Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

PARADE PUISI

Anto Narasoma, Kardanis Mudawi Jaya, Ngadi Nugroho, Nuryana Asmaudi SA

Ilustrasi: Handy Saputra

 

Anto Narasoma

Sudah Kucatat

sudah kucatat segala sumpah ke dalam wajah
tanah tenggara. karena darah dan kata hati
yang kulafalkan,
menjadi doa-doa
di atas sumpah abadi

sudah kutata segala kata
di atas kerinduan
yang memanjang
ke dalam sajak-sajak pilihan. sebab setiap kata
yang kupilih, menjadi cairan darah
di antara warna kulit
tanah tenggara

berbagai rasa setelah
kita menempati ruang
begitu luas,
maka bahasa, nada kata,
dan corak kemelayuan,
menjadi tanam tumbuh
yang bercabang kuat
di tanah tenggara

maka dalam catatan ini
setiap kalimat yang mengitari musim pun
menjadi laut di dalam
darahku

Palembang, 2023

 

Kujala Bumi dan Matahari

di sini,
aku menjala bumi
di atas matahari
yang tumpah ke dalam
pikiran

lalu tanah tenggara
menjadi cerita
ketika ombak laut
bergulung ke dalam
perkembangan bahasa
melayu tua

lalu,
aku pun mengejar aroma
yang membiru di jagat
sejuta kisah

o, di atas perahu inilah
kau kembali datang
membawa harapan
setelah kujala
seraut bumi dan matahari
yang menjadi tanda
kaulah melayu
di tanah tenggara

Palembang, 2023

 

Surat Cinta

lama sejarahmu mengalir
ke dalam rindu di surat ini

seperti air menggenang
di dalam kejernihan laut
yang membentur perasaan, setelah kita
bercumbu di dalam surat
pertama

pada tiap baris,
kau kisahkan katakata
dalam kalimat panjang
tentang daya ucap cinta

o, surat itu memang mewakili hatimu-hatiku
ketika cinta datang tanpa permisi

sebab
setiap langkah
yang kau tulis,
tak mampu menyembunyikan kerinduan di antara pecahan suku kata

maka kuputuskan;
tulisan ini kuungkap
setelah kata cinta itu
hilang dari daya ungkap
yang tak mampu melewati kejujuran hatiku

Palembang, 2023

 

Kardanis Mudawi Jaya

Sajak Melawan Duka Akhir Tahun

Adakah bulan terakhir
Selalu menyembunyikan kesedihan
Di bawah sinar matahari yang selalu baru
Kita pun akan tetap menghadap
Untuk kembali pulang.

Barangkali Desember datang
Selalu membaringkan pikiran
Mengalunkan lagu-lagu
Kasih sayang
Yang membuat kita terjaga
Untuk bisa menikmati liburan panjang
Meletakkan kebahagian dari duka
Bulan-bulan yang menelantarkan.

Hantamlah dengan semangat
Nyanyian-nyanyian luka Desember
Sebab matahari terlahir
Selalu memiliki semangat baru.

 

Aku Menyambangimu dengan Kata

Seorang nakhoda membawa perahu puisi
Dengan perangai cuaca yang berubah-ubah
Inilah pinisiku
Yang kerap menghadapi maut berulang-ulang
Ia akan tahu
ke mana kunang-kunang membakar kegelapan hutan
Ia pegang lentera untuk melihat daratan
Mencari tempat peristirahatan
Kesunyian yang diajak bicara dari hati ke hati
Seorang nakhoda membawa dirinya berdiri di bawah matahari
Aku sebut ia puisi
Wajahnya laut yang dingin
Ia selalu membakar luka-lukanya dengan garam
Dan melihat sinar matanya adalah luka bakar dari garam dan matahari
Ia berjalan setia, lidahya tajam mencatat peristiwa
Menyayatnya dengan kata-kata.

 

Suatu Waktu Aku di Gereja Katedral Renon

Aku menatap punggung
yang melepaskan beban
Ada masa silam perasaan
yang gagal lepas
Aku tidak mengenal apa dosa-dosanya
kecuali senyumnya yang manis
Ada cahaya lilin mengisi ruang
dipadamkan dalam mata
lalu menghangat.
Aku tidak dikenalnya
Aku tidak mengenalnya
Aku bagian dari domba yang tersesat
Lonceng dan lilin diantar doa-doa
Aku berdiri
Sebuah lampu memandang bulan
dengan cahaya terlantar
menunjukkan jalan pulang.

