu orang yang dipilih untuk ngayah di pura. Sebelum masuknya pekaseh segala sesuatu tata cara upacara dilakukan oleh tiga komponen tersebut. Namun dalam perjalanan waktu di Desa Medahan, terjadi wabah bencana yang menyebabkan hasil pertanian hancur, sehingga pihak cacakan atau subak nunas ica, agar wabah tersebut hilang. Karena wabah tersebut bisa tuntas dengan kepercayaan nunas ica di Pura Kahyangan Jagat Masceti, maka pihak cacakan atau subak yang ada memutuskan untuk terus ngayah di Pura Masceti. Begitu juga dengan hal lainnya, sehingga keyakinan dan kepercayaan masyarakat terhadap Ida Bhatara Pura Masceti sangat tinggi.

“Jadi terlibatnya Pekaseh di Pura Kahyangan Jagat Masceti karena ada sejarah yang harus mengikuti ngayah dan urunan untuk upacara bersama di pura tersebut,” jelasnya. Selaku tokoh masyarakat setempat, Dewa Suamba membeberkan seiring perkembangan zaman, pelemahan pura malah dikontrakan ke tangan perorangan yang bernama Ketut Sugata dari Banjar Medahan selama kurang lebih tiga puluh tahun dengan sistem dan alur yang tidak jelas. Dikatakan, setelah lambat laun kontrak tanah tersebut berakhir, sehingga sebagai wewidangan Desa Adat Medahan berhak untuk melakukan penataan dalam wewidangan tersebut. Setelah pihak Desa Adat Medahan mulai menata wewidangan di antaranya penataan dagang, parkir, dan pembentukan Posko Covid-19 sesuai dengan intruksi Pemkab Gianyar dan Pemprov Bali, serta pemasangan sepanduk Prokes mengenai Covid-19 malah dipermasalahkan, dan dilarang melakukan kegiatan apa pun bentuknya.

Bahkan sempat terjadi pencabutan spanduk Prokes yang dilihat oleh masyarakat umum yang berkunjung ke pantai dengan alasan tanah wewidangan tersebut telah disertifikatkan atas nama pelaba pura dan pengelolaanya dikelola oleh pengempon dan pengemong serta penyungsung, sehingga Desa Adat Medahan tidak berhak untuk masuk di dalamnya. Dari masalah tersebut, dikatakan sempat terjadi mediasi antara pihak pengempon pura dan Desa Adat Medahan, namun sayangnya tidak ada keputusan dan kesepakatan, dan malah terjadi pengontrakan wewidangan untuk lahan parkir, antara pihak pura dengan Dinas Perhubungan Gianyar tanpa sepengetahuan pihak Desa Medahan.

Selanjutnya muncul juga permasalahan lain yang mengakibatkan mediasi dengan Desa Keramas di mana menemukan kesepahaman yang mana Desa Medahan dan Desa Keramas sebagai penasehat di Pura Kahyangan Jagat Masceti. Melihat hal tersebut Desa Adat Medahan tidak sepakat dalam kesepahaman. Pasalnya, tidak sesuai dengan resume Desa Adat Medahan dan purana yang ada di puri, serta wewenang desa adat di dalam menjaga keamanan kenyamanan baik dalam perlindungan, keamanan serta dalam menjaga kesucian pura di dalam wewidangan Desa Adat Medahan.

“Dalam mediasi yang terus berlangsung, sehingga pada upacara di Pura Kahyangan Jagat Masceti, saat Aci Ketupat yang lebih dikenal sebagai Tajen Masceti terjadi pernyataan dan kesepakatan antara Prajuru Pura dan Desa Adat Medahan yang disaksikan oleh pihak aparat terkait, juga banyak dilanggar. Bahkan sebagian besar dilanggar oleh pihak Prajuru Pura Masceti saat ini, seperti segala jenis dudukan saat Upacara Aci Ngusaba Tipat berlangsung,” bebernya. Untuk itu, pihaknya kembali mempertegas pernyataan Prof. Windia di media massa dengan judul “Dilema Konflik Sosial Berbasis Pura Masceti” yang menyatakan bahwa Desa Adat Medahan ingin mengambilalih secara paksa pengelolaan Pura Khayangan Jagat Masceti, dan semata-mata itu hanya demi uang adalah salah besar. Karena saat Desa Adat Medahan ingin menata wewidangannya malah dibenturkan dengan namanya pengempon, pengemong, dan penyungsung Pura Masceti.

“Di mana segalanya diklaim atas nama tersebut, maka di sini perlu di-reshuffle (dirombak, red) kepengurusan di Pura Khayangan Jagat Masceti. Karena berdasarkan atas Purana Puri Keramas dan sebagai penyenceng di Pura Masceti, mediasi antara Desa Medahan dan Keramas, isi resume Desa Medahan yang merupakan amanat dari hasil rapat yang diselenggarakan berdasarkan pesangkepan tiap banjar dan subak yang ada di Desa Medahan, serta kedaulatan Desa Medahan yang merupakan otoritas penuh dalam wewidangannya dalam menjaga keamanan, kenyamanan baik dari segi adat serta keragaman dalam kerukuan umat beragama,” jelas Dewa Suamba yang menekankan di Pura Kahyangan Jagat Masceti harusnya sebagai Penyenceng Pura Kahyangan Jagat Masceti adalah Puri Agung Keramas, yang di antaranya Puri Keramas dan Medahan. Sedangkan untuk Pengempon Pura Kahyangan Jagat Masceti adalah Desa Adat Medahan di mana merupakan sebagai pemegang penuh dalam menjaga keamanan kenyamanan wewidangan serta kesucian pura yang terletak dalam wewidangan Desa Adat Medahan. Sementara itu, pengemong pura adalah Desa Adat Keramas, di mana merupakan satu kesatuan penuh dalam adat istiadat serta dresta yang ada seperti saat pemelisan yang sampai sekarang masih berlangsung tat kala pemargi Ida Bhatara Keramas dan Medahan ke Pesucian Selukat di Desa Keramas.

Sementara itu, untuk penyungsung pura adalah krama cacakan/ subak yang sesuai dengan dresta dan awig Desa Adat Medahan beserta krama yang beragama Hindu sebagai status Pura Kahyangan Jagat. “Dalam hal ini Desa Adat Medahan hanya menginginkan agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berlangsung dari dulu yang bisa mengakibatkan perebutan kekuasaan di dalam wewidangan yang menjadi tanggung jawab desa, baik dari dinas dan adat,” pungkasnya. (tim/bp)

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!