Ilustrasi: Gede Gunada
LIMA
(lahir dan mati)
Dalam hutan pikiran yang abstrak,
Setiap manusia melepaskan prasangka,
Sebagai peluru yang lepas satu kali dalam hidup,
Mengembara melewati setiap tembakan,
Yang akhirnya meninggalkan sobekan
Peluru itu terus memburu apa saja,
Jika menurutnya itulah tujuan,
Alasan dirinya dilepas,
Dari kepala manusia yang memiliki,
Ratusan peluru siap dilepaskan kapan saja,
Bagimu mungkin hidup adalah perjalanan zig-zag
Horizontal, partikel juga spektrum warna-warni
Atau hanya sebuah lorong berwarna malam
Hingga akhirnya kau sadar,
Segala yang berdetak itu tidak selamanya
Setelah lahir kau akan mati
Itulah kesimpulan paling pendek
Dari segala panjang pengembaraan
Mencari jawaban dan seperti apa makna hidup
Riau, 2023
SEBUAH POHON RINDU YANG TUA
Kau telah menjelma angin
Sedangkan aku pohon tak bisa pergi ke mana pun
Terpasung takdir dengan kerinduan mengembara
Ke Padang Sahara atau pun ke Sabana
Tempat angin tiada dan berkelana
Aku telah menjelma pohon tua
Meranggas hingga musim kemarau
Mana bisa aku lepas lumbung gelisah
Di bawah akar-akar yang memeluk seratus mimpi
Diikat tanah basah
Aku terus berpucuk
Meninggikan perasaan fana hingga wajah langit
Menyentuh pahit mendung
Meneteskan hujan dan menenggelamkan
Burung yang berkelana
Meninggalkan sarang di sini
Selepas usai musim panen
Hampa tertinggal di wadah kosong
Begitulah nasibku yang bundar
Tanpa titik pemutus
Tabah sebagai mana pohon tua
Tak mampu berlari jika hujan, badai dan panas berganti
Hingga menunggu kematian
Menyelesaikan segala sunyi dari segala hening
Riau, 2023
SABDA OMBAK, DEBUR DAN CAMAR
Kau tak berhasil menakwilkan segala sabda bisu
Berkesiur di antara awang yang samar
Lebih tipis dari kabut mengambang dalam benak
Seketika kau melihat cahaya remang-remang
Di dalamnya rindu hidup antara detak mengatur waktu
Tercecer di sepanjang jalan ia terseok
Debur ombak di bibir pantai
Mengecup rambut matahari terurai
Kemudian membasahi tubuh tepian yang perawan
Dari segala amukan kenangan dan kesedihan
Setiap kali ombak pecahkan tubuhnya ke batu-batu
Lengking camar tertinggal dari riak
Memanggilmu hingga bergetar dada
Datanglah saat segala riuh laut dan burung belum berkemas
Ada cahaya sebuah sabda tak terpecahkan
Oleh sendu sedingin salju, beku di dada
Terjemahkanlah wahai angin
Tentang suara ombak, debur, lengking camar
Pada spektrum gelombang
Berlari mengejar matahari semakin naik ke puncak langit
Riau, 2023
MUSIK KERINDUAN
Bila mana tiada setangkai bunga di tangan
Maka gugurlah daun
Tanpa tangisan tangkai
Perpisahan hening di dalam sabda angin
Bila mana gugur kelopak bunga
Bergema tangis bermelodi dalam kesiur doa
Ada getar di senar malam
Memetik nada kerinduan yang menari di keheningan
Riau, 2023
RIWAYAT
Setelah waktu memetik usia seseorang
Daun takdirnya jatuh
Orang-orang akan menaburi kembang tanpa nyawa
Di tubuh kebencian
Orang akan mengingat segala kenangan
Serupa wajah kerinduan, kesedihan, kebahagiaan
Bahkan kebencian
Riau, 2023
BIODATA
Riska Widiana. Berdomisili di Indragiri Hilir, Riau. Karyanya termuat ke dalam media cetak dan online seperti Kompas, Babel Post, Merapi, Nusa Bali, Waspada, Serawak (Malaysia), Lombok Post, Magrib.id. Cendana News, Dunia Santri, Barisan.co. Metafor.id. Bali politika, Majalah Elipsis, Hadila, Semesta Seni, dll. Puisinya juga dimuat dalam sejumlah antologi Bersama. Selain itu, dia juga pernah memenangkan lomba penulisan puisi tingkat nasional.
Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama, antara lain: Pameran Kelompok Komunitas Lempuyang di Hilton Hotel, Surabaya (1999), Pameran “Sensitive” Komunitas Lempuyang di Danes Art Veranda, Denpasar (2006). Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.