Ilustrasi: Handy Saputra
KISAH MERAH
Merah berumah di pohon
Berkokok
Tepuk dada, selalu
Meraih ketinggian
Bertudung sayap bulu tebal
Mengobrak abrik hening
Melengking di sembarang waktu
Saat orang perlu jeda
Ia memberi janji
Takkan sembarang berkokok lagi
Kami pulas bermimpi
Di setengah mimpi
Si Merah melengking keras
Seperti biasa, ingkar janji
Siapa memuja?
Menjadikannya berhala
Pamer jubah bulu merah
Mata berapi mirip
petarung marah
Ke tengah kerumunan
Menabur bisa
Korban berjatuhan
Mabuk
Kepayang
Disorientasi akut
Di setengah purnama,
Si Merah berkokok
Melintasi malam
Tanpa bertabik pada pohon
yang tertidur
Usai diguncang angin
sesiang tadi
Sudah berapa janji?
Orang-orang menanti
Dari pemilik istana
Hingga penghuni gubuk liar
Merah menghilang
Atau berkamuflase?
Memanipulasi ambisi
Menyusup ke mimpi
Orang-orang berhati kosong
Tersihir
Berjanji lagi
Transaksi lagi
Orang-orang memunguti puing
Kepalsuan
Kecewa
Umpatan muntah ke mana-mana
Merah berkokok
Panjang sekali
Lalu meringkuk
Tidur
Merancang bangun mimpi
Janji dan ambisi yang sama
Kapan lagi turun ke tengah kerumunan?
Di musim janji!
2 Juli 2023
LIVING WORLD
Di mall Living World
Pesta tanpa jeda
Orang-orang merunduk di bawah instalasi bambu saling bersilang
Mengitari meja
berlimpah santapan siap saji
Eskalator tiada henti
Naik turun bak putaran hidup
Jalan nadi tak beraturan
Langit, bulan, bintang
Hanya bisa diintai dari
pinggiran gedung
Label harga melambai-lambai
Tak ramah
Tubuh membeku
Ruang berpendingin volume maksimal
Aroma daging panggang
menusuk
Ingatan terbang ke gubuk pemulung dekat
pembuangan sampah
Hari-hari tercium
aroma pembakaran
Dan percakapan menggema
dari orang-orang yang
dicengkeram ketidakberuntungan
Cinta melingkari bara berasap
dan bau menyengat
Kilasan nasib terbaca dari
wajah lusuh dan keluh kesah
Terik hidup mengembang maksimal
Berapa hati terkapar
oleh kehidupan yang menindas?
Living World
Tak ada aroma empati
Kepedulian terkulai
Terserap ke gelas kopi
Eskalator melindas rasa prihatin
Perbincangan tergiring iklan
Dengan pikiran tertutup
kebanggaan
Di pesta raya, ingatan
tentang kawasan jelata
hanya sekilas-sekilas
Selebihnya tawa lepas
Tubuh menggigil,
kian mengerdil
Juga hatiku yang menguncup
Lumpuh layu oleh pilu
Mata salah fokus
menyaksikan orang-orang bergerak mengitari lantai
demi lantai
Sukmanya berloncatan
dari kartu kredit
ke barang-barang branded
Dan hasrat melambung tak berpijak bumi
Mereka mengelus manekin
di ruang-ruang pajang
Menggoda, tergoda
Tas, sepatu, asesoris,
bersliweran di benak
Lalu-lintas pikiran macet total
Bulan menghilang
di balik tembok gedung
Selaput temaram sewarna
kabut musim hujan
Perempuan berkebaya
berjalan cepat
mengantar nampan pesanan
Juru sapu gesit
sebelum pesta berikutnya
24 Juni 2023
SELEBRASI QUE SERA SERA
Di hiruk pikuk selebrasi
Ada pergelaran bendera
Orang beretorika
Mendelik-delik umbar wacana
Penuh rencana dan janji
Janji berkelindan
menyuapkan mimpi
Dusta dikemas
memanipulasi kebenaran
Nyinyir para pemimpi
tenggelam dalam percakapan
panjang dunia maya
Di jalan tumpah eforia
Orang-orang mendadak
keluar rumah
Bersumpah sampah secara terbuka
Disaksikan pelintas
yang menepi mengamankan diri
Bendera dikibas di mobil
menderu
Seseorang berdiri berseru-seru
Kata-kata melesat berhamburan
Seperti luruh daun pohon
pinggir jalan
Jadi sampah
Matahari mendelik
Berapi
Arus angin berputar-putar
Pergelaran ini tanpa pentas
Pemain dan penontonnya
dari mereka untuk mereka
Kau, aku, siapa?
Outsider!
Usai selebrasi
Que sera sera
Yang akan terjadi terjadilah
Rencana dan janji tersimpan
di bilik terkunci
Dijual nanti di lain pergelaran
Si jelata bergumam
Hati terluka
Tergores janji
Di suatu ladang
Ada yang meratapi kubur
Di sana bersemayam
hati yang kecewa
Di atasnya
Ditabur guguran dukacita
dan kelopak luka kering
Dibawa angin musim
Nuju bentangan hampa
Pelintas meniti trotoar
Mewaspadai lubang di sana-sini
Di benak, rencana esok
tersusun tanpa kata
Mengayuh puing
Semangat disimpan
di kantong nasib
Selebrasi dihelat dalam diam
Di ujung letih hari-hari kerja
Perayaan adalah ketika
langkah bisa setegap harapan
Tubuh bertahan saat
digulung badai
Nyanyi sunyi membakar hati
O, bendera-bendera
Berkibarlah seantero hati
Sukma terlalu silau oleh warna-warna
Yang menenangkan justru gelap
Di dalamnya warna hidup
Dari gelap ke terang
Titian perjuangan
Enyahlah pemberi janji
Jika sejatinya transaksi
9 Juni 2023
OPERA PEMABUK
Dia jatuh cinta, tergila-gila pada kata
Sepanjang hari kepayang tanpa jeda
Muntah berwacana
Marak berfatwa tentang segalanya
Tangannya mengembang
Layaknya membawa pedang kebenaran
semata karena begitu banyak menelan sabda-sabda
Ia merasa perkasa
Berdiri mendongak di batu lapang
Bahkan letih ditebasnya hingga terjerembab di sunyi
Teringat Rahwana yang ingin menguasai Siwa
semata karena merasa pemuja kinasih
Ia lupa hanya debu di lautan cinta sang maha jiwa
Kata dikunyah, meruah
Meleleh liur liar
Dari ubun-ubunnya tak juga keluar api.