 

Ngadi Nugroho

Engkau yang Tak Terjamah

Engkaukah tanya yang tak kutahu jawabnya. Seperti kabut ataupun seperti salju di atas bukit. Engkau berdiri, selalu melambaikan tangan. Pada aku yang sendiri. Engkau apakah pernah menangis? Ah aku lupa, tak ada satupun kata, tiba-tiba menjadi hujan. Sesuatu pasti akan menghilang, entahlah, dirangkul malaikat atau kekasihnya yang lain. Pada akhirnya ciuman itu hanya bekas. Yang berteriak pada waktu yang berhenti tiba-tiba. Engkau mungkin kehangatan itu, saat malam tak tahu lagi jalan lain untuk pulang. Engkau seperti Fiona, nama gadis itu. Kemudian kita cuman saling terdiam. Di depan sebuah pintu. Di antara batas kelambu–ungu.

Astana Kuntul Nglayang, 2023

 

Kampanye di Angkringan

Ini tahun-tahun kita bisa bernyanyi bersama. Aku bisa menjadi suara 1 atau suara 2. Terserah engkau ingin pilih yang mana. Yang jelas kita bernyanyi dengan bahasa kita. Sambil ngunyah permen karet ataupun nyocol cilok dengan sambal aroma kacang gosong. Televisi seakan tersaingi. Siaran radio hanya berisi lagu-lagu dangdutan. Di angkringan riuh walau 1 jam. Tiba-tiba semua menjadi menteri penerangan– ya, seperti zaman orba dulu. Mengubah teh hangat menjadi warna lampu traffic light. Lalu aku keluarkan uang 50 ribu. Semua tertawa, ini bukan pencitraan warna. Kemudian kita pulang, sambil berjanji esok bertemu lagi di sini. Sebuah negara yang kita buat sendiri. Di sebuah angkringan, depan kampung yang dulunya sepi.

Astana Kuntul Nglayang, 2023

 

Nuryana Asmaudi SA

Kepada Maria Cinta

bagaimana cara mencintaimu tanpa cahaya
rumahmu dijaga kegelapan dan anjing gila
lampu jalanan dikerumuni laron setelah hujan reda
seperti rinduku padamu entah di mana

malam bilang kau pulang ke kampung halaman
di seberang lautan di pulau kenangan
: susul saja tuan, dia lagi bimbang!

dalam kegelapan malam aku berlayar
dengan hati pikiran mengarungi lautan
arus cinta yang memabukkan

namun jauh-jauh aku datang
kau sambut dingin dan bilang,
“Maaf, aku sedang sibuk menyiapkan
Natal untuk Tuhan yang lama kutinggalkan!”

 

Sebelum Masa Tua

cinta lebih penting ketimbang tegur sapa
dan peluk cium ketika musim kawin tiba
tapi jangan sepelekan tegur sapa
senyum dan ciuman lembut mesra
seperti gula-gula masa kanak kita

karena tak lama lagi kita akan menua
ringkih pikun dan lemah renta
seperti baju robek bau apek
tak ada yang melirik, tak lagi menarik
bahkan anak yang dulu digendong
dan digadang-gadang pun meninggalkan
hanya mendoakan dan sesekali sambang
bila ada waktu senggang

mereka tak merasa memiliki kita
mereka bukan lagi milik kita
membuat nelangsa
merasa tak lagi berguna
ingin segera mati saja
kembali pada-Nya.

pada saat itulah kita baru merasa
betapa pentingnya tegur sapa
ciuman mesra menjadi daya cinta
luar biasa pada saat membutuhkan
selagi masih sempat melakukan

 

Marcincande

pergilah dari duniaku
sepanjang waktu
semaumu

sejauh kenangan
jangan lagi datang
walau dalam ingatan

gempa cinta 7, 4
serasa kiamat
bikin sekarat

kuda bidadari
tak pernah kutunggangi
terbanglah ke negeri pelangi

 

——————————————–

BIODATA

Anto Narasoma. Lahir di Palembang, 16 Juni 1960. Bekerja sebagai wartawan. Puisi-puisinya banyak tersebar di berbagai media massa dan antologi bersama.

Kardanis Mudawi Jaya. Lahir di Karangasem, Bali, 1974. Buku puisinya berjudul Kalimah (2013).

Ngadi Nugroho. Lahir di Semarang, 28 Juni 1978. Puisi-puisinya dimuat di berbagai media massa dan antologi bersama.

Nuryana Asmaudi SA. Lahir di Jepara, 10 Maret 1965. Buku puisi terbarunya berjudul Anak Gunung Mengerami Laut (2023).

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!