Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi Gimien Artekjursi

Ilustrasi: Gede Gunada

 

PENYESALAN

akhirnya kita menyerah
meneguk anggur penghabisan dan mabuk

di luar hujan membenam halaman
sama-sama lupa

kebun jauh sudah tertinggal
sekeliling hanya rimba

di tengahnya sama-sama kita termangu
(sampaikan maafku)

 

NYANYIAN LAUT

kapal-kapal beku di laut dalam dinginnya waktu
dan tulang-tulang kelasi telah menjadi santapan hiu
dan jika kaulewat memaksa menyeberang juga
akan membentur karang-karang tak bertanda kata

tapi di benua seberang kau bisa jadi raja, manis
tapi matimu lebih mengerikan dibandingkan kena kutuk nenek moyang
sebab negeriku penuh dendam pada pengembara
yang tak berpedoman pada bintang dan tanda alam

tapi di bumiku kau letih mati juga
tapi matimu pada sajak-sajak kumal
tapi aku bisa kubur kau di dasar lautan, pada intan-intan
dengan mimpi seluas perut hiu lapar

 

ELEGI

lewat asinnya garam membikin pulauku
dari buih dan ganggang laut
yang ditiduri anak nelayan dengan tembang
derak karang pecah
sementara aku buat ranjang dari jaring koyak
kaupahatkan tangis di tiang layar
angin mengantar sampai ke laut lepas
yang tinggal: hanya pekik elang laut
yang kembali mengembara
meninggalkan uap air yang mendekap
tubuhku dalam mimpi

 

NYANYIAN PENGEMBARA DI TENGAH GURUN

setiap hembusan angin mengubah tangis pengembara
jadi nyanyian ke segenap waktu, mengisi
kesepian gurun dengan detak nafsu
kubangun rumahku dari timbunan pasir
dan angin menjadi tiang-tiang yang kokoh
dan hujan segera menyanyikan cintaku
pada daun semak dan rerumputan
–di bawahnya kau akan temukan jasadku lumat
terkubur tanpa tanda, tanpa perlindungan

 

NYANYIAN DARI NEGERI MIMPI

gemuruh negeri kami karena mimpi
bagai pesta sorgawi memabukkan kesadaran
bernyanyi di angin, di atas kemarau

dan serupa bocah kau menyapa kami yang lelah
mengantar jiwa-jiwa ke padang perburuan
waktu sesekali berhenti menghitung kerdip mata kami
yang menyimpan kantuk semalam bagi bumi

sampai pagi: yang tampak hanya sebaris kabut
bintang-bintang dan angin, bertiup
lebih dingin di rumput kering

dan serupa bocah kau menyapa kami
serupa bocah kau menyapa
dan turut mengantar kami yang lelah mengubur diri
tanpa cinta di kesunyian semesta

 

NYANYIAN MIMPI

setiap kali mimpi muncul: pohon semak, sungai dan langit
tanpa gerak –mestinya sudah di depanku
tak ada sama sekali
bumi hanya bernyanyi sendiri
dan mimpi jadi gemerlap oleh tawa yang mengembang
menciumi keningku
dalam kemurnian semesta

dan di mana aku mengisi gelas-gelasku, di padang lain
yang lebih hijau, bahkan hampir sepekat jelaga
cuaca semakin kabur
aku yang sekarat atau burung atau tumbuhan, tak ada beda
di sana semua bicara dalam bahasa yang tak dimengerti
dan doa yang memasuki mimpi
beku sama sekali
dan sebatang pohon di tebing tanpa gerak menerima cahya bintang
kuangkat gelasku dan minum bagi kesejahteraan maut
yang mencipta kerajaan baru dalam mimpi-mimpi

lebih jauh lagi –tapi tidak di padang hijau, lebih jauh dari itu
semua juga hampir tanpa gerak
–kecuali mimpi yang semakin gemerlap menciumi keningku
angin dan kabut berputar saja, merah-padam
angin dan kabut berputar, merah-padam karena cinta

dan serupa mimpi aku berhenti bersuara dan bernyanyi
demi kesejahteraan maut
yang mencipta kerajaan baru untukku

merah-padam aku, o lihatlah, merah-padam mukaku karena cinta

 

POTRET KELABU
-Buat Sunia-

pada kubur pertama
cinta yang kau genggam lepas ketika bulan bersinar
menentang matamu dari balik bubungan
–kau jeritkan doa
kau teriakkan sedalam dosa yang terulang-ulang–
dan lonceng gereja berdentang kian perlahan
tapi gemanya masih terdengar sampai esoknya

makin senyap, kau tak tahu lagi
bayi terkapar di rerumputan taman kota
tangisnya tertelan deru kereta yang bergegas
meninggalkan stasiun demi stasiun
penuh penyesalan
pada akhir cerita sehari-hari

tapi tak terjawab sebuah pertanyaan pun
dan kau terus melangkah meski resah
bisikmu tapi masih kudengar
amat nyaring:
–cintaku terkubur di sini–

 

PERJALANAN MUSIM KEMARAU

i
kita kubur matahari di padang
sebelum sungai di sudut lembah kering-kerontang

kira kubur matahari di padang
sebelum kelopak mawar berkembang

kita kubur sedalam-dalamnya
di tanah ini

tapi jangan lantas menangis
karena gelap dan kau buta mata

ii
kita kubur matahari
di padang gersang sebelum pengembara menyeberang

kita kubur
di sudut yang tersembunyi
dan paling basah

tapi jangan lantas menangis
karena gelap dan kau tak tahu siapa yang lewat

kita telah sepakat mengubur matahari
dan mematikan cahayanya

berdoalah….!

 

==============================

BIODATA

Gimien Artekjursi. Lahir 3 Agustus l963. Tinggal di Banyuwangi. Puisinya dipublikasikan di media cetak dan online nasional. Di antaranya Antologi puisi bersama “Para Penyintas Makna” (Teras Budaya, 2021), Pujangga Facebook Indonesia (PT Metaforma Internusa, 2022). Memenangkan lomba menulis puisi tingkat nasional yang diselenggarakan Sanggar Minum Kopi Bali 1989 dan Nagerikertas.com 2022. Fb: Gimien Art.

Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama, antara lain: Pameran Kelompok Komunitas Lempuyang di Hilton Hotel, Surabaya (1999), Pameran “Sensitive” Komunitas Lempuyang di Danes Art Veranda, Denpasar (2006). Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!