Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

OPINI

Wedakarna

Oleh Jro Putu Ardana, Penjaga Alas Mertajati

ETALASE PLURALITAS: Jro Putu Ardana, Penjaga Alas Mertajati (kiri) dan Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna M.W.S. III, S.E., (M.Tru), M.Si. yang diberhentikan tetap sebagai Anggota DPD RI dari Provinsi Bali terhitung sejak Kamis, 1 Februari 2024 oleh Badan Kehormatan DPD RI.

 

NAMANYA panjang : Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedastera Putra Suyasa III, SE (MTRU), M.Si. Selain titel akademik, senator Bali dalam DPD RI ini juga bergelar Raja Majapahit. Jabatannya tidak terhitung. Anda mudah menemukannya dalam berbagai advertorial serta artikel-artikel dalam akun media sosial miliknya.

Label diri yang sering dia dengungkan adalah: sukarnois, nasionalis, pluralis, dan satu lagi, anti radikalisme.

Awalnya saya punya rasa hormat yang cukup kepada sosok satu ini. Muda, punya karir politik cemerlang dan (ini juga modal penting), tampan. Dalam usia yang sangat muda dia sudah menjabat rektor pada sebuah perguruan tinggi swasta di Bali.

Rasa hormat saya pelan-pelan menyusut saat sang rektor mulai merambah jagat politik. Bukan pilihan politiknya, melainkan manuver-manuvernya. Yang paling orang ingat adalah ketika senator kelahiran Jembrana ini gencar memelopori pemberian label “sukla” pada warung-warung makanan orang Bali.

Tidak perlu kecerdasan tinggi untuk memahami bahwa pelabelan ini adalah bentuk “perlawanan” terhadap sertifikasi “halal” yang lazim diberlakukan di kalangan umat muslim. Padahal, sependek pengetahuan saya sukla itu adalah label material bahan persembahan atau ritual yang suci alias belum pernah dipergunakan untuk hal yang lain.

Material itu tidak hanya berupa makanan. Bisa benda atau sarana lain. Kain misalnya, atau tikar (alas duduk), gerabah, genta, bahkan bangunan. Nah, kalau terminologi sukla tadi kemudian diaplikasikan ke hal-hal yang profan –seperti melabeli sebuah warung makan– apakah justru tidak mendegradasikan makna sukla itu sendiri

Cara model begini sangat mirip dengan memasang dan membunyikan pengeras suara dengan volume tinggi yang mulai muncul di banyak pura di Bali untuk menyaingi pengeras suara yang dipasang di masjid-masjid. Cara-cara yang menurut saya hanya mempertontonkan inferioritas kita sebagai orang Hindu Bali.

Rasa hormat saya betul-betul habis saat dia dengan bangga mempertontonkan keberhasilannya menghilangkan kata ‘Bali’ pada acara “Bali Bersholawat 2” dan huruf arab pada logo acara. Apa yang salah dengan penyelenggaraan acara “Bali bersholawat”? Apakah iman kehinduan orang Bali akan jadi luntur?

Tuan dan Puan, Bali itu bagian dari Indonesia yang salah satu pilar utamanya adalah ke-bhinnekaan yang dijamin undang-undang. Semua agama punya hak yang sama melaksanakan kegiatannya di bumi Indonesia.

Oh iya, tulisan arab itu pun bukan kaligrafi milik agama tertentu. Tulisan arab itu ekspresi budaya orang arab, simbol yang memudahkan orang-orang arab berkomunikasi. Tidak lantas identik dengan iman tertentu (baca : islam). Kawasan arab, kita tahu, dihuni orang-orang dengan berbagai iman: nasrani, islam, yahudi, namun aksara perantara mereka ya itu tadi, tulisan arab.

Kembali ke upaya penghilangan kata ‘Bali’ tadi, kalau penyelenggara acara tersebut adalah organisasi penyebar intoleransi dan radikalisme, tentu keberatan-keberatan itu sah-sah saja, bahkan saya dukung.

Yang barangkali tidak banyak diketahui, di belakang acara itu ada Nahdatul Ulama, organisasi nahdliyin yang punya rekam jejak mentereng di masa-masa pergerakan dulu. Yang tokoh-tokohnya punya sumbangsih besar membidani kelahiran republik ini. Organisasi yang hingga kini setia kepada ‘maqomnya’ yakni senantiasa berada di garda depan dalam menjaga pluralitas dan ke bhinnekaan kita. Sekadar tambahan, di acara itu, terdapat nama-nama yang menjadi semacam jaminan, salah satunya adalah Kyai Habib Luthfi Yahya, kyai yang sangat dihormati di kalangan NU.

Kita di Bali selalu menyebut saudara-saudara non Hindu dengan sebutan “nyama” atau “semeton” yang artinya saudara (sedulur dalam bahasa Jawa). Jadi ada nyama selam (pelafalan orang bali untuk islam), nyama kristen, dan seterusnya. Dalam hajatan-hajatan agama atau adat, umumnya selalu disediakan dua kelompok hidangan, hidangan umum yang ada babinya dan hidangan khusus yang tidak ada babinya. Yang terakhir ini dikenal dengan istilah ‘penyelam’.

Saya bangga bahwasannya selama ini Bali disebut-sebut sebagai etalase pluralitas dan toleransi. Bahwa belakangan ini di Indonesia banyak bermunculan tindakan-tindakan intoleran yang sangat mengganggu pluraritas dan kebhinnekaan kita, itu soal lain. Tetapi apakah intoleran harus dilawan dengan intoleran juga? Radikalitas harus dilawan dengan radikalitas? Kelar Indonesia kita.

Salam dari desa. (*/bp)

 

Jro Putu Ardana, Penjaga Alas Mertajati menulis opini ini pada tahun 2017 silam. 

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!