Sebegitu lahapnya ia mengunyah sabda dan mantra
Keringatnya mengental jadi butiran debu hitam
Dengus nafasnya udara busuk berputar-putar di hampa ruang
Ia memanggil-manggil dengan aksara yang dirapal seadanya
Terdengar seperti raung dari hati kalut
Matanya terpejam lalu limbung
Tak bertemu siapa
Ia ingin membayar rindunya tuntas
dengan kata, memanggil entah siapa
Ia bernyanyi tanpa irama
Ia berlakon penuh amarah di panggung kehidupan tanpa sorak sorai
Hatinya kehilangan hening
Ruh bertemu riuh digiring keluar dari kesepian
Tanpa bersapa sabda
Punyakah ia kekasih yang membuat sukmanya penuh percakapan
tanpa mengumbar kata?
Ia bergila-gila dengan kata
Mengumpat siapa saja di pentas tanpa rasa
Terjerembab di panggung terbuka
Kata berloncatan dari pori-porinya
Menelanjanginya tanpa ampun
Di bawah sorot cahaya pertunjukan yang belum tuntas
Tidak ada upacara api bagi kematiannya yang sepi
Tidak ada upacara larung penyerahan abunya kepada Dewa Baruna
Tulang belulangnya melapuk
Jadi serat rambut melilit kaki-kaki pejalan
Dia jadi gelombang, bergulung-gulung dilarikan angin
Upacara kematian berlangsung
tiap saat
Perahu-perahu mengantar
orang-orang melarung kesedihan
sejauh mungkin ke tengah
samudra
20 Oktober 2022
PEDATI TUA
Pedati tua melintas di jalanan tak rata, penuh kubangan dan berdebu. Berderit menyakitkan. Orang-orang mendorong dalam sihir kesetiaan.
Pernah menjadi simbol perlawanan sebuah tirani, pedati tua menarik kekuatan orang banyak
menghancurkan tembok besar yang kokoh berpuluh tahun. Seperti pohon rindang ia menguasai ruang dalam radius sangat lebar. Orang-orang yang kegerahan bernaung di bawahnya, sambil menunggu saat menghunus keberanian, bertarung.
Sesungguhnya sudah lama ia lapuk. Seringkali terantuk-antuk. Tak layak lagi jadi naungan. Sering kali mengeluarkan suara-suara aneh, menimbulkan rasa was-was. Tapi orang-orang masih saja menginginkannya di jalanan, menjadikannya nampak asing, kadang mengganggu.
Berapa putaran lagi?
Ia bersolek layaknya nenek-nenek ber-make-up tebal. Ada yang menertawai, tak sedikit yang tak acuh. Tapi ia tetap turun ke jalan, bersuara menyakitkan
Menarik pedati tua, membebani penghelanya, tertatih, letih, tertindih. Meski susah payah menjaga hati agar tak kentara kesal. Mereka seperti sri panggung yang ingin terlihat sedang menari, menjalani kekesalan dengan berseri. Wajah sumringah tapi jiwa dan tubuh jengah, terengah. Terseok di jalanan megapolitan, jadi tontonan. Oleng, ringkih, persis nenek-nenek pengoceh memperdengarkan kesombongan
Di satu perhentian, orang-orang berkerumun menakar keanggunan pedati lain bercat warna-warni. Tua, lapuk, terpajang di bilik tak berpintu.
Ia seperti dalam kotak pandora. Tak ada bisa menyentuhnya, hanya mengamati dengan takjub dari luar tali pembatas. Menerawang sejarah dari relung lekuknya.
Di suatu masa, di suatu zaman, ia singgasana penguasa melintasi jalan kekuasaan. Di tiap perlintasan orang-orang berdiri takzim, menyeru, mempersilakan berlalu. Kini ia istirah panjang bersama ketuaannya. Jadi pajangan purba di tiap perayaan.
Mulia, tanpa turun ke jalan memperlihatkan keburukan
26 April 2023
BIODATA
Alit S. Rini lahir di Denpasar, 22 November 1960. Buku puisi tunggalnya, “Karena Aku Perempuan Bali” (2003), “Cerita Perempuan” (2022), buku puisi duet dengan sang suami, penyair-pelukis I Nyoman Wirata, “Pernikahan Puisi “(2017), “Buket Bunga November” (2022). Puisi-puisinya juga terangkum dalam sejumlah antologi bersama penyair lain.
Handy Saputra lahir di Denpasar, 21 Februari 1963. Pameran tunggal pertamanya bertajuk The Audacity of Silent Brushes di Rumah Sanur, Denpasar (2020). Pameran bersama yang pernah diikutinya, antara lain Di Bawah Langit Kita Bersaudara, Wuhan Jiayou! di Sudakara Artspace, Sanur (2020), Move On di Bidadari Artspace, Ubud (2020), pameran di Devto Studio (2021), pameran Argya Citra di Gourmet Garage (2021). Instagram: @handybali.